Nasib Literasi di Era Digitalisasi

27 Sep 2016    View : 2798    By : Niratisaya


Sabtu lalu (17/09/2016) saya mendapatkan undangan untuk mengikuti acara Rembug Kreatif Penthahelix yang bertema “Menerka Masa Depan Literasi di Era Digitalisasi”. Acara ini diadakan mengikuti deklarasi kolaborasi penthahelix yang dilakukan oleh Surabaya Creative City Forum di Harris Pop Hotel Surabaya pada bulan Mei lalu, yang melibatkan Pemerintah Kota Surabaya, Akademisi, Komunitas, Pengusaha, dan Media.

Acara ini menghadirkan empat orang narasumber yaitu Moch. Khoiri (Founder Jaringan Literasi Indonesia, dosen, Kepala UTP Pusat Bahasa Universitas Negeri Surabaya), Muhammad Nasrun Ihsan (General Manager Telkom Witel Surabaya), Siti Aisyah Agustina (Staf Perpustakaan Kota Surabaya), dan Sirikit Syah (Founder Sirikit School of Writing, penulis, dosen, dan Penggiat Media Watch).

Sesuai dengan peran masing-masing dalam dunia literasi, para pembicara memaparkan pendapat mereka mengenai nasib literasi di dunia modern, dunia yang banyak dipengaruhi gadget dan segala hal berbau digital. Oleh karena itu, dua poin inilah yang kemudian menjadi fokus rembuk pada hari itu.

Baca juga: Bukan Singa yang Mengembik

 

 

Para Pembicara dan Literasi Vs Era Digitalisasi

Ketika mendengar kata “literasi” apakah di benak Artebianz muncul gambaran buku dan kegiatan membaca serta menulis? Kalau iya, asumsi Artebianz tidak berbeda dengan asumsi saya selama ini. Namun, rupa-rupanya pandangan ini baru cakupan kecil literasi. Sebab, pada dasarnya literasi sendiri adalah kegiatan membaca.

Membaca di sini yang dimaksud oleh Kepala Pusat Bahasa UNESA ini bukan sekadar membaca apa sudah tertulis dan tercantum dalam tulisan, tapi juga kemampuan untuk membaca apa yang ditangkap oleh mata kita. Termasuk membaca kehidupan. Sebagai contoh yang paling sederhana Moch. Khoiri memberikan gambaran bagaimana kita terbiasa berhenti saat lampu lalu lintas warna merah menyala.

Pembicara: Much KhoiriMuch. Khoiri di tengah

“Ini artinya kita membaca dan mengerti bahwa saat lampu merah kita harus berhenti,” terang Moch. Khoiri yang mengisyaratkan bahwa literasi juga berkenaan dengan kemampuan memahami apa yang tertangkap mata dan diolah oleh otak. Pria yang telah menulis lebih dari 20 buku ini percaya bahwa era digital sekarang ini tidak akan mampu menghapus budaya literasi.

Lebih lanjut, Moch Khoiri menceritakan tentang perkembangan budaya membaca dan menulis. Dulu, manusia hanya menularkan ilmu mereka lewat lisan sebelum akhirnya direkam via tulisan yang dibukukan. Tanpa buku-buku tersebut, kita tidak akan mungkin mengenal berbagai macam ilmu atau mereka yang mencetuskannya. Demikian pula dengan era digital. Perbedaan yang terjadi hanyalah pada media yang menjadi mediator ilmu, gagasan, atau cerita yang kita dapatkan. Kita yang semula memegang kertas, di era digitalisasi sekarang ini mulai beralih kepada ponsel pintar di genggaman kita.

Baca juga: Menulis di Mata Prisca Primasari

 

Menyambung uraian Moch. Khoiri, ada Muhammad Nasrun Ihsan yang menerangkanmengenai tingginya jumlah pengguna Internet di Indonesia. Menurut emarketer.com, pengguna Internet di Indonesia pada tahun 2015 terhitung berjumlah 93.4 juta orang, meningkat 9.7 juta orang.

