Cheongsam Bunga Teratai Mei Lien

08 Feb 2016    View : 3510    By : Henny Kustanti


Ní wá wá, ní wá wá
Yí gè ní wá wá
Wǒ zuò tā mā ma
Wǒ zuò tā bà ba
Yǒng yuǎn ài zhe tā

(Mud doll, mud doll
A mud doll
I’ll be her mother
I’ll be her father
I’ll love her forever)

Samar terdengar bait terakhir nyanyian anak-anak dari dalam sebuah klenteng. Bernyanyi bersama adalah sesi terakhir pelajaran bahasa Mandarin sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Wajah Rudy menegang; mata sipit sarat kepedihan miliknya menerawang jauh ke atas langit tempat Tian Wang[1] dan Tian Shen[2] berada, dan rahangnya terlihat menonjol seperti menahan tangis. Lagu itu masih membuat hati dan sendi-sendi lutut Rudy melemah. Betapa ia begitu merindukan istri tercintanya meski hampir 18 tahun berlalu.

Rudy berusaha keras mengembalikan kekuatannya sebelum Mei Lien melihatnya. Meski telah berusia hampir 22 tahun, Mei Lien tetap seperti putri kecilnya yang melihat kue bulan sebagai perhiasan dan disimpannya berhari-hari dalam kotak kue yang terlalu besar, sebelum akhirnya memakannya di sudut kamar. Mei Lien adalah bunga teratai suci nan cantik yang akan selalu jadi satu-satunya alasan Rudy hidup dan bertahan.
“Pa, chi fan le ma[3]?”

Senyum Rudy mengembang lebar demi mendengar pertanyaan putrinya. Mei Lien telah lama bertindak selaku ibu rumah tangga di rumah.

Wo chi fan le, xie xie[4]. Papa tadi mampir toko Koh Ah Fu. Dia bagi satu buat kamu.”

Mei Lien sedikit cemberut karena ia akan makan sendiri malam ini.

Koh Ah Fu yang menjual bakpao tradisional itu sudah tua, Mei Lien tahu mengapa papanya seringkali mengunjungi saudara jauhnya itu. Papanya takut Koh Ah Fu tiba-tiba terkena serangan jantung seperti bulan lalu. Beruntung sekali waktu itu ada pembeli bakpao yang menolong dan membawanya ke rumah sakit.

Mei[5], besok kita ke kuburan Mama lebih pagi ya, setelah itu papa mau bantu Koh Ah Fu beres-beres rumah.”

“Iya, besok Mei Lien bantu. Setelah itu kita beli hio buat sembahyang dan nian gao[6]. Para orangtua siswa besok mau libur persiapan buat Sin Tjia.” Orang Tionghoa dan keturunan sering menyebut Hari Raya Tahun Baru Imlek dengan "Sin Tjia", yang juga berarti Festival Musim Semi di Negara Cina sana.

Setibanya di rumah, Rudy mengajak putrinya berbicara di meja makan seperti yang selalu mereka lakukan, sebelum memberi waktu bagi tubuh mereka berbaring dan istirahat di malam hari.

Mei, Papa mau meimei berhenti ngajar les Mandarin. Meimei juga bisa berhenti bikin cheongsam[7].” Rudy memulai dengan sedikit gugup.

Para dewa di langit dan Rudy tahu bahwa mengajar bahasa Mandarin bagi mereka yang ingin sekadar ikut-ikutan teman, maupun yang benar-benar ingin mempelajari budaya Cina melalui bahasanya adalah keinginan Mei Lien sejak kecil. Dan membuat cheongsam terindah adalah cara Mei Lien untuk menumpahkan rasa rindu yang teramat sangat pada Sang Mama. Namun, rasa sayang dalam diri Rudy tak dapat memusnahkan kekhawatiran akan trauma masa lalu yang senantiasa melayang membayang.

