Twist and Shout (Part 1)

15 Jan 2015    View : 3692    By : Niratisaya


Ibu berdendang di kegelapan malam.
Coba diusirnya sunyi malam.
Dihangatkannya kami dalam pelukan.

Dendangkan lagu itu sekali lagi, Bu.
Dendangkanlah lagu pengantar tidur itu.
Biarkan kami terlelap, berdua di dalam buaianmu,
yang selalu sanggup redakan badai gemuruh jiwa yang selalu melanda hati.

Nyanyikan perlahan, biarkan jiwa kami menyerap semuanya.
Biarkan kepala kami selalu mengenangnya.
Peluk kami Bu, bisikkan cintamu pada kami.
Bisikkan lantang-lantang di kedua telinga kami.
Yakinkan kami bahwa kau mencintai kami.

Meski dengan semua cemoohan, tamparan, ludah, dan memar di tubuh kami.
Kami yakin, kau selalu sayangi kami.

Baca juga: Prekuel Looking Through Rose-tinted Memory

 

Berdua kami duduk di atas jembatan. Aku dan saudara kembarku. Kami membenamkan kaki di dalam sungai sambil meredakan panas, dengan khayalan-khayalan kami. Mulai dari es krim sampai berenang di sungai. Hal-hal yang jelas sangat ditentang oleh Ibu, tapi selalu sanggup menarik minat kami.

Aku menoleh pada saudara kembarku ketika dari sudut mata aku melihatnya mulai melepas pakaian.

“Noel, Ibu pasti marah.”

“Lalu? Setelah marah memangnya apa yang bisa dia lakukan lagi? Memukul pantatku? Mengurungku di kamar mandi?”

Noel meloncat masuk ke dalam sungai.

Suara deburan air dan cipratannya yang berkilat karena sinar matahari mempesonaku. Tapi lebih dari itu, sosok Noel yang tampak begitu gemilang dalam kilauan bias matahari lebih membiusku. Membuatku tercenung menatap indah tubuhnya.
Tubuh yang sama dengan raga yang kuhuni.

“Hai si Kembar!” sapa sekumpulan anak bersepeda yang melewati kami.

Aku melambaikan tanganku dan tersenyum pada mereka.

SPLASH!!!

“Kau gila ya, Noel? Bajuku bisa basah semua, kan?”

Aku berbalik dan memberengut, menuntutnya agar meminta maaf padaku.

“Kalau aku gila, kau idiot! Bisa-bisanya membalas sapaan mereka! Tahu siapa kau saja nggak! Tanya mereka, apa mereka tahu mana yang kamu dan mana yang aku!”

Noel menekan lantai kayu jembatan kecil yang tadi kami duduki dengan kedua tangannya. Ia mengangkat tubuhnya kemudian menaikkan kakinya ke atas jembatan. Detik berikutnya, kami sudah berhadapan.

Persis seperti Noir, anjing kami yang dihadiahkan Ibu pada ulang tahun kelima kami, Noel mengibas-kibaskan kepalanya. Berusaha mengeringkan rambutnya dengan gerakan kepala. Lagi-lagi, aku menemukan diriku termangu menatap saudara kembarku.

“Idiot,” desisnya di depan mukaku, sambil beranjak meninggalkanku sendiri.

Baca juga: Girls in the Dark

 

Aku dan Noel berbagi segalanya di dunia ini. Kami berbagi wajah yang sama. Postur tubuh yang sama. Kamar yang sama. Rumah yang sama. Sekolah yang sama. Dan sering kali, udara yang sama.

Namun, pada saat yang sama kami berbeda.

Kami tak sama dan takkan pernah bisa serupa, tapi entah kenapa tak seorang pun pernah melihat itu. Yang sanggup mereka tangkap hanya betapa serupanya kami. Orang-orang selalu melewatkan detail kecil yang membedakan kami. Pada akhirnya gerak, tawa, dan bahkan cara kami mengerutkan wajah semua mereka anggap sama.

Dasar buta!

Aku mengalihkan pandanganku dari komik di tanganku dan mengamati Noah. Bocah itu sedang mengerjakan pe-ernya dengan baik dan rajin di meja belajarnya. Entah kenapa, melihat wajahku pada dirinya yang begitu tenang dan sabar membuatku tersulut amarah.

Dasar, Anjing Geladak! Aku kembali membaca komik di tempat tidurku, tapi rasa marah dalam diriku tak juga reda. Semua ini karena bocah yang berbagi wajah denganku itu. Aku meliriknya dengan sinis. Reflek, tanganku bergerak meraih bukuku yang tergeletak di lantai, antara diriku dan saudara kembarku. Tanpa berpikir, aku melemparkannya pada Noah yang tampak serius mengerjakan tugas.

Terdengar suara lantang yang akhirnya meredakan marahku.

“Kerjain punyaku juga."

Aku membaringkan tubuh sambil membalikkan badan. Sembari memunggungi Noah, aku kembali membaca komik yang sialnya habis kubaca dalam sepuluh menit.

Diam-diam, aku mencuri lihat ke arah meja belajar.

Idiot!!!

Dia benar-benar mengerjakan pe-erku. Segera aku bangkit dari tidurku dan mengambil bukuku.

“Idiot!!!” Aku merebut bukuku dan menatapnya dengan geram. “Kau itu... selain punya otak, kau punya akal kan, Noah?”

Saudara kembarku itu mengerutkan alisnya, memasang wajah bodoh. “Maksud kamu?”

“Demi TUHAN!!!!"

