The Fault in Our Stars - Sebenarnya Ini Salah Siapa?

20 Jul 2014    View : 10088    By : Niratisaya


Ditulis oleh  John Green
Diterbitkan oleh  Dutton Books 
Diterbitkan pada  Januari, 2012 
Genre  young adult, romance, slice of life, sick-lit, drama, fiksi
Jumlah halaman  313 
Nomor ISBN  978-0-525-47881-2 
Harga   IDR179.000,00 
Koleksi  Perpustakaan Pribadi
Rating  5/5


Despite the tumor-shrinking medical miracle that has bought her a few years, Hazel has never been anything but terminal, her final chapter inscribed upon diagnosis. But when a gorgeous plot twist named Augustus Waters suddenly appears at Cancer Kid Support Group, Hazel's story is about to be completely rewritten.



Impresi Saya terhadap The Fault in Our Stars

Artebianz tentu pernah mendengar pepatah, Jangan pernah menilai sebuah buku dari sampulnya. Well, meski nasihat tersebut bijak, pada kenyataannya saya adalah salah seorang yang justru sering melakukan hal tersebut; menilai sebuah buku dari sampulnya. Secara literal. Seringkali saya langsung kepincut begitu melihat sampul sebuah buku. Tidak terkecuali ketika saya melihat sampul novel karya John Green ini.

Saya ingat, saya tidak mengenal penulis atau pun pernah mendengar review bukunya dari salah seorang teman yang sama-sama gemar membaca buku. Saya juga tidak peduli pada embel-embel "#1 New York Times Bestseller". Maksud saya, berapa dari sekian buku dengan berbagai embel-embel serta endorsement yang benar-benar menjamin isinya?

Lalu apa alasan saya membeli The Fault in Our Stars? Alasan saya tidak lain adalah karena saya menyukai cover-nya. Yes, Artebianz, I'm that shallow. Selain picik dalam menilai sebuah buku, akhir-akhir ini saya suka membeli buku berdasarkan insting.

Dan syukurlah, insting saya kali ini pun tidak salah. The Fault in Our Stars ternyata benar-benar hebat!

Hingga detik ini, setelah nyaris dua tahun, saya masih bisa mengingat bagaimana isi novel ini dan bagaimana plot demi plot menyampaikan kisah Hazel Grace dan Augustus. Bahkan saya masih bisa mengingat bagaimana perasaan saya ketika mengetahui bagaimana akhir dari cerita ini.

Untuk urusan baca-membaca buku, khususnya romance, teman-teman saya sering sekali menjuluki saya sebagai Si Susah-Susah Gampang. Saya mau membaca apa saja. Tanpa omelan. Sampai tiba di halaman akhir. Begitu sampai di akhir cerita biasanya saya mengeluhkan plotnya, karakternya, pilihan kata, bahkan kadang sampai letak tanda baca. Tapi membaca novel John Green ini membuat saya bungkam.

Bahkan sampai di akhir cerita.

Baca juga: To All The Boys I've Loved Before - Siapa Bilang Hati Manusia Hanya Bisa Untuk Satu Orang?

 Diambil dari usatoday.com

Kalau dipikir-pikir lagi sebenarnya tidak ada yang benar-benar baru atau istimewa dari The Fault in Our Stars. Seperti kebanyakan novel yang ditujukan untuk remaja, novel yang telah diadaptasi menjadi film ini menjanjikan formula percintaan ala remaja. Seorang gadis bertemu dengan seorang pemuda. Yang menjadi perbedaan di sini adalah tempat dan situasi pertemuan antara Hazel Grace dan Augustus.

Bila umumnya dalam novel-novel pasangan dalam cerita akan bertemu dalam situasi yang dramatis, nyaris semanis film-film India—minus tarian dan pohonnya, Green memberikan situasi nyata. Di sini Hazel Grace diceritakan sebagai seorang gadis dengan penyakit kanker yang masih belum ditemukan obatnya, kecuali untuk memperlambat pertumbuhan sel kanker. Karena itu, sudah normal bila ia bertemu dengan Augustus dengan situasi yang sama agar terasa nyata.