“Papa baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba nyuruh Mei Lien berhenti?” Mei Lien pun tahu papanya tak pernah benar-benar baik sejak 18 tahun yang lalu. Mei Lien masih sering mendengar isak tertahan dari dalam kamar papanya.

“Teman papa di bank bilang ada tempat kosong buat mei-mei bisa kerja di sana.” Suara Rudy sudah terdengar lebih parau. Rudy sama sekali tak siap, sementara putrinya terdengar begitu lantang dan percaya diri.

Wo mei you[8], Pa. Mei Lien suka kasih les bahasa Mandarin. Mei Lien suka banyak anak bisa nyanyi dengan bahasa Mandarin. Mei Lien juga suka menjahit cheongsam seperti Mama.”

Mei Lien masih ingin melanjutkan kata-katanya. Mei Lien ingin bilang bahwa dia sama sekali tidak takut dan tidak berniat melarikan diri dari ketakutan masa lalunya. Mei Lien lebih memilih untuk menghadapinya seperti Sang Mama. Akan tetapi, air mata papanya yang sudah menggantung, mata yang tak sanggup menatap mata Mei Lien dan kepala yang lalu menunduk karena tak ingin Sang Putri melihat kelemahannya, membuat Mei Lien menghentikan kalimatnya.

Mama Mei Lien adalah satu alasan yang sama bagi mereka. Bagi Rudy, kematian istrinya menjadi dinding tebal yang menutup kejernihan matanya. Mata yang dulu begitu bersinar dan penuh mimpi. Namun kini, hanya binar rasa bersalah bak bom waktu yang siap meledak tanpa aba-aba yang tersisa. Sementara itu, bagi Mei Lien, kematian mamanya justru membuatnya tumbuh menjadi gadis yang bersinar begitu terang dan berani.

“Pa, Mei Lien ndak mau lari. Mei Lien mau hidup seperti Mama yang berani. Mei Lien percaya Mama ada di sini melindungi Mei Lien. Mei Lien ndak mau kematian Mama sia-sia.”

Rudy memeluk putrinya lama, ia tak ingin Mei Lien melihatnya begitu rapuh. Rudy sungguh bangga melihat putrinya begitu kuat, tetapi ia semakin khawatir seandainya ia juga akan kehilangan putri semata wayangnya.

Mei Lin tahu papanya menangis. Napasnya tertahan dan dadanya terasa menyesak dalam pelukan, kemudian bahu kiri Mei Lien terasa hangat oleh air mata, lalu menjadi dingin karena embusan napas. Mei Lien tahu betapa sakit hati papanya. Ini adalah pertama kalinya mereka melihat ke belakang dan membicarakannya, meskipun tidak secara terbuka. Tetapi Mei Lien tahu, lebih dari siapa pun, walau ia baru empat tahun pada waktu itu. Mei Lien tak mau bicara selama berbulan-bulan setelah kejadian itu.

Menyaksikan kematian Sang Mama tercinta dengan sepasang matanya yang masih polos dan jernih sungguh menyakitkan. Mei Lien begitu ingin menyusul mamanya, tetapi sakit hati dan kebenciannya semakin menjauhkannya dari Sang Mama. Deretan cheongsam dan changshan[9] di toko mamanyalah yang membuat Mei Lien merasakan kehadiran mamanya. Mei lien dapat mencium aroma tubuh mamanya pada deretan baju itu. Dia juga lebih senang menghabiskan waktunya di antara deretan cheongsam buatan mamanya, sambil membaca buku catatan mamanya tentang membuat baju tradisional Cina itu.

Mei Lien masih sering menangis sendiri waktu melihat cheongsam dan changshan buatan mamanya; teringat kenangan yang begitu hangat dengan Sang Mama. Ketika kenangannya memaksa kembali pada kejadian itu, Mei Lien akan menangis tersedu lama, merasakan betapa sakit hatinya. Tetapi, mengingat kembali kejadian itu, Mei Lien juga teringat betapa berani mamanya. Keberanian yang terpancar pada binar bola mata Sang Mama menularkan energi yang sama besar padanya.

