Bakmi dan Sate Klathak Ala Djogdja: Menikmati Jogjakarta di Surabaya

06 Jan 2016    View : 9820    By : Niratisaya


Jogjakarta.

Banyak hal yang melintas di benak saya ketika nama salah satu kota istimewa di Indonesia itu melintas. Mulai dari keramahan ala Jawa, dialek yang kental, makanan lekker nan manis, sampai tradisi yang berusaha dijaga oleh generasi penduduknya. Tentu, bayangan-bayangan manis itu merayu saya untuk mengunjungi Jogjakarta. Selama bertahun-tahun. Tapi sayang, dadu yang saya lempar di kehidupan belum berhenti di petak “kartu kesempatan”. Walhasil, untuk sementara ini, Jogjakarta hanya bermain-main di benak saya.

Sampai satu hari, saya melintas di Jalan Adityawarman Nomor 96 dan menemukan salah satu dimensi Kota Jogjakarta yang ‘terlempar’ ke Surabaya. Dimensi itu bernama Bakmi dan Sate Klathak “Djogdja”.

Pintu DepanSugeng rawuh—selamat datang. Tapi saya suka mengartikan "pulang", karena rawuh bisa diartikan demikian dan mencerminkan filosofi kehangatan dari sambutan ini.

Tanpa pikir panjang, saya yang ketika itu baru saja pulang dari meeting—dan kelaparan setengah mati karena rapat yang berkepanjangan dengan seorang konsultan finansial—tanpa ragu segera masuk ke dalam rumah makan yang dari luar tampak begitu sederhana.

Hanya tampak dua gerobak yang ada di sudut kanan dan sebuah meja kayu di sebelah kiri, di bagian depan rumah makan. Otomatis, saya mengira Bakmi dan Sate Klathak “Djogdja” ‘sekadar’ rumah makan biasa yang didesain ala angkringan modern, yang sekarang ini menjamur di Surabaya. Tipe-tipe yang hanya memanfaatkan ketenaran tanpa benar-benar tergarap dengan serius konsepnya.

Tapi rupanya saya salah sangka, Artebian.

Ruangan pertama

Bakmi dan Sate Klathak “Djogdja” bukan sekadar rumah makan yang menjual kuliner ala Jogjakarta. Rumah makan mungil di deretan bangunan yang bersebarangan dengan Surabaya Town Square (Sutos) ini mengusung Jogjakarta beserta karaternya dan membawanya ke Surabaya.

Baca juga: Baegopa Malang - Ada Harga Ada Rasa

 

 

Apa saja yang diusung Bakmi dan Sate Klathak “Djogdja” dari Jogjakarta ke Surabaya?

1. Kuliner Jogjakarta

Meski ada banyak keistimewaan yang jadi karakter rumah makan ini, karena yang saya tulis adalah rubrik “makan asyik”, saya wajib mengulas soal kuliner Bakmi dan Sate Klathak “Djogdja” lebih dulu.

Ada banyak makanan dan minuman dalam daftar menu rumah makan ini. Tapi, saya menangkap, kebanyakan daging yang disajikan berasal dari capra aegagrus hircus alias kambing.

Sate klathak

Seperti yang kita tahu, Indonesia kaya dengan budaya dan tradisi. Salah satunya tecermin dalam salah satu jenis kuliner kita: sate. Dari sate kambing dengan bumbu kacang yang sering kita jumpai, sate laler (sate lalat) yang untuk menikmatinya kita harus mengunjungi Pulau Garam, sampai sate klathak ala Jogja yang cukup unik.

Sate Klathak

Dari sekian jenis sate yang tersebar di Indonesia, konon, seperti sate laler, sate klathak hanya bisa kita nikmati kalau kita berkunjung ke Jogjakarta. Tapi betapa beruntungnya saya, bisa menikmatinya tanpa perlu melangkahkan kaki sejengkal pun dari Surabaya.

