Pria Asing Di Pos Kamling

05 Apr 2015    View : 4034    By : Nadia Sabila


Pria itu sudah beberapa hari ini mondar-mandir di dekat pos kamling desa yang sudah berupa bangunan batu. Kadang hanya duduk-duduk, kadang berdiri mematung, atau kalau hujan, dia tampak tidur nyenyak dalam pos. Usianya kira-kira 50 tahunan, berkulit agak gelap, berambut hitam ikal gondrong diikat ke belakang. Brewok dan kumis lebat yang menghiasi wajahnya, menambah kesan angker meski perawakannya tak bisa dibilang kekar. Pria itu memakai udeng batik berwarna merah gelap di kepalanya.

Bajunya pun itu-itu saja. Luaran hitam lusuh dengan dalaman kaos putih, dan celana hitam cingkrang ala penjual sate. Mirip dengan baju adat Madura yang terlalu sering dipakai. Sepertinya dia berakal sehat. Tatapan matanya penuh, meski tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya kala berpapasan dengan penduduk desa. Kadang terlihat dia makan nasi bungkus di dalam pos itu, yang entah dibelinya dari mana.

pria_asing_di_poskamling
Para penduduk mulai kasak-kusuk menanyakan siapa gerangan dia, darimana datangnya. Banyak yang mengira dia hanya gelandangan, namun tak sedikit pula yang resah kalau-kalau laki-laki paruh baya itu berniat jahat. Para ibu yang berkumpul di tukang sayur pagi hari saling bertukar informasi, tapi nihil, tetap tak ada yang merasa kenal dengan pria asing itu.

Pak Suroso sudah tak bisa tidur tenang. Dering telepon, ketukan pintu di rumahnya, yang datang dari para penduduk desa yang resah dengan pria di pos kamling itu, sudah terlalu sering. Meski dalam hatinya ia yakin pria itu tak akan mengganggu, namun sebagai ketua RW, Pak Suroso setidaknya bisa memberi kepastian pada warganya.

***

Ditemani Mujadi, si Asisten "serbaguna" penduduk desa, akhirnya Pak Suroso mendatangi pria asing di pos kamling itu. Sore itu mendung gelap dengan gerimis tipis. Si pria asing duduk bersila dalam pos ronda. Matanya menatap lurus ke depan. Bahkan ketika Pak suroso dan Mujadi sudah memarkir motor mereka di depan pintu, si pria asing itu tak mengubah posisinya.

"Nuwun sewu," sapa Mujadi dari luar.

Si pria asing menoleh ke Mujadi. Tak disangka, sudut bibir pria asing yang hampir tertutup brewok itu menyunggingkan senyum samar dan anggukan tipis. Tatapan matanya pun ramah pada Mujadi dan Pak Suroso. Kesan dingin dalam benak Mujadi dan Pak Suroso terhadap pria itu buyar seketika.

"Monggo. Maaf ya Pak RW dan Pak Mujadi, Pos Kamlingnya saya invasi. Saya tidak punya pilihan," kata pria itu dalam Bahasa Jawa terhalus. Ia mengubah posisi duduk bersilanya ke posisi duduk yang normal, isyarat tak langsung agar Pak Suroso dan Mujadi bisa duduk di sebelahnya.

Pak RW? Pak Mujadi? Invasi? Pak Suroso dan Mujadi tercengang dan saling bertatapan. Mereka bahkan belum memperkenalkan diri pada pria itu, dan kosa kata "invasi" yang dipilihnya menunjukkan bahwa pria ini orang berwawasan. Mujadi saja tidak tahu persis apa arti kata itu. Skenario awal di benak Pak Suroso, ia rencananya akan menegur pria itu dengan sikap tegas, namun melihat sikap yang di luar dugaan ini, Pak Suroso jadi sedikit bingung harus memulai darimana.

"Injeh Pak... sinten? (Iya Pak... siapa?)" kata Pak Suroso.

"Kula Pusoko (saya Pusoko)," jawabnya singkat.

"Jadi begini Pak Pusoko, saya mewakili warga desa yang bertanya-tanya, jadi Bapak ini asalnya dari mana? Dan ada tujuan apa datang kemari?" tanya Pak Suroso sesopan mungkin.

