Diskusi Bersama Alvi Syahrin dan Ika Vihara: Wattpad dan Sastra Digital

10 Feb 2017    View : 4030    By : Niratisaya


Nggak ada yang bisa menebak ke mana arah perkembangan teknologi dan di mana dia akan berhenti. Ini karena manusia selalu selaras dengan inovasi. Bahkan di dunia buku yang dikatakan membosankan dan tertutup, teknologi mulai beraksi.

Bak manusia Neanderthal dan semua makhluk zaman purbakala, buku pun memiliki masa-masa evolusinya. Dari ditulis di atas lembaran daun, kayu, batu, dan berbagai alat yang nggak praktis—buku kemudian tercetak di atas kertas dan baru-baru ini berakhir di dunia digital. Artebianz hanya perlu menowel atau menggerakkan telunjuk ke atas dan ke bawah untuk membaca sebuah cerita.

Kemudian, jika dulu seorang penulis harus melewati tahapan-tahapan yang membutuhkan kesabaran tingkat dewa ketika hendak menerbitkan novelnya, maka kini dia hanya harus sudah menulisnya di sosial media atau di platform cerita. Semakin banyak pembacanya, peluang cerita penulis tersebut untuk melihat ceritanya bermetamorfosa menjadi sebentuk buku dan diproduksi secara besar-besaran pun semakin terbuka.

Tapi, bagaimana dengan kualitas?

Lalu apa perbedaan buku yang ceritanya sudah beredar secara fisik dan yang masih mesti disentik?

Pada bulan Desember lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti bincang santai yang diadakan oleh Goodreads Regional Surabaya dengan Alvi Syahrin dan Ika Vihara sebagai pembicara. Dalam suasana yang nyaman, segala hal tentang proses menulis di platform maupun ketika menjalani proses revisi, dibahas dengan asyik oleh kedua penulis.

 

Baca juga: Lia Indra Andriana dan Penerbit Haru

 

 

Wattpad, Karya Kreatif, dan Kreativitas

Sebagai salah satu platform yang memberikan kemudahan kepada penggunanya untuk menuliskan kreativitas dan ekspresinya, Wattpad menjadi sebuah wahana yang tepat. Terutama di era banyak orang mengandalkan smartphone untuk segala hal. Menonton teve, berinteraksi dengan idola, membaca buku digital, dan lain sebagaimana. Jadi, kenapa nggak memanfaatkan smartphone sebagai pengganti penerbit?

Selayaknya permainan semasa kanak-kanak di mana kita berpura-pura menjadi dokter, memerankan seorang guru, dan menyamar menjadi polisi.

Perbedaannya, dengan smartphone, kita bukan sekadar berpura-pura menjadi seorang penulis. Sewaktu kita menerbitkan karya via platform kepenulisan dan sosial media, kita menjadi seorang penulis. Smartphone membantu kita agar terhubung dengan ratusan bahkan jutaan orang. Kemudian, muncullah fenomena “Wattpad Literature”. Para penerbit berbondong-bondong menerbitkan cerita-cerita di Wattpad yang sudah dibaca sekian puluh juta kali.

Beberapa melahirkan penulis baru yang kualitasnya bisa diperhitungkan, beberapa hanya mengandalkan jumlah view pembaca. Namun, nggak bisa dimungkiri, Wattpad juga membantu penulis-penulis baru agar dilirik oleh penerbit—juga menjadi ajang pembelajaran bagi si penulis untuk membebaskan kreativitasnya saat menulis, tanpa mengenal rasa takut atau terhambat satu apa pun.

Dalam sebuah diskusi santai bersama Goodreads Regional Surabaya sebelumnya, Alvi pernah menyampaikan bahwa bagian yang tersulit dalam menulis adalah bagaimana memulainya. Namun, saat seorang penulis berhasil menemukan ritme menulisnya, ada banyak keuntungan lain yang didapatkannya selama menulis via sosial media atau platform.

Goodreads

Salah satunya adalah memiliki basis pembaca yang kuat. Hal ini bisa mendorong seorang penulis untuk menerbitkan karyanya sendiri—aka secara indie, seperti yang dilakukan oleh Ika Vihara.

Menerbitkan buku secara indie di sini berarti semua beban tugas penerbitan novel itu berada di tangan penulis. Dia harus mengurus sendiri lay-out dan ilustrasi cover novelnya. Atau, penulis bisa menggunakan jasa lay-outer dan desain grafis lepas untuk membantunya.