Keunikan sate ini bukan karena dia dibakar dan dioles beragam bumbu. Sate klathak ‘hanya’ diberi bumbu garam dan dipanggang menggunakan jeruji besi. Tentu, kesederhanaan sate ini membuatnya cenderung dipandang sebelah mata oleh penikmatnya yang berasal dari negeri sendiri. Semisalnya, teman makan saya yang terkejut saat di hadapannya tersaji dua tusuk sate klathak dan kuah kari.

Serangan kejutan pertama bagi teman makan saya itu adalah absennya bumbu kacang dan irisan bawang, yang biasa menemani sate dan sering menenggelamkannya ke dalam bumbu kecokelatan. Serangan kejutan kedua adalah minimnya olesan bumbu di sate klathak sajian Bakmi dan Sate Klathak “Djogdja”. Baru setelah mendengar penjelasan dari pegawai rumah makan ini tentang jenis sate ala Ngayogyakarto, teman makan saya mahfum dengan kesederhanaan rasa—atau lebih tepatnya keunikan rasa—yang dimiliki sate klathak.

Yang membuat teman makan saya ini lumayan puas adalah daging kambing yang disajikan Bakmi dan Sate Klathak “Djogdja” begitu empuk, sampai-sampai dia nggak perlu menggigit dan merebut daging dari tusukannya. Usut punya usut, ternyata ini berkat penggunaan jeruji besi yang digunakan sebagai tusuk sehingga daging kambing pun matang hingga ke dalam.

Saya sempat bertanya, apa mungkin daging yang digunakan di sate klathak adalah daging sapi. Sesaat si pegawai tertegun dan menjawab, “Mungkin saja.” Sebelum kemudian dia melanjutkan, “Tapi kalau begitu, bukan sate klathak namanya.”

Sepulang dari acara makan berdua yg khidmat itu, saya pun mencari sejarah sate klathak dan menemukan bahwa sate itu “diciptakan” oleh seorang kakek-kakek bernama Mbah Ambyah. Karena desanya merupakan pemasok kambing, Mbah Ambyah pun berinisiatif untuk mengembangkan bisnis—atau mungkin juga simbah kita ini lagi iseng—dengan memanfaatkan daging kambing yang kadang berlebih alias turah.

Saking simpelnya pemikiran Mbah Ambyah, dia hanya membumbui daging kambing dengan garam dan membakarnya di atas arang. Suara gemeretak bakaran daging kambing bumbu garam yang mengeluarkan suara “klathak, klathak” itulah yang menjadi asal nama sate klathak.

Perbedaan sate klathak ala Bakmi dan Sate Klathak “Djogdja” yang ada di Surabaya ini dengan sate klathak tradisional adalah penyajiannya. Sate klathak tradisional disajikan dengan irisan mentimun (dengan harapan dapat menurunkan darah tinggi si penyantap sate klathak, saya duga), tomat, dan kol.

Bakmi Goreng

Kalau bakmi Jawa umumnya disajikan dengan warna kecokelatan mengilap, bakmi goreng ala Bakmi dan Sate Klathak “Djogdja” justru muncul di hadapan saya dengan penampilan kuning bersih. Dihiasi beberapa daging ayam dan sayuran.

Kali itu, giliran saya yang tercenung melihat penampakan pesanan saya. Saya pun sempat mengira pegawai rumah makan yang bertetangga dengan rumah makan nasi krawu ini salah dengar. Tapi, begitu saya urap (aduk), nggak ada setetes pun kuah. Jadi, kondisi telinga pegawai rumah makan ini masih dalam keadaan prima.

Bakmi goreng

Tapi, bukan sekali itu saja saya tercenung. Sajian acar yang diletakkan di atas mangkuk bathok kelapa, yang disajikan secara bersahaja (baca minus cuka dan bawang merah—masih ada cabai di sana), membuat saya mengaduk-aduk gunungan kecil potongan mentimun itu.