***

“Ma, Merry mau cheongsam bunga teratai!” Merry merengek minta dibuatkan cheongsam. Lily tersenyum lebar karena putrinya itu selalu minta dibuatkan motif yang selalu sama.

“Kan Sin Tjia kemarin sudah pakai cheongsam bunga teratai, kali ini bunga peony ya, nanti kembaran sama punya mama,” rayu Lily. Ia tahu putrinya suka memakai baju yang sama dengannya. Tetapi kadang putrinya bisa jadi sangat keras kepala.

Ndak mau, bunga teratai itu nama Merry, Mei—“

“Sssst!” sergah Lily cepat sambil menutup mulut Merry. Ia memberikan tanda pada putrinya untuk berhenti. Merry mengangguk pelan. Hidup pada masa ini di Indonesia sungguh sulit. Pemerintah memaksa warganya yang keturunan Tionghoa untuk menaati “metode asimilasi” yang dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan apa yang disebut “Masalah Cina” dalam beberapa pelarangan pada beberapa keputusan presidium. Mereka dilarang menjadi pegawai negeri atau tentara, dilarang merayakan ritual kepercayaan secara umum, bahkan mereka harus mengganti nama Cina mereka menjadi nama yang lebih umum.

Pengubahan nama ini sudah barang tentu merugikan warga Tionghoa, yang memercayai nama sebagai doa para orangtua terhadap pengembangan karakter dan hidup anak-anaknya kelak. Li Ming yang memiliki arti keindahan yang bersinar terpaksa harus mengganti namanya dengan Lily. Xi Feng, papa Merry yang namanya memiliki arti burung phoenix terpaksa mengganti namanya dengan Rudy. Sedangkan nama Cina Merry adalah Mei Lien yang berarti keindahan bunga teratai. Bunga teratai dalam budaya Cina melambangkan pengorbanan dan kecantikan yang suci.

Warga keturunan Tionghoa benar-benar disudutkan dalam dunia diskriminasi yang begitu luas. Panggilan “Cina” sebagai sebutan yang sengaja membedakan mereka, memaksa mereka hidup tertutup dalam lingkungan mereka sendiri. Tidak mengherankan seandainya warga keturunan Tionghoa memiliki ikatan persaudaraan yang sangat kuat antarsesamanya dalam kelompok mereka sendiri. Namun, segala jenis ritual kepercayaan juga dilarang, karena pemerintah malah merasa terancam dengan kokohnya persatuan para warga keturunan Tionghoa ini.

Papa Merry bekerja di perusahaan elektronik Cina, karena usaha orang Cina yang dapat bertahan adalah usaha besar yang mampu menyokong pemerintah. Sementara itu, usaha kecil didesak karena dirasa tak memberikan sumbangan berarti pada pemerintah.

Lily yang bekerja sebagai penjahit cheongsam tentu saja tidak dapat membuka sayapnya dengan lebar karena pelarangan pelestarian kebudayaan Cina. Warga keturunan Tionghoa hanya dapat memakai baju tradisional mereka pada perayaan Imlek yang tertutup dan diadakan dalam lingkungan kecil sebatas keluarga saja.

Lily diam-diam mengajari Merry yang sangat cerdas bahasa Mandarin untuk digunakan di dalam rumah saja. Lily juga membuat Merry tumbuh di antara deretan cheongsam dan changshan, mengajarinya makna-makna di balik banyak simbol dalam kepercayaan Tionghoa.

Ketika Lily sedang asyik menunjukkan gambar hewan-hewan dan bunga-bunga yang biasanya dijadikan motif cheongsam sambil menyanyikan lagu Mandarin favorit Merry, “Ni Wa Wa”. Rudy menghambur masuk dengan napas memburu. “Cepat masukkan itu semua, Ma.”

Cepat-cepat Lily dan Merry menghentikan kegiatan mereka dan memasukkan semua cheongsam dan peralatannya ke dalam kamar.