M. Nasrudin

Merespons peningkatan ini, pria yang menjabat sebagai general manager Telkom wilayah Surabaya ini pun membuat perpustakaan digital: Padi. Salah satu langkah signifikan yang dilakukan oleh Telkom adalah mengubah sejumlah karya terbitan Balai Pustaka menjadi E-book.

Program literasi yang didukung oleh Telkom lainnya adalah akseliterasi yang diluncurkan pada 24 Agustus 2016 di Graha Sawunggaling, Kantor Pemkot Surabaya. Salah satu agenda akseliterasi adalah lomba kampung literasi dengan diadakannya kampung baca dan rumah baca.

Di sisi lain, dalam dunia literasi juga ada keterlibatan para pustakawan, yang pada acara Rembug Kreatif Penthahelix diwakili oleh Siti Aisyiah Agustina. Salah satu staf perpustakaan kota ini menerangkan bahwa berbeda dari data UNESCO yang menyebutkan bahwa jumlah pembaca Indonesia hanya 0.01%. Faktanya, sekarang ini banyak penerbit yang bermunculan dan berani melakukan penjualan Pre Order.

Sebagai imbasnya, sekarang ini perpustakaan tidak memiliki banyak peran. Perpustakaan, menurut Siti Aisyiah, harus bisa meningkatkan pelayanan. Gambaran pustakawan yang selalu digambarkan sebagai seorang petugas yang hanya duduk dan mengawasi pengunjung harus segera diganti. Dengan digitalisasi, perpustakaan dan pustakawan semestinya mampu memberikan pelayanan yang lebih kepada mereka yang membutuhkan jasa perpustakaan. Misalnya pihak perpustakaan bisa berlangganan jurnal-jurnal yang di mata mahasiswa maupun dosen masih mahal, melakukan pelayanan via telepon atau aplikasi, dan mau serta mampu mengantarkan buku-buku atau jurnal yang diperlukan oleh mahasiswa atau dosen.

Siti Aisyiah

Mengenai digitalisasi dan pengaruhnya terhadap keberadaan buku secara fisik, Siti Aisyiah Agustina tidak terlalu mengkhawatirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Lebih jauh Siti Aisyiah menjelaskan, “Sebuah survei yang diadakan oleh pihak Pemkot membuktikan bahwa lebih dari 50% pembaca masih memilih membaca buku secara fisik.”

Sirikit Syah

Berkaitan dengan jumlah pembaca Indonesia, Sirikit Syah menyampaikan perbandingan tajam antara jumlah pembaca koran, “Di Jepang, satu orang membaca empat koran. Di Indonesia, satu koran dibaca empat puluh lima orang.” Ada banyak faktor yang bisa menjadi penyebab rendahnya minat baca di Indonesia. Inilah yang menjadi alasan pemerintah kota, khususnya Surabaya, ‘memaksa’ setiap warga sekolah di Surabaya untuk meluangkan waktunya membaca—apa pun; baik koran maupun buku—selama lima belas menit.

Sebagai founder Sirikit School of Writing, wanita yang juga aktif sebagai dosen ini melihat bahwa literasi di Surabaya menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Salah satu tengaranya adalah munculnya sekolah-sekolah menulis. Dari pemaparan Sirikit Syah, kurang lebih ada empat hingga lima sekolah menulis yang ada di Surabaya.

Baca juga: Refraksi dan Mengubah Persepsi

 

 

Literasi dan Digitalisasi; Tradisi dan Peradaban

Perkembangan teknologi dan kemunculan berbagai gadget canggih tidak lepas dari peradaban manusia yang seolah berusaha untuk mengejar kecepatan sang waktu. Demikian pula dengan digitalisasi literasi. Ponsel pintar perlahan menyamai strata buku, terima kasih kepada teknologi yang mampu mengubah buku fisik menjadi buku elektronik, platform yang menyediakan sarana menulis dan unjuk gigi seperti Wattpad, dan blog-blog yang menjadi wahana ekspresi pikiran.

Namun, pada saat yang bersamaan, peradaban modern ala dunia digital ini membawa kekhawatiran tersendiri. Segala aplikasi yang berbau digitalisasi seakan memengaruhi manusia untuk meninggalkan tradisi dan semua yang tidak lagi ringkas dan menghambat langkah.