Yap, nggak ada kuah ala-ala acar yang saya kenal, pikir saya kala itu.

Jadilah saya menikmati bakmi yang saya pesan dengan tingkat kepedasan lumayan dahsyat tanpa acar, terlebih dulu. Dan, penilaian saya adalah rasa yang lumayan bersih. Maksud saya cukup mild bagi mereka yang nggak terlalu suka makanan dengan kaya bumbu.

Meski bagi saya, yang terbiasa dengan masakan Surabaya, bakmi goreng ala Bakmi dan Sate Klathak “Djogja” bumbu ini kurang nendang. Tapi, dengan cuaca mendung dan dingin seperti akhir-akhir ini, bakmi goreng yang mild semacam ini adalah pilihan yang bijak bagi kita yang masih sayang kesehatan perut.

Baca juga: Berkuliner Ala Foodtruck Fiesta di Graha Fairground Surabaya Barat

 

Nasi Goreng Kambing

“Ini adalah salah satu hidangan nasi goreng terunik yang pernah aku makan,” putus saya dan teman makan saya.

Penyebabnya tentu saja campuran daging kambing serta lemaknya yang menggantikan minyak goreng, yang membaluri tiap bulir nasi. Selain itu, ada juga bumbu yang rasanya mirip kari ala India, yang meninggalkan kesan manis dan wangi di lidah saya dan teman makan saya.

Nasi goreng kambingAnehnya, saya justru memesan sebungkus nasi goreng kambing untuk dibawa pulang beberapa hari yang lalu.

Kepekatan rasa pada nasi goreng kambing inilah yang membuat saya dan teman makan saya sepakat untuk menghabiskannya bersama. Ditemani segelas wedang uwuh untuk saya, serta segelas teh tawar untuk teman makan saya.

Nah, Artebian, sebagai salah satu spesies manusia dari 'keluarga burung hantu' yang gemar begadang sampai pagi, tentu nasi goreng adalah salah satu menu yang saya kuasai dan gemari. Menu yang satu ini mudah dimasak dan dinikmati di suasana apa pun. Tapi, baru kali ini saya menemukan nasi goreng dengan rasa yang demikian pekat seperti yang saya temui di Bakmi dan Sate Klathak “Djogdja”.

Rasa manis di nasi goreng itu bisa jadi adalah khas masakan Jogjakarta, tapi sayangnya … saya kurang cocok dengan bumbu nasi goreng ini. Mungkin seandainya kepekatan bumbu bisa dikurangi sedikit, saya akan menjadi salah satu penggemarnya.

 

Wedang uwuh

"Wedang" dalam tradisi yang saya kenal adalah minuman apa pun yang disiram dengan air panas/hangat. Misalnya wedang kopi, wedang teh, wedang tape, dan lain sebagainya. Tapi wedang uwuh? Baru kali itu saya menjumpainya.

Diracik seperti teh, wedang uwuh sedikit banyak mengingatkan saya pada minuman yang umumnya berwarna cokelat itu. Bedanya, wedang uwuh berwarna merah. Hal ini karena pengaruh kayu secang yang ada di dalam racikan wedang uwuh.

Wedang uwuh

 Secara utuh, wedang uwuh adalah sebuah minuman yang terdiri dari potongan kulit kayu secang, kapulaga, cengkeh, jahe, daun salam dan daun sirih yang dikeringkan, serta gula batu. Paduan berbagai bumbu yang umumnya kita jumpai di sebuah masakan ini membuat saya sempat mengernyit saat mendapati segelas minuman ini di meja.

Tegukan pertama saya masih mengernyit karena rasa yang belum pernah dicecap lidah saya. Tegukan kedua kerutan di dahi saya berkurang. Tegukan ketiga, perut dan tenggorokan saya mulai nyaman serta terbiasa dengan rasa wedang uwuh.

