The Wind Leading To Love

29 Mar 2015    View : 5096    By : Amidah Budi Utami


Ditulis oleh  Ibuki Yuki
Diterbitkan oleh  Penerbit Haru
Diterjemahkan oleh  Mohammad Ali
Disunting oleh  Arumdyah Tyasayu
Sampul dan ilustrasi didesain oleh  Bambang 'Bambi' Gunawan
Diterbitkan pada  Februari 2015
Genre fiksi, adult, slice of life, drama
Jumlah halaman  342
Nomor ISBN  978–602-7742-47-5
Harga  IDR65.000,00
Koleksi Perpustakaan Artebia



Rasa sakit itu merupakan bukti kalau kita masih hidup

Suga Tetsuji depresi.
Menuruti saran dokter, dia mengasingkan diri di sebuah kota pesisir, di sebuah rumah peninggalan ibunya. Namun, yang menantinya bukanlah ketenangan, tapi seorang wanita yang banyak omong dan suka ikut campur bernama Fukui Kimiko.

Fukui Kimiko kehilangan anak dan suaminya, dan menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kematian mereka berdua. Dia menganggap dirinya tidak pantas bahagia.

Setelah menyelamatkan Tetsuji yang nyaris tenggelam, Kimiko menawarkan bantuan pada pria itu untuk membereskan rumah peninggalan ibunya agar layak jual. Sebagai gantinya, wanita itu meminta Tetsuji mengajarinya musik klasik, dunia yang disukai anaknya.

Mereka berdua semakin dekat, tapi...

 

Novel The Wind Leading To Love merupakan novel terjemahan dari Jepang, karya Ibuki Yuki. Novel ini mengambil latar tempat sebuah kota pesisir bernama Miwashi serta latar waktu saat musim panas, mengingatkan saya pada sebuah drama Jepang berjudul Beach Boys. Artebianz sudah pernah lihat? Pada drama Beach Boys juga diceritakan kalau para tokoh pergi ke pantai untuk sejenak memisahkan diri dari permasalahan kehidupannya, persis seperti apa yang dialami Tetsuji.


Potongan Kisah Pada The wind leading To Love

Cerita dimulai dari pertemuan tanpa sengaja antara Suga Tetsuji dan Fukui Kimiko di sebuah rest area di dekat perbukitan Ya No Hana. Saat itu Kimiko ingin mencari tumpangan yang bisa mengantarkannya ke Miwashi. Setiap musim panas Kimiko menghabiskan waktunya di Miwashi. Wanita tengah baya itu akan bekerja di sebuah kantin milik kerabatnya. Namun alasan sesungguhnya datang ke Miwashi di saat musim panas adalah untuk memperingati obon. Sudah menjadi tradisi di Jepang untuk berziarah ke keluarga yang telah meninggal saat obon. Dalam kasus Kimiko, dia menziarahi suami dan anaknya yang sudah meninggal.

festival obon di jepangfestival obon di jepang untuk mengenang keluarga yang telah meninggal - foto diambil dari www.friendsaf.com

Saat itu Suga Tetsuji sedang mengambil cuti enam minggu dari pekerjaannya di bank, dokter yang menyarankan. Dokter mendiagnosis ada kejanggalan pada kondisi mental Tetsuji. Saat ini Tetsuji sedang mengalami depresi berat. Dia telah berusaha keras selama ini, namun tidak ada perkembangan berarti pada pekerjaannya dan rumah tangganya. Malah keadaan semakin buruk. Gaji istrinya yang selalu lebih besar dari gajinya membuat kepercayaan dirinya makin berkurang, terlebih akhir-akhir ini dia mendapati istrinya telah berselingkuh dengan instruktur klub olahraga yang diikuti istrinya.

Cuti yang telah dikantongi, dimanfaatkan Tetsuji untuk bepergian ke Miwashi. Dia ingin memperbaiki rumah peninggalan ibunya di sana. Namun apa yang terjadi di Miwashi tidak sesederhana itu. Sekali lagi takdir bekerja pada kehidupan Tetsuji dan juga kehidupan Kimiko. Pertemuan di rest area ternyata bukan pertemuan terakhir mereka. Pertemuan kedua mereka terjadi di saat yang tidak terduga. Kimiko menemukan Tetsuji yang sedang tenggelam di lautan. Dengan bantuan Kimiko akhirnya Tetsuji bisa tertolong. Kemudian Kimiko membawa Tetsuji ke rumah peninggalan ibunya, penduduk lokal menamai "Rumah Semenanjung". Di sana, Kimiko memberi pertolongan pertama pada korban tenggelam. Saat itu, Tetsuji merintih kesakitan.

"Rasa sakit itu merupakan bukti kalau kita masih hidup".  (halaman 29)

Kalimat itu yang diucapkan oleh Kimiko untuk menguatkan Tetsuji, bahwa hidupnya belum berakhir, masih ada kesempatan untuk bangkit kembali.