Aku mengayunkan kedua tanganku menuju lehernya. Tapi detik berikutnya, aku berakhir mencengkeram udara.

Tuhan.... Hah!!! Rasanya Tuhanlah yang paling parah di antara kami. Bisa-bisanya Dia menciptakan aku dan Noah bersamaan. Bisa-bisanya aku menjadi saudaranya! Bisa-bisanya Dia menjadikan kami saudara kembar!!

Aneh!

Tidak beres!!

Sialan!!!

“Noel.” Noah menatapku dengan kedua matanya yang telah padam sinarnya. Mungkin mereka sama denganku; capek dengan ketololan pemiliknya yang bodoh itu. “Marah ya?”

“Aku mau marah, aku mau muak, apa perdulimu?!” Kubuang mukaku jauh-jauh darinya.
“Tentu saja aku perduli Noel!” Dia menarik tanganku. Meraih kepalaku dan.....

Puah!!!

“Tahi!! Brengsek!!!” Aku mendorong tubuhnya menjauh. Jatuh terjengkang menimpa tumpukan bukunya yang tertumpuk di lantai.

Aku meninggalkan Noah yang termangu di sana dengan bibir berdarah.

Baca juga: Cheese in the Trap

 

Di masa-masa SMA, aku ‘kehilangan’ dia. Tak lagi aku mampu mengejar bayangnya.

Tak ada lagi teriakan Noel, tak ada lagi gemuruh teriakannya yang terdengar di rumah kami. Namun riuh ramai gelora amarah semakin tak terkendali. Terlepas, terbang, menelikung ke segala arah. Menyelimuti kami. Mengusir Ibu yang makin tua ke kamarnya, guna menyelamatkan diri dari emosi kami yang makin menggelembung dan siap meledak kapan pun.

Kesenduanku tidak lagi dapat kuungkapkan lewat kata, kerutan wajah, dan cemoohan. Tapi dalam hatiku masih rindu kerinduan yang sama. Aku ingin selalu berada di sisi Noel. Aku ingin sekali lagi melihatnya menikmati es krim di tengah musim panas yang menyengat ini. Aku ingin melihatnya berenang di sungai. Aku ingin….

Hah…. Kenapa kerinduan ini tak berkesudahan? Meski aku mencoba mengusirnya. Terus dan terus. Kenapa akhirnya dia malah kembali?

Dan Noel makin menjauh?

“Noah, yang bikin puisi di mading kamu?” Seorang gadis menghampiriku, saat aku sedang duduk di bangku di depan lorong aula utama sekolah.

Rambut panjang, kulit putih, senyum kelewat ramah, mata nakal, dan tubuh sintal. Tipe-tipe pacar  Noel.

Aku mengangguk. Memperhatikan wajahnya dengan baik, menyimpan sosoknya baik-baik di kepalaku.

“Romantis banget! Aku suka!” Senyum gadis itu mengembang seperti bunga matahari. “Kamu saudara kembar Noel? Kalau saja aku nggak melihat kamu dengan kacamata dan gayamu yang kalem, pasti aku sudah salah sangka.”

Bunga matahari itu menjadi semakin besar dan besar hingga membuat sekeliling menjadi gelap.

“Lalu?” Aku menatapnya dingin dan segera menyeret langkahku jauh-jauh dari lorong di dekat aula utama sekolah.

Aku menulikan pendengaranku ketika si bunga matahari terus memanggilku. Suaranya bersahutan dengan deru suara bel tanda masuk. Biasanya aku seperti domba-domba yang digiring ke mesin pencukur bulu saat mendengar bel masuk. Namun hari ini berbeda.

Alih-alih masuk kelas, aku memilih untuk menuju toilet. Melepas kacamataku. Menatap wajah di pantulan kaca. Memandang wajah Noel yang ada di sana.

Noel boleh saja menghindariku dan meninggalkanku sendirian. Tapi aku selalu merasa kami bersama tiap kali aku berhadapan dengan kaca. Walau ketika aku berhadapan dengan Noel yang ini bayang diriku selalu saja tersesat dalam dirinya. Dalam pesona wajahnya yang dingin dan sinis, yang kini terpantul dari wajahku.

Perlahan, aku menarik tanganku. Aku menempelkannya di kaca, mengamati dan menikmati tiap detil wajahku. Sembari membayangkan wajahnya.

Semakin lama aku menatap bayanganku, semakin kuat gelora hatiku. Semakin besar inginku untuk kembali bersamanya. Untuk kembali menghabiskan waktu berdua.

Dan semakin besar keinginanku untuk memilikinya.

Bersambung ke: Twist and Shout (Part 2)


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Cerpen Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Raga Senja Berjiwa Fajar: Sebuah Renungan Kemerdekaan Untuk Pemuda


Figur: Lia Indra Andriana - Dari Seorang Calon Dokter Gigi Menjadi Salah Satu Penerbit Berpengaruh


Girls in the Dark - Hal-Hal yang Terjadi Ketika Sekelompok Gadis Berkumpul dalam Gelap


Pee Mak Phra Khanong (พี่มาก..พระโขนง): Cinta Tanpa Batas


5 Lagu Indonesia Tahun 90-an Mengesankan Versi Artebia


Kober Mie Setan, Gresik Kota Baru


7 Mal Dan Tempat Nongkrong Dengan Toilet Asyik Di Surabaya


Misteri serta Sejarah Jatimulyo dan Mojolangu, Malang (Bag. 2)


Diskusi Bersama Alvi Syahrin dan Ika Vihara: Wattpad dan Sastra Digital


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Ketiga)


Ode Untuk Si Bungsu


Biru, Rindu