Prekuel Looking Through Rose-tinted Memory (Bagian 1)

31 Aug 2016    View : 2327    By : Niratisaya


Tidak ada yang istimewa dari gadis itu. Ia tidak cantik, tidak supel seperti sebagian besar gadis yang dikenalnya, atau menawan. Sebaliknya, gadis itu, Kanina Elle Enoch, adalah sosok anomali dalam kehidupan Areal.

Nina, begitu gadis itu sering dipanggil, selalu muncul dengan aura suram dan ekspresi datar—atau masam, ketika hadis itu berhasil membentuk satu ekspresi. Bahkan, di festival sekolah yang semestinya menjadi acara yang bisa membuat siapa pun larut dalam gegap gempita kegembiraan, gadis itu masih terlihat sama. Areal pun mulai bertanya-tanya, seperti apa mimik wajah gadis itu sewaktu ia tersenyum.

Areal menggeleng, merutuki dirinya yang entah mengapa mendadak teringat kepada teman sekelasnya itu. Padahal ia sedang bersama kekasihnya, Rengganis. Mantan, kalau Areal tidak segera menyudahi lamunannya tentang Kanina.

"Kamu kenapa, Hun?" tanya Rengganis sambil mendongak menatap Areal.

"Nggak," jawab Areal yang tak tahu apakah ia sedang menjawab bahwa ia tidak apa-apa, atau apakah ia ingin agar Rengganis tidak ikut campur dalam urusannya. Atau keduanya.

Rengganis beringsut mendekat ke arah Areal dan memeluk pemuda itu erat-erat. "Kamu nggak suka nonton chic-flick, ya?"

Areal memandang Rengganis dan meringis. "Mana ada cowok yang suka nonton film menye-menye begini."

Areal ingin menjawab demikian, tapi ia hanya menggeleng dan membalas pelukan Rengganis, lalu kembali menatap layar televisi yang menyajikan adegan sepasang kekasih yang sedang menghabiskan waktu bersama. Mereka berdansa di acara prom sekolah. Dari sudut matanya, Areal bisa melihat Rengganis tersenyum. Namun, di detik pemuda dan gadis dalam film itu membicarakan tentang rembang senja dan sumpah mereka untuk saling mencintai selamanya, lamunan Areal kembali mencuri kesadaran pemuda itu dari Rengganis dan rumah yang ditinggalkan kedua orangtua gadis itu.

Nggak ada yang abadi di dunia ini, batin Areal ketika akhirnya film drama percintaan itu usai.

Kanina Elle Enoch

Baca juga: Bersama Sebuah Buku dan Sebatang Rokok

 

Areal mematikan mesin sepeda motornya dan memasuki rumah lewat pintu yang menghubungkan garasi rumahnya dengan ruang dapur.

"Al."

Areal menghentikan langkahnya saat mendengar suara ibunya. Pemuda itu berbalik demi mendapati ibunya duduk di kursi ruang makan yang dipisahkan dari dapur oleh sebuah kitchen island. Di hadapan wanita berusia 41 tahun itu tampak menu makan malam yang masih lengkap tersaji bersama dua piring yang terbalik. Pandangan Areal beralih dari meja makan kepada ibunya yang tersenyum lemah. Pemuda itu pun mengerti, ayahnya belum pulang.

Tidak.

Pria itu memilih untuk tidak pulang dan membiarkan istrinya menunggu sendirian. Selama lima jam. Meski pria itu tahu benar bahwa istrinya tidak akan makan sampai pria itu duduk di meja bersamanya.

Areal mendesah dan menyesali keputusannya menerima ajakan Rengganis menonton film yang sama sekali tidak menarik perhatiannya. Areal menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam, lalu bertanya, "Mama sudah makan?" Meski ia sebenarnya tahu jawaban apa yang akan didapatkannya.

"Belum. Kamu mau nemenin mama, Al?" pinta ibu Areal.

Areal mengangguk, walau sebenarnya sebelum pulang ke rumahnya ia sudah mampir ke salah satu restoran cepat saji dan menyantap seloyang piza sendiri. Areal mencuci tangannya dan menghampiri meja makan. Ia menghentikan ibunya yang hendak meraih salah satu piring yang kosong dengan mengambil piring tersebut dan mengisinya dengan nasi.

"Sori, Ma. Aku nggak makan, soalnya tadi aku sudah makan bareng Rengganis." Areal berbohong sambil mengambil lauk dan pauk sesuai porsi makan ibunya.

Ketika Areal merasakan ibunya bersedih, ia menoleh sambil tersenyum. "Tapi aku bakal nemenin Mama sambil nyamilin masakan Mama sedikit-sedikit."

"Oke," balas ibu Areal sambil ikut tersenyum. "Bagaimana sekolahmu, Al?"