Ketika itu Kimiko menyadari bahwa Tetsuji sedang mengalami masalah yang sangat berat, mungkin sama beratnya seperti yang dialaminya beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu Kimiko ingin membantu Tetsuji, namun tidak tahu harus dengan cara apa. Kimiko memilih untuk menjadi sosok teman yang cerewet dan mengakrabkan diri di hadapan Tetsuji.

 

Terlihat wajah wanita kemarin malam di hadapannya.
"Apa-apaan kau ini...?!"
"Ah, tidak. Aku pikir kau sudah mati."
"Lalu dengan alasan itu kau masuk tanpa izin? Tidak sopan sekali."
"Iya, maaf." Tanpa berkelit wanita itu menunduk.
"Tapi dari tadi aku berkali-kali memencet bel dan tidak ada respon. Lalu saat aku berpikir mungkin kau sedang tidak di rumah, pintu rumah ini ternyata tidak di kunci. Maka dari itu... jadi... ya seperti ini," kata wanita itu sambil sedikit menundukkan wajahnya.
"Bagaimana menjelaskannya, ya? Aku takut kau bunuh diri. Maaf ya mengatakan sesuatu yang buruk tentangmu. Tapi aku sangat bersyukur kau masih hidup." (halaman 31)

Sewaktu menyadari ada banyak sekali koleksi musik klasik di Rumah Semenanjung, Kimiko mengajukan sebuah penawaran pada Tetsuji. Dia meminta Tetsuji mengajarinya musik klasik, sebagai imbalannya Kimiko bersedia membantu membereskan rumah semenajung agar layak dijual, plus membantu Tetsuji berbelanja harian. Sulit bagi Tetsuji untuk menolak penawaran yang sangat menguntungkan tersebut. Akhirnya terciptalah kesepakatan di antara mereka. Kesepakatan tersebut mengakibatkan terjadinya interaksi antara Tetsuji dan Kimiko setiap hari. Dari awalnya orang asing menjadi teman yang saling mengenal, mendukung, dan terbiasa atas kehadiran satu sama lain. Sejalan dengan hal itu, depresi Tetsuji pun makin berkurang.

Mampukah Kimiko membantu Tetsuji bangkit dari depresinya? Akankah hubungan mereka berkembang menjadi sepasang kekasih atau sebatas teman akrab yang akan berpisah ketika musim panas berakhir? Apakah Tetsuji akan memperbaiki hubungan dengan istrinya dan menjadi keluarga harmonis lagi bersama anak perempuan mereka? Plot novel Ibuki Yuki ini berpeluang mengalir ke segala arah.

Baca juga: Tango - Surealisme Hubungan Wanita-Pria dan Diri


Tokoh-tokoh The Wind Leading To Love

1. Fukui Kimiko

Kimiko adalah seorang wanita paruh baya berusia 39 tahun. Bisa dibilang wanita ini bernasib malang sejak, masa, kanak-kanak, remaja, sampai dewasa. Wanita yang selalu memakai kappou ini lahir dan dibesarkan di keluarga yang kurang hamonis. Riwayat pendidikannya pun tidak bagus, Kimiko hanya menempuh pendidikan formal sampai SMP. Setelah menikah pun nasib malang tidak lekas menjauh darinya. Dia kehilangan suami dan anak laki-lakinya dengan tragis.

Segala nasib malang yang menimpanya membuat Kimiko tidak memiliki kepecayaan diri. Dia tidak percaya diri karena hanya lulusan SMP, tidak bisa membaca huruf alfabet, dan tidak bisa memahami musik klasik yang menjadi kecintaan putranya. Sampai saat Kimiko merasa telah menemukan kebahagiaan kembali, dia tidak percaya diri untuk merasakan kebahagiaan itu.

kappou(kappou adalah pakaian yang dikenakan saat melakukan pekerjaan rumah tangga)


2. Suga Tetsuji

Tetsuji adalah anak laki-laki Mishio-san, seorang guru musik yang tinggal di Miwashi. Penduduk lokal memanggil Tetsuji dengan sebutan "Junior". Bagi penduduk Miwashi sosok Tetsuji dikategorikan ke dalam golongan orang langka. Tetsuji yang dikenal cerdas dan lulusan universitas luar negeri selalu menjadi perbincangan hangat dan menarik bagi penduduk lokal. Tetsuji dianggap sebagai bintang yang bersinar di Miwashi. Namun tidak demikian keadaan Tetsuji di Tokyo. Tetsuji bagaikan pecundang yang tidak pernah dan tidak akan naik tingkatan. Kondisi Tetsuji di Tokyo seolah seperti pepatah "hidup segan mati tak mau".

3. Rika ( Istri Tetsuji)

Rika adalah sosok wanita modern yang memiliki segalanya. Dia cantik, cerdas, dan memiliki karir yang cemerlang. Harusnya dia bisa hidup bahagia dengan apa yang dimilikinya. Namun kenyataannya tidak demikian. