Rujak Cingur Ala Bu Dah

17 May 2015    View : 4578    By : Niratisaya


Siapa yang nggak kenal rujak cingur? Biarpun belum pernah mencoba, Artebianz pasti pernah mendengar nama kuliner khas Jawa Timur yang kata Om Wiki berasal dari Surabaya. Nah, sebagai salah satu penduduk yang terlahir di Kota Pahlawan ini, dan karena bulan ini Surabaya berulang tahun yang ke-722, nggak afdol rasanya kalau saya nggak mengulas tiap rasa dan olahan rujak cingur yang saya kenal.

Sebelumnya saya sempat mencicipi rujak cingur ala Mirota, akhirnya saya mencoba rujak cingur ala pedagang kaki lima. Tepatnya seorang ibu setengah baya yang berjualan bersama suaminya di sebuah lapangan di Jalan Waringin yang bersimpangan dengan Jalan Joyoboyo.

Untuk mencapai tempat ini Artebianz bisa mengendarai kendaraan umum menuju Terminal Joyoboyo, demikian juga untuk Artebian yang akan menggunakan kendaraan pribadi, kemudian turun di sekitar lampu lalu lintas (atau lampu merah kalau menurut orang Surabaya—biarpun lampunya ada tiga warna Tongue Out) di Jalan Joyoboyo. Lampu Lalu lintas ini berada tepat di jalan masuk ke Jalan Waringin. Setelah itu, Artebianz tinggal berjalan sekitar 100 meter. Artebianz akan menjumpai Rujak Buk Saodah alias Buk Dah di sebelah kiri jalan.

Baca juga: Kue Cubit Surabaya - Cubit Gigit Legit


Rujak Cingur Ala Buk Dah

Secara umum rujak cingur berisi irisan buah seperti bengkuang, mangga muda, nanas, kedondong, timun dan saudaranya kerahi—plus bahan-bahan lain yang telah dimasak seperti kerahi yang telah dikukus atau direbus yang disebut bendoyo, tahu, tempe, lontong, sayuran (kacang panjang, taoge, dan kangkung) dan tentu saja cingur. Semua bahan-bahan itu dicampur dengan “saus” ala Jawa Timur.

(Trivia no. 1: cingur adalah sebutan untuk mulut atau congor sapi yang telah direbus)

Saus ini lebih dikenal dengan sebutan “petis” oleh kebanyakan masyarakat Jawa Timur, walau  sebenarnya sebutan itu lebih mengarah ke salah satu bahan saus rujak saja. Saus untuk rujak cingur terdiri dari petis udang, gula pasir atau gula merah, cabai, kacang tanah sangrai, bawang goreng, garam, dan pisang biji yang masih muda (pisang klutuk). Semuanya bahan diulek sembari sesekali ditambahi air—Bu’ Dah sendiri menambahkan air yang dicampur dengan buah asam—hingga mendapatkan konsistensi saus yang pas untuk rujak cingur.

Bu' DahBu' Dah di tengah stannya

(Trivia no. 2: karena cara mengolah saus rujak yang diulek, masyarakat juga mengenal rujak cingur dengan sebutan "rujak ulek".)

Terkadang beberapa penjual rujak cingur menata isi rujak cingur terlebih dulu di atas piring, tapi kebanyakan memotongnya kemudian mencampurnya di atas cobek. Bu’ Dah adalah salah satu tipe penjual rujak cingur nomor dua.

Bu’ Dah sebenarnya juga menjual makanan lain (gado-gado, lotek, rujak manis, dan lontong mi), tapi karena di antara semua yang paling konsisten rasanya adalah rujak cingur, saya lebih sering membeli rujak cingur Bu’ Dah.

Meski pedagang kaki lima, ternyata rujak cingur Bu’ Dah cukup digemari oleh orang-orang. Pengalaman pertama saya membeli rujak di Bu’ Dah sempat membuat saya tercengang karena saking ramainya. Saya sampai sempat membaca buku sambil menunggu rujak pesanan saya.

Begitu piring berisi rujak cingur tersaji di depan mata, saya langsung menutup buku dan mulai menyantap kuliner khas Surabaya ini.