"Baik, Ma." Areal menjawab sambil menjelaskan kegiatan di sekolahnya hari ini; tentang dirinya yang masih saja tidak menyukai bahasa Inggris karena menurutnya rumit, klub basket yang mulai tidak diminatinya, dan Rengganis yang mengajaknya menonton sebuah film membosankan. Ia bercerita sambil terus menatap ibunya yang tersenyum sambil menyantap makan malamnya yang terlambat. Tidak lolos dari penglihatan Areal bahwa kedua sudut bibir ibunya masih bergetar.

"Bentar Ma, aku haus." Areal bangkit dan berjalan menghampiri lemari pendingin, lalu mengambil sekaleng minuman soda. Namun, Areal tidak segera kembali ke meja makan atau menutup lemari es. Ia bertahan di sana untuk beberapa saat dan memberi waktu bagi dirinya untuk menguasai kembali kesadarannya, juga bagi ibunya untuk mengusap air mata yang sempat terjatuh sebelum Areal sempat meninggalkan meja makan.

Areal menghitung sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali ibunya tersenyum. Pada hitungan kelimapuluh sembilan, ia teringat pada hari pengambilan rapornya. Pada pandangan Kanina yang melembut saat ia menyambut seorang wanita.

Ketika itu, Areal baru saja kembali dari lapangan indoor sekolah dan kembali ke kelas untuk mengambil tasnya, sebelum ke kantin sementara sekolah sibuk dengan pembagian rapor. Hari itu, kegiatan belajar mengajar hanya berjalan selama dua jam. Areal merasa beruntung karena pelajaran terakhir kelasnya pada hari itu adalah olah raga, sehingga ia merasa tidak benar-benar sedang belajar. Ia berpapasan dengan para wali kelas berjalan tergesa menuju kelas yang menjadi tanggung jawab mereka bersama murid yang membantunya membawakan rapor.

Dan, untuk kelasnya, sang wali kelas meminta bantuan Kanina setelah tak seorang pun mau mengajukan diri. Dengan ekspresi datarnya, Kanina menyetujui permintaan wali kelas mereka. Namun sebelumnya ia meminta izin berganti pakaian.

Areal ingat ia semula menghabiskan waktunya dengan teman-temannya di kantin, sampai satu per satu dari mereka kembali ke kelas dan menunggui orangtua mereka. Niat Areal dan teman-temannya saat itu adalah mengolok-olok teman mereka yang mendapat nilai jelek, dan 'menghina' mereka yang mendapat nilai bagus. Langkah Areal terhenti saat ia melihat pandangan Kanina yang lembut. Areal lebih terkejut lagi ketika ia melihat kepada siapa pandangan itu tertuju: kepada ibu Areal yang tampak kebingungan.

Itu adalah hari pertama ibu Areal mengunjungi sekolah setelah pertengkaran pecah di rumahnya semalam. Entah apa yang dikatakan oleh Kanina yang sudah mengganti seragam olahraganya dengan seragam putih abu-abu, tapi gadis itu mampu menghilangkan kerut di wajah ibu Areal dan membuatnya tersenyum.

Areal tak percaya. Kanina Elle Enoch yang dikenal sebagai "Ratu Kesuraman" di sekolahnya berhasil membuat orang lain tersenyum.

"Al?"

Kesadaran Areal kembali ketika ia mendengar panggilan ibunya. "Iya, Ma."

Seketika, Areal tersadar alasan ketertarikannya kepada sosok Kanina. Ia merasa penasaran dengan sosok Kanina dan tatapan lembut gadis itu kepada ibunya, seolah gadis itu mengetahui sesuatu. Sesuatu tentang ibu dan keluarga Areal. Sayangnya, Areal tidak bisa menanyakan hal ini kepada sang ibu. Ibunya bahkan tidak tahu bahwa pemuda itu mendengar pertengkaran kedua orangtuanya malam itu. Sambil kembali duduk di kursinya, Areal bertekad untuk menanyakan semuanya kepada Kanina.

Seusai ibunya menghabiskan makan malamnya, Areal meminta wanita itu untuk kembali ke kamarnya dan beristirahat. Areal mencuci piring sambil tertawa sumbang. Ia tak mengira akan datang hari di mana ia tidak sabar bertemu dengan Kanina, sang Ratu Kesuraman.

 

Baca juga: Pria Asing di Pos Kamling


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Cerbung Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Malaikat Tak Bersayap


Voici - Duo Multi Talenta Dari Surabaya


Petualangan bersama Einstein: Bumi yang Bergolak


Hormones The Series Season 1: Realita Remaja Saat Ini (Part 1)


Danilla dan Kalapuna


Berkuliner Ala Foodtruck Fiesta di Graha Fairground Surabaya Barat


Taman Apsari, Keteduhan di Tengah Hiruk Pikuk Kota


Pantai Konang: Pesona Di Balik Gunung Trenggalek


Literasi Oktober: Goodreads Surabaya, Mahfud Ikhwan, dan Kambing


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Lima)


Ode Untuk Si Bungsu


Sajak Orang Rantau