Tidak berhenti di situ, Green juga menawarkan sosok tokoh yang nyata. Alih-alih menemukan tokoh yang lembut dan menyerah terhadap penyakitnya di The Fault in Our Stars sosok Hazel Grace, sebagai tokoh utama sekaligus narator, diceritakan sebagai gadis sarkas yang tinggal di lingkungan keluarga yang begitu emosional dan sensitif.

Daripada mengasihani diri sendiri atau berkumpul di organisasi yang memotivasi anak-anak dengan kanker, Hazel Grace lebih suka menghabiskan waktunya membaca novel atau menonton America’s Next Top Model. Menurut Hazel Grace kegiatan memotivasi dan pertemuan dengan sesama penderita kanker takkan banyak membantunya. Sebaliknya, hanya mengingatkan gadis itu pada penyakit dan kekhawatiran, yang muncul dalam diri manusia sebagai efek samping kematian.

Sampai suatu saat di organisasi itu kedatangan seorang pemuda, Augustus Waters, yang tak mau melepaskan pandangan dari Hazel Grace.

Mulanya Hazel Grace merasa risih, sampai dia beradu pandang dengan Augustus dan membuat pemuda itu mengalihkan pandangannya sambil nyengir. Dan sejak saat itu keduanya tak pernah bisa lepas, satu sama lain.

Bagi Augustus adalah hak istimewa Hazel Grace untuk membajak kehidupannya. Dan bagi Hazel Grace, keberadaan Augustus bagaikan satu dimensi lain di antara rutinitasnya di rumah-rumah sakit-support group. Sampai satu ketika pemikiran Hazel Grace dan Augustus terbukti salah. Keduanya tidak berakhir seperti yang harapan mereka.

Apakah kanker mereka menghentikan mereka?

Atau apakah mereka muak dengan cinta yang mereka miliki?

Silakan Artebianz membaca novel ini sendiri  Smile

Baca juga: People Like Us - Sekelumit Kisah Sendu yang Manis



Bagian per Bagian dari The Fault Our Stars

Adalah sebuah rumus abadi dalam novel romance bahwa seorang pemuda/gadis akan bertemu dengan gadis/pemuda. Mereka akan jatuh cinta, bertengkar, dan kembali jatuh cinta.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, Artebianz, Green juga menerapkan rumus tradisional yang sama. Tapi jangan harap ceritanya akan sama seperti kebanyakan cerita remaja tentang penderita kanker yang saling jatuh cinta dan akan menguras air mata.

But if you asked did I cry when I read it and reread?

I’d honestly answer, I did cry when I read this novel.

Tapi bukan sekedar karena twist dalam novel yang bertema pertemuan dua orang penderita kanker yang dihadirkan oleh Green dalam rumus sederhana novel romance. Melainkan karena pada kenyataan seseorang tak pernah bisa menduga apa yang akan terjadi dalam hidupnya—pada dirinya.

Saya selalu menganggap manusia sebagai satu-satunya makhluk yang diberikan kelebihan oleh Tuhan untuk melakukan kesalahan, dan memperbaikinya. Melakukan kesalahan dan memperbaikinya sekali lagi. Dan karakter manusiawi inilah yang dimunculkan oleh Green. Tanpa kesempurnaan berlebih, atau kekurangan yang begitu memuakkan. Semuanya disediakan Green dalam ramuan bernama The Fault in Our Stars dengan takaran yang pas.


Diambil dari tfios-movie.blogspot.com

Apakah filmnya juga memberikan komposisi yang sama? Harus saya katakan dengan jujur, Artebianz, saya tidak akan membahas film adapasi novel ini yang dibesut oleh Josh Boone di ulasan ini. Ayolah, kamu tidak akan berpikir saya akan melakukan, ya kan?  


Tentang Karakter dalam The Fault in Our Stars

Dalam The Fault in Our Stars, Green menyediakan berbagai karakter unik. Mulai dari karakter utama hingga karakter lainnya, semuanya memberikan warna yang berbeda dan saling mengisi cerita. Ketimbang sekadar menjadi pelengkap. Dan inilah salah satu daya tarik novel Green ini.