“Di luar sana sedang kacau. Di mana-mana orang mengamuk. Kita jadi incaran. Banyak toko-toko dijarah dan ada wanita serta anak-anak keturunan kita tergeletak di jalan raya,” kata Rudy masih dengan napas tersengal-sengal.

“Kalian masuk kamar dan kunci pintunya. Keluarga Hadi akan segera berkumpul  di sini.” Koh Ah Fu si penjual bakpao mengganti namanya dengan Hadi.

Merry yang masih kecil begitu takut dan terus menggenggam ujung baju mamanya. Lily tak berkata apa pun dan hanya melakukan apa yang diperintahkan suaminya. Saat itu, enam pria besar masuk rumah dengan paksa dan tanpa ba bi bu menghancurkan perabotan rumah dengan senjata ap apun yang mereka bawa, sambil berteriak-teriak kasar dan banyak sekali kata “Cina” yang mereka sebutkan. Ada yang membawa balok kayu, pisau, bahkan parang. Mereka menyobek cheongsam-cheongsam yang masih tergantung di gantungan.

Lily dengan sigap menggendong Merry dan akan membawanya lari ke kamar. Namun, satu pria yang paling besar badannya menarik rambut Lily sehingga Lily terhenti. Pria besar itu memisahkan Lily dan Merry. Diempaskannya Merry sehingga membentur ujung lemari di pojok ruangan. Badan Merry yang kecil terempas begitu keras membuatnya jatuh di lantai dan mulai menangis.

Kejadian itu begitu cepat. Pria besar itu membawa Lily pada teman-temannya. Rudy ingin melindungi Merry, tapi dua pria besar menahan dan memaksanya berlutut, sementara empat pria lain juga memaksa Lily berlutut. Pria yang paling besar tadi hendak merenggut pakaian Lily, tapi Lily dengan segala kekuatannya memberontak dan membuat gerakan-gerakan penolakan yang menyulitkan mereka.

Merry melihat itu dengan nanar di balik air matanya yang terus mengalir. Merry melihat mata mamanya yang tak gentar sedikit pun sambil melihat ke arahnya, sehingga Merry menahan isaknya tanpa ia bisa membendung air matanya yang terus keluar. Karena pria besar itu kewalahan dengan gerakan-gerakan Lily, ia menampar Lily dengan keras agar Lily diam. Namun tamparan itu terlalu keras sehingga membenturkan kepala Lily tepat di ujung meja marmer di tengah ruangan. Badan Lily meluncur lemas ke lantai. Merry melihat darah segar keluar dari kepala Sang Mama. Dua tentara datang, tapi tak berbuat banyak karena kalah jumlah dengan gerombolan preman itu.

Pria-pria besar itu keluar dari rumah dengan masih mengumpat dan bahkan sempat membuat mata Rudy lebam karena tonjokan yang keras. Rudy mengabaikan rasa sakitnya dan menghambur memeluk Lily dan meraung memanggil namanya.

“Lily!”

Merry sangat berharap panggilan papanya mampu membangunkan Sang Mama. Namun, binar mata yang sangat terang itu menutup dan tak membuka lagi. Merry ingin memeluk mamanya, tapi seluruh badannya lemas tak dapat digerakkan. Kepalanya sakit tak tertahankan, tetapi ia begitu ingin memanggil, “Mama”. Sekeliling Merry berputar, menggelap, dan ia tak tahu lagi apa yang terjadi.

Beberapa hari kemudian ada berita bahwa mahasiswa berhasil meduduki DPR dan akhirnya membuat Presiden Suharto turun tahta. Merry tak pernah melihat mamanya lagi. Koh Hadi kehilangan istri dan dua anaknya dalam kejadian itu. Rudy sangat ingin menyusul Lily, tetapi Merry membuatnya bertahan.

***

“Pa, xin nian kuai le[10],” Mei Lien mengucapkan itu pagi sekali untuk membangunkan papanya.