Tapi, ternyata ini bukan hanya berhubungan dengan lidah saya yang sudah terbiasa dengan rasa wedang uwuh, tapi juga karena racikan wedang uwuh sendiri yang memang berkhasiat untuk melegakan tenggorokan, membuat perut lebih nyaman, dan suara lebih lantang.

Secara pribadi, saya menyarankan Artebian untuk mencicipi wedang tradisional khas Jogjakarta ini. Bukan hanya karena alasan kesehatan, tapi juga pengalaman sederhana yang mengasyikkan sebagai seorang foodie.


Soda Saparella

Bertahun-tahun saya nggak menjumpai soda lokal ini. Yep, Artebian. Selain Miranda dan teman-temanya, Indonesia punya soda lokal yang lain: soda Saparella.

Rasanya sendiri mirip dengan root beer yang disajikan salah satu restoran cepat saji, dengan seberkas rasa ala soda coffee cream. Tapi bukan rasa dan namanya saja yang membuat saya tertarik pada minuman ini. Botolnya yang unik juga membuat saya memutuskan untuk mengeluarkan uang Rp2.000 dan membeli botol soda Saparella.

Iya, kamu nggak salah baca Artebian. Saya mengoleksi botol. Khususnya botol yang terbuat dari kacaSmile

Soda Saparella

Sejauh ini saya baru punya tiga botol unik Smile

Salah satunya adalah botol soda Temulawak produksi Jombang yang saya beli di Omahku. Yang ini sih demi mengenang masa kecil.

Bicara soal Omahku, kedai ini memiliki persamaan dengan Bakmi dan Sate Klathak “Djogdja” dalam hal menyajikan produk lokal dalam menu. Hanya, rumah makan Bakmi dan Sate Klathak “Djogdja” lebih mengena karena Saparella diproduksi di Jogjakarta, menurut label yang saya baca.

Siapa rela melewatkan kesempatan mencicipi soda lokal Saparella? Yang pasti bukan saya.

Baca juga: Wakul Suroboyo - Berwisata Kuliner Khas Surabaya di Satu Tempat

 

Ronde

Siapa yang nggak kenal minuman tradisional ini? Bahkan Audy dan Romeo pun mengenalnya! Laughing

Salah satu jenis minuman tradisional Jogjakarta yang berupa kuah wedang jahe yang berisi dua buah kue bulat dari beras ketan dengan isian kacang dan gula, potongan kolang-kaling warna-warni, taburan kacang yang disangrai.

Wedang Ronde

Walau sama-sama berisi jahe, tapi kuah ronde jauh lebih pedas dari wedang uwuh. Ini karena dominasi jahe yang lebih besar di ronde. Jadi, buat Artebian yang nggak terbiasa dengan kepedasan ronde, bisa lebih dulu berlatih dengan membagi dua minuman ini dengan kawan Artebian.

Ronde pas sekali dinikmati di malam yang dingin atau sewaktu hujan turun. Benar-benar menghangatkan perut. Tapi, kalau lagi patah hati, Artebian boleh juga meniru jurus Audy; meminum bermangkuk-mangkuk ronde bersama seorang teman.

Wedang RondeKomposisi wedang ronde ala Bakmi dan Sate Klathak "Djogdja".

 

2. Keramahan ala Jogjakarta

Seperti yang kita tahu, Artebian, Jogjakarta terkenal sebagai kota dengan penduduknya yang penuh sopan santun, ramah, dan bahasa Jawa-nya kental di lidah mereka. Inilah salah satu poin yang diusung oleh Bakmi dan Sate Klathak “Djogdja”.

Keramahan itu bukan hanya tecermin dari sikap para pegawai, tapi juga pada bahasa dan gestur tubuh mereka. Seperti misalnya sewaktu saya sekali lagi mengunjungi rumah makan ini, dan memesan wedang uwuh, salah seorang pegawai bertanya apa saya ingin membawa pulang racikan (tanpa disiram air panas) atau langsung wedang uwuh? Melayani seorang pelanggan seperti raja tampaknya menjadi slogan rumah makan yang gemar memainkan lagu Jawa ini.