Suasana hening sejenak. Pria yang ternyata bernama Pusoko tersebut terdiam. Tampak ia sedang berpikir, bagaimana kalimatnya setelah ini dapat diterima dengan baik oleh Pak Suroso dan Mujadi. Lalu Pusoko berdiri dan merogoh kantong celana cingkrangnya. Kepada Pak Suroso ia menyerahkan KTP lusuh, yang minim identitas.

Hanya baris nama, alamat, dan tanggal lahir saja yang terisi. Tanggal lahir itu pun tertulis, 17 Agustus 1945, tanggal yang kerap dipilih oleh orang-orang jaman dulu yang tidak punya akta kelahiran dan tak tahu kapan tepatnya ia lahir. Provinsinya Jawa Tengah, namun nama kabupaten dan desa yang tertera di situ belum pernah didengar sebelumnya oleh Pak Suroso. Lagi pula, di tahun 2006 ini, Pusoko tampak belum setua orang dengan tahun lahir 1945.

"Itu KTP asli, Pak," sahut Pusoko seolah tahu Pak Suroso mempertanyakan keaslian KTP itu dalam pikirannya.

"Yang jelas, saya tidak punya niat jahat di desa ini Pak Suroso, Pak Mujadi," sambungnya.

"Angin membisikkan pada saya bahwa akan ada satu peristiwa besar yang akan melanda desa ini. Peristiwa itu memang tidak akan langsung meledak dahsyat, namun makin lama makin besar dan mengubah desa ini 180 derajat. Kendaraan-kendaraan akan lalu lalang di atas desa ini. Makam-makam akan tenggelam. Tugu kuning besar di gerbang masuk desa ini akan semakin memendek, sementara rel kereta api di depannya akan terus meninggi. Desa ini akan kosong,"

Pak Suroso dan Mujadi makin dibuat terheran-heran oleh isi pembicaraan Pusoko. Pusoko menyampaikan pernyataan itu dengan serius. Raut muka Mujadi heran bercampur takut. Pusoko tampaknya bukan orang gila, tapi dia "orang pintar", batinnya.

"Saya tidak meminta apa-apa dari Pak Suroso dan warga. Saya hanya minta diperkenankan untuk tinggal di pos ini, sampai orang-orang yang saya tunggu, datang,"

"Pak Pusoko menunggu siapa? Bagaimana saya bisa meyakinkan masyarakat kalau njenengan (panjenengan= Anda) tidak berniat jahat?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Pak Suroso.

"Pak Suroso dan Pak Mujadi sendiri percaya tidak pada saya? Kalau njenengan berdua percaya, mohon sampaikan pada warga bahwa saya hanya menunggu kedatangan orang. Tapi, mohon jangan bicara tentang peristiwa yang saya jelaskan tadi. Tapi kalau Bapak berdua tidak percaya pada saya, apa boleh buat, saya akan pergi dan mengawasi dari jauh saja, tapi jangan salahkan saya kalau kedatangan saya nanti terlambat,"

Gemuruh seketika berguruh saat Pusoko mengakhiri kalimatnya. Hujan deras pun turun. Mujadi makin pucat pasi. Ia sangat ketakutan menghadapi lawan bicara Pak Suroso ini. Pak Suroso sangat bingung.

"Bagaimana njenengan bisa tahu, nama saya dan Pak Suroso?" akhirnya Mujadi berani bertanya meski jelas ia ketakutan.

"Saya dengar dari pembicaraan warga," sahut Pusoko lirih, seolah jawabannya itu hanya upaya untuk menjadi jawaban normal.

"Pak Pusoko sebaiknya tidak tinggal di pos ini," ujar Pak Suroso tiba-tiba.

"Meski saya percaya, tapi warga tidak akan percaya. Saya khawatir Pak Pusoko akan mendapat tindakan kurang menyenangkan dari warga yang berburuk sangka,"

"Saya punya kontrakan di RT sebelah. Pak Pusoko bisa tinggal di sana sambil menunggu orang yang bapak maksud. Tidak perlu membayar..."

"Saya bisa bayar," potong Pusoko datar.