Hazel Grace

Entah sengaja atau ia memang memiliki sifat sarkas, Green memberi tokoh utama novelnya ini dengan nama Grace yang bermakna keanggunan dan kehormatan. Namun alih-alih menampilkan Hazel Grace sesuai dengan nama itu, penulis yang saat ini tinggal di Indianapolis, Indiana, justru menampilkan Hazel Grace sebagai sosok remaja dengan lidah tajam. Hal ini bisa kita lihat lewat salah satu narasi Hazel Grace:

Like, I realize that this is irrational, but when they tell you that you have, say, a 20 percent chance of living five years, the math kicks in and you figure that’s one in five… so you look around and think, as any healthy person would: I gotta outlast four of these bastards. (hal. 5)

Mungkin, seperti keterangan Augustus, seperti kebanyakan penderita kanker, Hazel Grace tumbuh menjadi sosok yang sarkas—atau yang ia sebut penyakit jujur kronis. Ia memandang segala situasi melalui kacamata yang lebih kritis dari orang kebanyakan. Tanpa peduli bahasa dan pilihan kata apa yang ia gunakan. Coba perhatikan, Artebianz. Seorang gadis bernama Grace melontarkan kata "bastards". Benar-benar kontradiktif bukan?

Augustus Waters

Berkebalikan dengan Hazel Grace, kali ini Green menggambarkan Augustus Waters sebagai sosok easy-going, sesuai dengan karakter air. Dan seperti air, semua orang akan selalu merasakan kehadirannya. Termasuk Hazel Grace yang bersumpah ia takkan pernah tertarik pada lawan jenisnya. Namun, Augustus sendiri adalah lawan dari lawan jenis Hazel Grace. Hal ini terlihat dari bagaimana ia bersikap terhadap orang-orang sekitarnya.

Diambil dari fanpop.com

Salah satunya adalah ketika ia dengan cueknya mengambil sebatang rokok dan menyelipkannya di antara giginya, sementara di sebelahnya ada Hazel Grace—gadis yang ia taksir dan nyata-nyata tengah menggunakan alat bantu agar ia tetap bisa memfungsikan paru-parunya. Atau ketika ia dengan jujur mengatakan ia mengatakan dirinya jatuh cinta pada Hazel Grace, tanpa memedulikan penolakannya, serta fakta bahwa gadis itu menganggap cinta adalah hal-hal yang sia-sia.

Baca juga: The Chronicles of Audy - Refleksi Kehidupan Seorang Gadis dalam Outline Skripsi

 

 

Akhir Kata dari The Fault in Our Stars

If you think of story of almost-dead people and uncontrollable tear-jerked, you got it right.

But only half.

Pada kenyataannya, The Fault in Our Stars bercerita tentang kisah orang-orang yang mencoba untuk menjalani hidupnya sepenuhnya. Merasakan manisnya cinta dan kebahagiaan, merasakan pahitnya sakit dan penolakan, sebelum akhirnya memenuhi fase terakhir dalam kehidupan: mati.

Diambil dari laurieruettimann.com

 

In. Short. This. Novel. Is. Very. Beautifully. Written. Mr. John Green!

Saya benar-benar menyukai dan menikmati perjalanan saya selama membaca dan membaca-ulang novel ini.

Bravo!

Baca juga: Everlasting - Terkadang, Ada yang Tak Bisa Dihapus Waktu





Your book curator,

N

 




Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Review Buku Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Cinderella dan Wanita Masa Kini: Sebuah Dekonstruksi Dongeng


Voici - Duo Multi Talenta Dari Surabaya


(Not) Alone In Otherland - Sendiri, Bukan Berarti Sendirian


Begin Again - Selalu Ada Jalan untuk Bangkit dan Menjalani Hidup


Kun Anta - Humood Al Khuder: Jadilah Diri Sendiri


Nasi Goreng dan Mi Goreng Pak Is


Coffee Bean & Tea Leaf Surabaya Town Square


Gapura Wringin Lawang, Mojokerto: Gerbang dari Masa Kini ke Masa Lalu


Jazz Gunung 2015 - Indahnya Jazz Merdunya Gunung


My Toilet Prince - Pintu Pertama


Balada Sebuah Perut


Sang Wanita Dan Kuburan Rasa