Alvi menilai menerbitkan buku secara indie sebagai sebuah peluang bagi dirinya untuk ‘bermain-main’ dengan novelnya. Sebagai sosok yang dominan dalam proses tersebut, Alvi bisa memikirkan berbagai macam strategi pemasaran novelnya. Dia berkata, “Sebuah buku harus bisa tampil lebih dari sekadar buku.”

Alvi bisa membayangkan satu saat kelak novelnya terbit dengan kemasan yang membuat bukunya layak dikoleksi, alih-alih sekadar bacaan yang setelah selesai kemudian dilupakan.

Ketika ditanya bagaimana dengan kualitas tulisan yang diterbitkan via platform kepenulisan, Alvi yang baru-baru ini menerbitkan ceritanya di Wattpad berkata bahwa dia nggak berbeda dengan penulis-penulis lainnya. Dia ingin ada ceritanya dibaca berkali-kali oleh banyak orang.

“Siapa sih yang nggak pengin mendapatkan jumlah viewer yang banyak? Tapi saya membayangkan bagaimana seandainya anak saya membaca [cerita] itu—bagaimana seandainya seorang orangtua saya membaca cerita itu?”

Berangkat dari pemikiran tersebut, Alvi memutuskan untuk fokus kepada konten cerita dan kualitasnya. Alvi yakin dengan demikian pembaca akan bisa merasakan ketulusannya saat menulis cerita. Kemudian, dia pasti akan mampu menciptakan interaksi dengan pembaca dan memberikan manfaat lewat karyanya.

Pemikiran yang sama dimiliki oleh Ika Vihara mengenai kualitas tulisan dan jumlah pembaca, sebab salah satu pembaca cerita Ika yang pertama adalah ibunya. Ika yakin, jika dia nggak malu sang ibu membaca ceritanya, maka dia percaya ceritanya bisa dibaca banyak orang.

Baca juga: Menulis Adalah Memberi Kado Kepada Diri Sendiri

 

 

Literatur Digital dan Literatur Regular, Perbedaannya

Tantangan juga dihadapi oleh penulis yang karyanya di Wattpad dilirik oleh penerbit major. Salah satunya adalah menyunting naskahnya.

Di sosial media dan platform kepenulisan, setiap penulis bebas menulis ceritanya tanpa dibatasi oleh peraturan-peraturan seperti batas minimal halaman naskah. Ika sempat mendapatkan protes dari beberapa pembacanya yang mengeluhkan perbedaan jumlah halaman dan perkembangan ceritanya

“Ketika masuk di editing, naskah pasti dibatasi harus sekian halaman. Penulis harus [bisa memilah dan] menghapus filler-filler yang dirasa nggak perlu yang mungkin menurut pembaca bagus. Penulis harus bisa memampatkan ceritanya.” Ika membagikan pengalamannya.

Nggak seperti cerita yang diterbitkan secara digital di sosial media dan platform kepenulisan yang nyaris bebas biaya, menerbitkan cerita secara major membutuhkan banyak biaya. Beberapa di antaranya adalah biaya penyewaan jasa kreatif untuk lay-out dan ilustrasi, serta pembelian kertas.

Dan Dia KembaliNovel Alvi, Dan Dia Kembali, yang terbit secara digital via Wattpad

Ika membuat proposal—sebuah outline mengenai naskahnya untuk menghindari revisi besar-besaran dan kebingungan saat menyunting. Dia juga menyarankan penulis baru agar pandai-pandai mengatur alur naskahnya serta jumlah halamannya. Siasat Ika ini membuat dia jarang berargumen dengan editornya.

Sebagai penulis baru, kendala yang muncul kemudian setelah dia berhasil menerbitkan novelnya adalah bagaimana meningkatkan penjualan novel itu? Bagaimana membuat orang-orang tertarik membeli novel itu?

Penerbit selalu memberikan harga yang relatif terjangkau untuk novel perdana seorang penulis.
“Siapa sih yang datang ke toko buku khusus buat membeli novel dari penulis baru?” tanya Ika sambil tersenyum.

Perempuan yang kini tinggal di Surabaya ini pun bercerita bahwa untuk menarik perhatian para pembaca yang membeli novelnya, Ika memberika bonus berupa cerita pendek. Belajar dari pengalamannya, Ika sadar bahwa pemberian merchandise semacam ini akan selalu berhasil menarik perhatian pembaca.

Alasan Ika memilih cerpen sebagai merchandise adalah “karena saya seorang penulis, maka bonus cerita yang bisa saya berikan adalah cerita.”

Seorang penulis mungkin nggak bisa mengatur jumlah bukunya yang terjual—menyulap penjualannya jadi membludak. Tetapi seorang penulis bisa mengatur bagaimana memasarkan bukunya agar banyak orang yang mengenal dan tertarik membeli.

