Oma Lena - Part 2

14 Feb 2015    View : 3142    By : Nadia Sabila


Sebelumnya Oma Lena Part 1

 

Tak lama kemudian pintu kamarku diketuk. Ketukan itu jelas ketukan Rania. Aku sangat mengenal sahabatku itu, dia pasti sangat mencemaskanku. Sambil mengusap mata aku membukakan pintu. Begitu melihat wajahku, Rania langsung memelukku.

“Maafin aku Vi! Seharusnya aku nggak ngebiarin kamu ikutan lomba itu, seharusnya aku nggak ngajak kamu ke stand masak, seharusnya...” sesal Rania.

“Ssst, udah! Bukan salahmu kok, mungkin Oma Lena bener,” potongku.

“Apa benernya mempermalukan seseorang di hadapan orang banyak? Kamu sahabatku, Vi! Bebanmu, bebanku juga! Apalagi dia juga mengatasnamakan remaja perempuan, aku juga remaja cewek! Aku udah bicara sama Pak Koki, dua juri lain dan Iko. Mereka semua setuju kalau Oma Lena tuh ngawur! Bahkan Iko pun nggak mau menerima kemenangan jika lawannya dipermainkan seperti tadi. Itu namanya nggak adil,” cecar Rania.

“Waktu Oma Lena udah pergi, juri meralat bahwa dua-duanya bagus, sebenarnya hadiahnya juga sama aja kok! Selain itu, beberapa remaja cewek juga ada yang maju memprotes orasi nggak menyenangkan dari Oma Lena tadi. Mereka semua nggak terima Oma bawa-bawa nama remaja cewek! Tingkah Oma nggak manusiawi, kayak dirinya sendiri bukan cewek aja,” lanjutnya.

Aku menarik napas lega. Ternyata penonton juga setuju itu semua nggak adil.

“Oma emang kelewatan. Emang ini cuma hal kecil, tapi bukankah keadilan harus dimulai dari hal yang kecil? Kamu tenang aja, Vi! Semua udah beres,” kata Rania.

Thanks a lot ya, Ran! Aku legaa banget sekarang,” kataku.

Rania memang paling bisa. Rania memang sahabat terbaikku. Aku janji suatu saat aku harus membalas kebaikannya. Kami berdua berpelukan lega.

“Ngomong-ngomong, kamu sama siapa ke sini, Ran?” tanyaku.

Rania terlihat agak kaget dan entah kenapa mukanya mendadak memerah. “Ak, aku ke sini sama....”

Perkataan Rania terpotong begitu seseorang muncul di pintu.

“Kamu nggak apa-apa kan, Vi?” tanya orang itu yang tak lain adalah... Raven!

“Kamu lama banget sih, Ran? Mana aku nggak dibolehin masuk, aku kan jadi khawatir sendiri. Aku kira Viva jantungan di dalem!”

“Loh, Raven?! Aku nggak apa-apa kok! Tenang aja,” jawabku.

“Hhh, ya udah, syukur deh! Kalo gitu, aku tunggu di luar ya? Motornya nggak ada yang jaga,” kata Raven yang tertuju kepada Rania.

Raven? Rania? Waah, ada apa ya dengan mereka?

“Ran, sejak kapan kamu kenal Raven? Kok nggak pernah cerita? Beno gimana?” tanyaku.

“Beno ninggalin aku tanpa sebab yang jelas Vi. Emm, kita kenalan di rumah ketua panitia acara gelar seni ini. Aku kan koordinator, jadi sering bolak-balik ke sana mengurus kelengkapan acara. Raven kan juga koordinator screen jadi kita sering ketemu. Raven juga yang menemani hari-hariku semenjak Beno nyuekin aku,” jawab Rania malu-malu.

“Kamu kenal Raven juga? Udah lama? Menurutmu Raven tuh gimana Vi? Maksudku, boleh nggak aku lebih deket sama dia? Sebenernya...kita lagi pedekate,” akhirnya Rania mengaku.

Aku tersenyum simpul. Jelas sudah sekarang. Aku lega belum pernah cerita tentang Raven pada Rania. Kalau Rania sampai tau aku nge-fans Raven, dia pasti akan mengalah. Walaupun aku menjelaskan mati-matian bahwa aku hanya menyukai, Rania juga akan mati-matian mencari alasan untuk mengalah. Sekaranglah saatnya untuk membalas kebaikan Rania.

cinta_segitiga

Beberapa minggu berlalu sejak kejadian itu. Aku sukses mencomblangkan Raven dan Rania. Dan yang terpenting, aku sudah mulai kebal menghadapi sikap Oma Lena. Tapi beberapa hari ini, Oma Lena tidak pernah keliatan. Seharusnya hatiku senang karena sang ‘Trouble maker in the evening’ tak berulah lagi. Tapi yang ada, aku malah merasa khawatir. Apa Oma sakit? Terus siapa yang ngerawat, ya?

 “Ma, Oma Lena beberapa hari ini kok nggak pernah kelihatan ya? Apa dia sakit?” tanyaku suatu kali saat keluargaku sedang santai di ruang keluarga.

“Katanya bete sama Oma Lena? Kok malah nyariin?” goda Azzur jail.