"Katakan saja berapa biayanya. Nanti saya transfer. Meskipun percuma, saya yakin setelah kedatangan orang itu, Pak Suroso akan sangat membutuhkan uang,"

Pembicaraan ini terdengar sedikit lucu. Orang sesangar Pusoko ternyata kenal dengan istilah modern seperti transfer bank. Siapa sebenarnya orang ini, batin Pak Suroso.

"Saya mengerti maksud Pak Suroso. Saya tidak mau merepotkan njenengan dalam menghadapi amarah warga. Baiklah, saya terima tawaran Pak Suroso, tapi ini berarti, Bapak sudah siap risiko yang ditanggung jika semuanya terlambat," tutup Pusoko.

Setelah menjelaskan letak kontrakan dan memberikan kunci rumah, hujan pun berhenti. Pak Suroso dan Mujadi pulang. Pak Suroso sendiri heran mengapa ia bisa sepercaya itu pada Pusoko, bahkan memberikan kunci rumah kontrakannya. Sementara di benak Mujadi, "Kendaraan-kendaraan akan lalu lalang di atas desa ini. Makam-makam akan tenggelam. Tugu kuning besar di gerbang masuk desa ini akan semakin memendek, sementara rel kereta api di depannya akan terus meninggi" terus terngiang di telinganya.

tugu_kuning

***

Ternyata Mujadi tak sanggup menyimpan ketakutannya sendirian. Ia pun menceritakan pembicaraan dengan pria asing di pos kamling tadi pada istrinya. Istri Mujadi dengan cepat menyebarkan pada ibu-ibu dan dalam sehari saja semua warga sudah tahu apa yang didapatkan oleh Pak Suroso dan Mujadi dari pria asing bernama Pusoko itu.

Tersebarnya kabar itu pun telah sampai ke telinga Pak Suroso. Ia tahu Mujadi tak bisa menyimpan rahasia karena ketakutan. Pak Suroso memutuskan untuk menggelar rapat RW untuk mengonfirmasi hal ini. Dan ia ingin Pusoko sendiri yang menjelaskan semuanya pada warga.

Pak Suroso memutuskan untuk mendatangi Pusoko. Namun sesampainya di rumah kontrakan, rumah itu kosong. Tetangga depan rumah kontrakan yang melihat kedatangan Pak Suroso malah menyerahkan kunci rumah itu. Tetangga itu mengatakan, ada seorang pria yang menitipkan kunci rumah padanya.

Kemana perginya Pusoko, pikir Pak Suroso. Ia memeriksa isi rumah kontrakannya. Tampak tak kurang apa pun, bahkan rumah itu tampak belum dimasuki sama sekali. Pusoko sudah tak tampak di pos kamling sejak sore itu, tapi ke mana perginya dia.

***

Tiga hari berselang sejak Pusoko diketahui menghilang. Kalimat "Kendaraan-kendaraan akan lalu di atas desa ini. Makam-makam akan tenggelam. Tugu kuning besar di gerbang masuk desa ini akan semakin memendek, sementara rel kereta api di depannya akan terus meninggi. Desa ini akan kosong" terus meluncur dari bibir warga desa tanpa mereka paham apa maksudnya.

Hari itu, rombongan insinyur dari perusahaan pengeboran datang ke desa. Mereka menuju ke sebuah lapangan untuk persiapan melakukan pengeboran. Namun sebelumnya, mereka menemui lurah dan pejabat desa, termasuk Pak Suroso, untuk minta ijin melakukan pengeboran. Surat-surat perijinan yang diperlukan akan segera ditandatangani di Balai Desa, namun tiba-tiba ...

"Kulo nuwun, Pak Lurah jangan tanda tangan dulu!" teriak seseorang, yang tak lain adalah Pusoko yang sempat menghilang. Pusoko tampak berlari menuju deretan tempat pertemuan orang-orang penting itu.

Perhatian semua orang tertuju pada Pusoko. Namun terlambat, garis pertama telah tergores di kertas putih itu, tinggal melanjutkan menjadi sebuah tanda tangan sempurna. Pusoko berdiri di tangga pertama menuju balai. Napasnya terengah-engah. Wajahnya kuyu. Tatapannya benar-benar kecewa. "Tak kusangka, aku benar-benar terlambat," gumamnya lirih.