Kekhawatiran mengenai gempuran peradaban modern ini disampaikan oleh salah seorang peserta rembuk.

Peserta tersebut khawatir jika kebudayaan di era digital akan melengserkan dan meluruhkan kebudayaan. Pada level dasar dan bisa Artebianz jumpai sehari-hari adalah berkurangnya jumlah penduduk yang menggunakan pakaian dan/atau tradisional. Dia pun mempertanyakan apakah kebudayaan tradisional harus mengalah dan kalah terhadap peradaban—dalam hal ini buku-buku harus kalah dengan tulisan di blog-blog dan situs?

Menanggapi pertanyaan tersebut, Sirikit Syah mengambil contoh fenomena yang terjadi dalam pekerjaannya sebagai dosen. Dia bercerita bahwa para mahasiswanya tidak lagi menggunakan menulis di buku. “Saya perhatikan di meja tidak lagi ada buku catatan. Para mahasiswa saya memilih menggunakan flashdisk dan di akhir kelas satu per satu menyalin fail dari laptop saya. Tapi, akhir-akhir ini saya perhatikan lagi mereka jarang mengeluarkan laptop. Saya malah menemukan mereka mengeluarkan hape dan memotret slide saya,” papar Sirikit Syah.

Ada beberapa dosen yang menanggapi perubahan ini dengan emosi, menganggap para mahasiswa yang menggunakan ponsel dan memotret slide sebagai sikap tidak sopan. Namun, sebagai dosen yang tanggap dengan perkembangan zaman, Sirikit Syah melihat sikap mahasiswa-mahasiswa tersebut sebagai fenomena biasa. Hal yang memang semestinya terjadi jika kita mengikuti zaman.

Sementara itu, mengenai tulisan-tulisan di blog yang diunggah oleh netizen—baik mengenai satu kejadian atau membicarakan satu teori—Much. Khoiri berpendapat bahwa setiap individu memiliki hak mereka untuk berekspresi. Alangkah baiknya jika seseorang mampu menulis dan mengekspresikan pikiran, ketimbang mereka yang hanya mengikuti opini dan pemikiran orang lain.

 

Jadi, bagaimana nasib literasi di era digitalisasi?

Literasi sebagai satu kegiatan tentu membutuhkan pelaku—kita, Artebianz—agar dia bisa terlaksana. Terlepas apakah literasi tersebut terlaksana dengan baik maupun tidak. Ambil contoh literasi berlalu lintas seperti yang dicontohkan oleh Much. Khoiri. Semua kembali kepada kita sebagai pengendara kendaraan bermotor untuk bisa membaca peraturan, memahami, dan melaksanakannya. Demikian pula dengan literasi di era digitalisasi.

Setiap fenomena dan hasil dari perkembangan zaman menurut hemat saya tidak pernah bersifat baik atau buruk. Di tangan manusialah mereka menjadi baik atau buruk. Jika kita menginginkan literasi di era digitalisasi ini menjadi satu hal yang positif, tentu kita sendiri sebagai pelaku harus menjadi agen dengan pikiran, pandangan, dan perbuatan yang positif.

Baca juga: Calon Dokter Gigi yang Terjun ke Dunia Literatur

 


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Liputan Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Mengasah Rasa Lewat Kehidupan dan Gelombang Ujian


Edwin Ruser dan KoreanUpdates - Menghidupkan Mimpi Lewat Passion


Ilana Tan, Penulis Misterius dan Perkembangan Karyanya


Suckseed (Huay Khan Thep): Tumbuh Bersama Mimpi, Sahabat dan Cinta


Gambaran Cinta dalam Potret Sendu Lirik Lagu Eyes, Nose, Lips Versi Tablo


De Oak Cafe Resto Surabaya


Zein's Cafe - Ngupi Cantik Tanpa Jadi Pelit


Pulau Sempu - Segara Anakan dan Hutan Terlarang


WTF Market 2.0 - Imajinasi, Mimpi, dan Masa Depan


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Pertama)


Cita-Cita Dirgantara


Dua Windu Lalu, Lewat Hening Malam