“Mama juga kurang tau Vi! Kasihan Oma Lena, beliau kesepian. Dia terpaksa tinggal sendirian karena anak semata wayangnya nggak mau nampung ibunya yang sudah renta itu. Anaknya lebih memilih mengirim Oma ke panti jompo daripada balas budi merawat ibunya,” jelas Mama.

“Suami Oma? Anak Oma tuh cewek ato cowok sih? Kok jahat gitu?” tanyaku.

“Oma janda. Anak Oma seorang wanita karir yang sukses. Wanita itu memberi Oma tiga orang cucu. Tapi ketiga anaknya itu disekolahkan ke luar negeri atau diasramakan sehingga sulit bagi Oma untuk bertemu cucu-cucunya.”

Aku terharu mendengar cerita Mama. Anak Oma Lena memang tak tahu terima kasih. Tega-teganya menelantarkan orang yang paling berjasa dalam hidupnya. Aku berjanji pada diriku sendiri akan merawat kedua orangtuaku di hari tua mereka nanti. Aku akan mencari suami yang dengan tulus hati mencintaiku dan keluargaku. Siang itu, dari jendela kamarku aku melihat Oma Lena turun dari becak sambil membawa tas belanjaan. Belanjaannya banyak sekali sampai tukang becaknya ikut membantu membawakan ke dalam rumah.

Mungkin Oma Lena giliran ketempatan arisan, pikirku sembari menutup tirai lalu tidur.

***

Sore harinya, aku main voli dengan Azzur di halaman. Biasanya sore-sore begini pintu rumah Oma Lena pasti dibuka lebar-lebar karena orangnya lagi bersih-bersih. Tapi tidak sore ini.

Mungkin Oma sibuk masak. Aku mengangkat bahu. Moga-moga aja Oma Lena berbuat begini karena sedang intropeksi diri. Tiba-tiba Azzur melakukan smash. Karena tidak siap, aku menangkis bola dengan tanganku hingga bola keluar halaman. Ternyata pukulanku terlalu kuat sehingga....

PRRAANG!!!

Terdengar suara bola memecahkan kaca. Dan sialnya itu adalah kaca rumah Oma! Aku dan Azzur saling menyalahkan. Tapi kami berdua sama-sama pucat ketakutan.

“Gini aja deh, Kak Viva sekarang ngambil bolanya terus nanti aku yang beliin kaca baru plus masanginnya di rumah Oma,” tawar Azzur.

“Enak aja! Aku dong yang kena semprot sendirian,” protesku.

“Ya enggaklah! Toh, nanti waktu masang kaca aku juga bakal kena omel,” sanggah Azzur. “Emang Kak Vi masih punya duit buat ngganti kaca? Beli white rose kemaren aja udah maksa banget! Lagian Kakak juga nggak bisa masang kaca kan?”

Sayangnya, Azzur benar. Aku terpaksa menyetujui tawaran Azzur itu.

Dasar pengecut!! Aku terpaksa harus menghadapi Oma Lena sendirian.

Aku membuka pagar yang ternyata tak digembok. Aneh! Rumah Oma begitu sepi. Ternyata kaca teras maupun kaca kamar depan masih utuh. Berarti, bolaku memecahkan kaca teras samping. Aku berjalan ke halaman bagian samping rumah Oma yang rimbun. Berkali-kali aku meneriakkan permisi tapi tetap tidak terdengar jawaban. Dugaanku benar. Kaca jendela teras samping pecah berserakan dan bola voliku tergeletak di dalam ruangan.

Aku mengetuk pintu seraya memanggil Oma. Sekali, dua kali sampai lima kali tetap tak ada jawaban, akhirnya aku memberanikan diri membuka pintu.

Tak dikunci. Ada yang tidak beres! Aku menyusuri ruangan dalam rumah itu. Ini pertama kalinya aku masuk rumah Oma. Rumahnya tidak begitu besar, tapi lapang karena perabotannya sedikit. Segalanya masih tampak rapi. Tidak ada tanda-tanda perampokan. Tiba-tiba aku memekik tertahan.

Aku benar-benar ngeri melihat sesosok tubuh tergeletak di depan sebuah jam besar kuno. Entah tubuh itu masih bernyawa atau tidak, yang jelas itu adalah tubuh Oma Lena....

kaca_pecah

Bersambung.


Cerpen keren Artebia lainnya:




Nadia Sabila

Nadia Sabila adalah seorang jurnalis yang menggandrungi travelling dan makanan pedas.

Profil Selengkapnya >>

Cerpen Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Menikah - Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Masyarakat


Prisca Primasari - Menulis Adalah Memberi Kado Pada Diri Sendiri


Rahasia Suami dan Istri Pembawa Rezeki - Agar Menjadi Suami Idaman Istri


Me Before You - Jojo Moyes and a Bowl of Warm Love Story


Kataji - Awal Mula Saya Terpikat pada Yura


Nikmatnya Sop Buntut di


Taman Patung Kuda Gunung Sari - Taman Segala Usia


Grojokan Sewu: Seribu Cerita Dari Grojokan


Tea Tasting Bersama Havelteh


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Ketiga)


Oma Lena - Part 4 (TAMAT)


Lepas (Tak) Bebas