Xin nian kuai le, Mei[11],” balas Rudy dengan suara yang masih serak karena bangun tidur.

Mei Lien memeluk papanya dengan hangat dan penuh cinta. Mereka kemudian melakukan ritual sembahyang dan mempersiapkan pertunjukan di Klenteng nanti malam.

Seperti selalu, setiap Imlek, klenteng akan membuka pintu agar masyarakat sekitar bisa melihat perayaan dengan tontonan utama barongsai dan pembagian angpao bagi anak-anak kecil.

Sejak negara ini dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid, warga keturunan Tionghoa diberikan kebebasannya kembali untuk merayakan Imlek, melaksanakan ritual kepercayaan, maupun mengembangkan budayanya secara terbuka. Banyak keturunan Tionghoa yang kembali pada nama Cina-nya, termasuk Mei Lien. Rudy yang belum mampu menghapus traumanya tetap menggunakan nama Indonesianya.

Rudy melihat putrinya begitu sibuk mengatur perjamuan makan di Klenteng. Mei Liennya yang kecil kini telah tumbuh dewasa dan terlihat begitu mirip dengan mamanya. Rudy telah banyak berpikir. Ia memutuskan untuk percaya pada keputusan putrinya. Ia tidak akan menjauhkan Mei Lien dari apa yang membuatnya bahagia. Adalah tugasnya untuk menjaga Mei Lien dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Mei Lien berlari kecil menuju papanya dengan senyum lebar. Cheongsam bunga teratai itu terlihat begitu pas di badannya.

“Lily, lihatlah. Itu Mei Lien, putri kita. Dia begitu keras kepala sepertimu. Mari kita bersama melindunginya.” Rudy berbisik pelan seakan berbicara pada dirinya sendiri. Ia tahu Lily sedang mengawasi mereka dan mendengarkan bisikannya. Kemudian, ia membalas senyum Mei Lien.

Gong xi fa cai, angpao na lai![12]

 

 

Catatan Kaki:

1. Tian wang= raja langit.

2. Tian shen= dewa bumi.

3. Chi fan le ma= apakah sudah makan?

4. Wo chi fan le, xie xie= aku sudah makan, terima kasih.

5. Meimei= adik perempuan.

6. Nian gao= kue keranjang.

7. Cheongsam= sebutan baju tradisional Tiongkok untuk perempuan.

8. Wo mei you= aku tidak mau.

9. Changshan= sebutan baju tradisional Tiongkok untuk laki-laki.

10. Xin nian kuai le= selamat tahun baru.

11. Xin nian kuai le, Mei= selamat tahun baru, Dik.

12. Gong xi fa cai, angpao na lai!= selamat sejahtera, mana angpaonya (peny. secara harfiah angpao na lai berarti "angpao ke sini, dong").

 

 

 

Sumber header: maigenthomas.com

 




Henny Kustanti

Henny Kustanti adalah seorang ibu rumah tangga yang menyaru sebagai Youtuber paruh waktu, sekaligus foodie alim.

Profil Selengkapnya >>

Cerpen Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Cinderella dan Wanita Masa Kini: Sebuah Dekonstruksi Dongeng


Nicoline Patricia Malina: Fotografer Cantik Muda Berbakat


Critical Eleven - Pesawat, Bandara, dan Biduk Rumah Tangga


The Swimmer (Fak Wai Nai Kai Ther): Ketika Persahabatan Menjadi Dendam


5 Lagu Indonesia Tahun 90-an Mengesankan Versi Artebia


Goyang Kaki Dan Goyang Lidah Di Lontong Kikil Bu Dahlia


7 Mal Dan Tempat Nongkrong Dengan Toilet Asyik Di Surabaya


Pantai Konang: Pesona Di Balik Gunung Trenggalek


Literasi Februari: GRI Regional Surabaya, Gol A Gong, dan Tias Tatanka


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Kedua)


Twist and Shout (Part 3-Final)


Satu Kali Seminggu