Baca juga: Mojok dan Makan Mi di Pojok II, Perak, Jombang



3. Kebudayaan Jawa

Kebudayaan yang dibawa oleh Bakmi dan Sate Klathak “Djogdja” dari Jogjakarta bukan hanya sikap dan perilaku pegawai, tapi juga pada beberapa pepatah yang ditempel di dinding rumah makan. Beberapa di antaranya mengingatkan saya pada filosofi hidup dan kearifan lokal suku Jawa yang membuatnya menjadi sosok yang dihormati.

Pepatah Jawa
Dua dari beberapa pepatah Jawa yang digantung di tembok rumah makan.

Orangtua saya selalu mengingatkan saya bahwa orang yang terlahir sebagai suku Jawa, tapi nggak eroh jowone (tidak tahu dan tidak bisa menerapkan aturan hidup orang Jawa), bukanlah orang Jawa. Juga ada pepatah yang mengatakan yen orang jowo, dudhu wong Jowo—yang kurang lebih berarti orang Jawa terkenal dengan sifatnya yang fleksibel, sopan, dan mau bergotong-royong (membantu sesamanya). Jika ada orang suku Jawa, meski seratus persen berdarah Jawa, tapi nggak memiliki sifat-sifat tersebut, dia bukanlah orang Jawa.

Pepatah tersebut menunjukkan betapa kuat akar filosofi hidup tertanam di dalam benak orang Jawa, sehingga mereka nggak serta-merta mengakui keturunannya sebagai suku Jawa kalau dia nggak bisa mengamalkan perikehidupan dan aturan hidup seperti leluhurnya.

Ruangan kedua
Saya nggak akan bicara panjang lebar mengenai interior atau pilihan dekorasi rumah makan yang simply magnificent ini, biar foto-foto artikel ini yang bicara Smile

 

Akhir kata, seandainya di Indonesia berlaku sistem patron seperti di budaya Jepang, saya akan masuk dan menjadi salah satu patron untuk rumah makan semacam Bakmi dan Sate Klathak “Djogdja”.

Bukan hanya karena keunikan menu dan karakter yang dibawanya, tetapi juga karena saya ingin menjaga akar budaya nenek moyang. Agar generasi penerus kita nantinya memiliki karakter yang kuat, bukan sekadar anut grubyuk, mengikuti tren yang ada dan berkembang—hanya untuk musnah terlindas tren berikutnya.

Baca juga: Kober Mie Setan, Gresik Kota Baru

 

 

Bakmi dan Sate Klathak

 

Alamat  Jl. Adityawarman No. 96, Surabaya
Jam operasi

 Jumat-Rabu: 12.00 pagi - 10.00 malam

Telepon

 +62 8224-501-3394

 +62 8961-790-7257

Harga  Rp4.000,00 sampai Rp29.000,00


Rating Bakmi dan Sate Klathak "Djogdja":

Rating makan


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Makan Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Menikah - Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Masyarakat


Cara Sembuh dari Penyakit Kronis a la Dr. Hong Joon Chun


Pulau Sempu - Segara Anakan dan Hutan Terlarang


Goblin: The Lonely and Great God


Dimas-Lissa: Pudarkan Kapitalisasi Pendidikan Lewat Sekolah Gratis Ngelmu Pring


Mirota dan Segala yang Berbau Jawa


Libreria Eatery - Tempat Pas untuk Memberi Makan Perut dan Otak


Bersama Sebuah Buku dan Sebatang Rokok


Happy - Mocca Band (Dinyanyikan Ulang Oleh Aldin)


Wawancara Dengan Cindy Owada: Mengenal Lebih Dekat WTF Market Dan Brand Lokal Indonesia


Tertinggal, Tertanggal


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Empat)