Baca juga: Menjadi Bos yang Nggak Ngowos

 

 

Jadi, Digital-Indie atau Reguler-Major?

Sebagai penulis yang sudah merasakan dua dunia di sastra (digital dan penerbit major), audiens pun dibuat penasaran dengan pendapat Alvi dan Ika tentang cara mana yang lebih baik untuk penulis baru.

Namun, bagi Ika pertanyaan yang penting adalah “apakah penulis itu membutuhkan uang?”
Setiap cara menerbitkan memiliki kelebihan dan kekurangan. Jika seorang penulis menerbitkan ceritanya via penerbit major, buku-bukunya akan bisa dijangkau secara mudah tanpa perlu menambahkan beban biaya pengiriman kepada pembaca. Penulis nggak perlu memikirkan lay-out, membuat design cover, dan lain-lain.

Kekurangannya adalah penulis nggak menerima gaji secara rutin seperti seorang pegawai. “Royalti buku pertama nggak banyak, meski buku terjual banyak.”

Sebaliknya, seorang penulis nggak akan bisa menjangkau pembacanya secara luas jika menerbitkan secara indie, tapi dia bisa menerima pembayaran lebih banyak. Karena penulis nggak membagikannya dengan penerbit. “Penulis hanya perlu membayar biaya jasa lay-outter dan ilustrator. Biaya menerbitkan buku secara indie pun terjangkau.”

Bagi Ika menerbitkan secara indie atau major nggak ada bedanya, karena masing-masing punya kelebihan. Semua bergantung kembali kepada kebutuhan penulis.

Karya-Karya Ika ViharaKarya-Karya Ika Vihara

Sementara itu, Alvi memiliki pendapat yang nggak jauh berbeda. Hanya, secara pribadi, pemuda kelahiran Surabaya ini berpendapat akan lebih baik kalau seorang penulis menerbitkan karyanya pertama kali dengan bantuan penerbit major.

“Dengan menerbitkan secara major, penulis akan bertemu editor menerima saran dan kritikan [dari ahli]. Kalau via indie, penulis lebih sering merasa bahwa karya sudah bagus dan nggak perlu lagi diedit,” tutur Alvi.

Untuk menjaga kualitas tulisan, baik Alvi maupun Ika memiliki satu hal yang sama: menerapkan standar yang tinggi untuk karya mereka.

“Aku nggak akan menerbitkan kalau aku nggak benar-benar suka dengan tulisanku,” jawab Alvi dengan tegas. Bagi Alvi, diterbitkan di mana pun dan bagaimanapun, seorang penulis adalah pembaca karyanya yang pertama.

Seandainya penulis itu sendiri nggak suka dan merasa puas dengan ceritanya, bagaimana dengan pembaca-pembaca berikutnya?

Sementara itu, Ika bercerita bahwa dia pernah menolak sebuah penerbit yang ingin menerbitkan ceritanya, yang diterbitkan Ika secara digital di blog. Pada saat itu, Ika dengan tegas menolak penawaran penerbit tersebut. Alasan Ika menolak menerbitkan novelnya secara major saat itu adalah dia nggak melakukan riset yang menyeluruh saat menulis.

Baca juga: Goblin - The Lonely and Great God

 

Akhir kata, apa pun yang dipilih Artebianz yang ingin menerbitkan karyanya Alvi dan Ika menyarankan supaya menulis ceritamu sesempurna mungkin. Nggak ada yang menyukai cerita yang ditulis setengah hati. Ya, kan?

Selamat menulis dan berkarya, Artebianz!

Agenda literasi berikutnya: GRI dan Kehidupan Seorang Editor Bersama Adham T. Fusama

 


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Liputan Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Menikah - Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Masyarakat


Dimas-Lissa: Pudarkan Kapitalisasi Pendidikan Lewat Sekolah Gratis Ngelmu Pring


Aku Ingin Tahu #1: Jawaban dari Ratusan Pertanyaan


Life After Beth - Kehidupan Setelah Kematian


Anti-Hero - Menjadi Pahlawan dengan Tidak Menjadi Pahlawan


My Pancake Restoran Surabaya  Town Square


Coffee Bean & Tea Leaf Surabaya Town Square


Mengenang Sejarah Dukuh Kemuning Dan Menguak Peninggalan Kepurbakalaannya


Deja Vu: Pesta Ketiga WTF Market di Surabaya (Bagian 1)


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Lima)


Nyala Lilin yang Menerangi Wanita Itu di Kala Malam


Dua Windu Lalu, Lewat Hening Malam