Untuk saus petis rujak cingur, saya cukup menyukai konsistensi olahan Buk Dah. Nggak terlalu kental, sehingga saya nggak perlu menunggu sampai buah-buahan di dalam rujak berair. Selain itu, walau kacang tanah sangrai sudah dihaluskan, saya masih bisa merasakan kacang di lidah saya. Mungkin saya terlalu rewel, tapi sewaktu menikmati bumbu saus berbahan kacang tanah saya lebih suka bumbu yang masih terasa teksturnya. Jadi saya nggak merasa seperti memakan bubur.
Poin kedua yang saya perhatikan dari olahan rujak cingur adalah cingurnya. Saya paling anti dengan cingur yang masih berbau. Beruntung, olahan cingur Buk Dah sama sekali nggak berbau.

Antrean Pembeli di Stan Bu' DahAntrean Pembeli di Stan Bu' Dah

Hanya saja… untuk ukuran harga yang ramah di kantong (cuman 10.000 rupiah lho, Artebianz!), rujak Bu’ Dah terlalu amat sangat mengenyangkan sekali. Saya sampai bisa menyantap rujak cingur Bu’ Dah dengan dua orang tandem saya yang sama-sama seorang pencinta makanan. Dan itu pun dengan kami bertiga yang akhirnya harus mengangkat sendok dan melambai-lambaikannya ke kamera #eh! Smile

Singkat kata, saya memasukkan rujak cingur Bu’ Dah sebagai salah satu daftar pit stop kalau saya ingin mencicipi yang savory dan khas makanan negeri.

Baca juga: Ajibnya Bubur Kacang Hijau Ciliwung


Sekilas Soal Bu’ Dah

Usut punya usut, ternyata Bu’ Dah tidak setahun-dua tahun ini berjualan rujak cingur. Sebelumnya wanita berusia sekitar 50 tahun ini telah berjualan di rumahnya. Tapi karena suaminya mengalami stroke dan harus berhenti dari pekerjaannya, Bu’ Dah pun harus menjadi tulang punggung dan banting setir menjadi penjaja makanan keliling.

Setiap pagi Bu’ Dah akan berjualan makanan yang sudah masak. Begitu agak siang, dia akan beralih berjualan rujak cingur dan lontong mi keliling. Keputusan Bu’ Dah ini seolah-olah mengatakan bahwa dia ingin menjemput rezeki, alih-alih diam dan “menunggu” sambil berjualan di rumah.

Pernah satu kali Bu’ Dah ditawari untuk berjualan rujak cingur di sebuah stan dengan sistem bagi hasil. Orang tersebut akan membiayai sewa tempat, sementara Bu’ Dah bertanggung jawab untuk rujaknya. Tapi Bu’ Dah menolak. Dia pun akhirnya memutuskan untuk berjualan di lapangan yang ada di Jalan Waringin.

Rujak Bu' DahGula merah, kacang tanah sangrai yang sudah dihaluskan, petis udang....
bahan-bahan rujak cingur ala Bu' Dah

Setiap pukul 10:00 pagi Bu’ Dah akan membuka lapaknya dan menjaganya bersama sang suami. Begitu pukul 05:00 sore, Bu’ Dah—kadang dibantu salah seorang anaknya—akan menutup lapaknya.

“Masih ada anak saya yang masih sekolah, Mbak. Paling nggak, sampai anak ragil saya itu lulus SMA.” Begitulah kata Bu’ Dah ketika dia menceritakan mengapa dia begitu ngotot mencari rezeki.

Dari sepiring rujak cingur, saya bukan hanya mendapatkan betapa melimpah ruahnya sajian ibu yang kerap dipanggil dengan Bu’ Dah (Buk Dah). Demikian pula dengan kekayaan pengalaman Bu’ Dah yang sudah lebih makan asam garam kehidupan—dan tetap mengunyah serta menelannya sembari tetap tersenyum cerah.

Baca juga: Kenikmatan Sederhana dalam Semangkuk Mi Ayam Seorang Pedagang Kaki Lima, Surabaya

 

Peta Bu' Dah

 

 




Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Makan Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Laki-laki, Perempuan... Mana yang Lebih Baik?


Glaze - Galeri Patah Hati, Cinta, dan Tangis


Grojokan Sewu: Seribu Cerita Dari Grojokan


5-ji Kara 9-ji Made - Apa Jadinya Kalau Biksu Jatuh Cinta Pada Guru?


Lalu Abdul Fatah - Profesi, Delusi, dan Identitas Diri


Ajibnya Bubur Kacang Hijau Ciliwung


Matcha Cafe: Curhat Ditemani Olahan Green Tea Nikmat


Pria Asing Di Pos Kamling


5 Lagu Indonesia Tahun 90-an Mengesankan Versi Artebia


Basha Market Chapter 2 - Merayakan Kreatifitas Lokal


Nyata dan Ilusi


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Lima)