Pusoko seolah tak menghiraukan pandangan orang-orang perusahaan itu, ia langsung berbalik dan melangkah gontai. Pak Suroso langsung bangkit dan mengejar Pusoko. "Ada apa Pak? Kenapa tidak boleh tanda tangan?"

Pusoko mengangkat kepalanya dan lalu menyahut,"Orang-orang pengeboran itulah yang saya tunggu, Pak Suroso. Mereka akan membawa perubahan besar di desa ini. Perubahan yang tak baik. Saya sendiri tak tahu tepat apa. Saya hanya mendapat firasat, kendaraan-kendaraan akan lalu di atas desa ini. Makam-makam akan tenggelam. Tugu kuning besar di gerbang masuk desa ini akan semakin memendek, sementara rel kereta api di depannya akan terus meninggi, dan desa ini akan kosong,"

Langkah Pak Suroso terhenti. Pusoko pun berbalik pergi, dan tak pernah kembali.

lumpur_lapindo
***

26 Mei 2006. Sumur salah seorang warga menyemburkan lumpur yang memancar dari dalam tanah, terus menggelegak ke atas. Esoknya, beberapa rumah lainnya mengalami kejadian serupa, lumpur panas membuncah dari dalam tanah tak terbendung, menyembur. Lumpur itu meluap-luap dan membanjir. Warga desa tak bisa lagi berdiam diri di desa itu. Mereka semua harus dievakuasi sebelum efek semburan lumpur membahayakan nyawa. Luapan makin besar. Bau gas alam yang ikut menguar bersama semburan itu menyebabkan banyak warga desa pusing dan di rawat di rumah sakit terdekat.

Desa itu kemudian kering, perlahan-lahan terbenam, kosong, lalu mati. Pos kamling di desa lengang itu pun mulai roboh. Tak ada tanda-tanda kehidupan, semua harus pergi meninggalkan kenangan dan semua yang tak bisa dibawa serta ke tempat baru. Tahun demi tahun berlalu, luapan lumpur makin menjadi. Desa itu terbenam total dan tanggul lumpur pun dibangun. Akibat luapan kumpur itu, tanah di daerah desa itu ambles, beberapa senti dari posisi semula.

Lima tahun sejak kejadian itu, Pak Suroso melintas melewati desanya yang lama. Pak Suroso sendiri sudah pindah ke rumah ganti rugi dari perusahaan itu, itupun setelah berjuang susah payah agar dapat ganti rugi. Untunglah ada transferan uang yang masuk ke rekeningnya.

Tanggul lumpur kokoh berdiri dan di lalu beberapa sepeda motor. Tugu kuning tanda masuk kian terbenam saja mengikuti tanah yang ambles. Rel kereta api di depan tugu itu pun berkali-kali harus diuruk dan ditinggikan agar tak ikut ambles.

Pak Suroso seketika teringat Pusoko, sang pria asing di pos kamling. Dan kini pahamlah ia akan perkataan Pusoko: "Kendaraan-kendaraan akan lalu lalang di atas desa ini. Makam-makam akan tenggelam. Tugu kuning besar di gerbang masuk desa ini akan semakin memendek, sementara rel kereta api di depannya akan terus meninggi. Desa ini akan kosong."

desa_lumpur

 

Sidoarjo, April 2016
*Terinspirasi oleh peristiwa Lumpur Panas Lapindo, Sidoarjo.

 

 

Cerpen keren Artebia lainnya:




Nadia Sabila

Nadia Sabila adalah seorang jurnalis yang menggandrungi travelling dan makanan pedas.

Profil Selengkapnya >>

Cerpen Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Berhenti Belajar! Mari Mulai Berpikir dan Menciptakan


Alvi Syahrin - Semua Berawal Dari Mimpi Dan Kemudian Menjadi Nyata


Gara-Gara Indonesia: Satu Peran Tak Langsung Indonesia Untuk Dunia


Thirteen Terrors: Kisah Menyeramkan di Setiap Sekolah


Danilla dan Kalapuna


Kue Cubit Surabaya - Cubit Gigit Legit


Pandu Pustaka: Perpustakaan Keteladanan Di Pekalongan


Pantai Karanggongso - Pantai Jernih Berpasir Putih Di Teluk Prigi


Nasib Literasi di Era Digitalisasi


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Lima)


Twist and Shout (Part 2)


Hujan Sepasar Kata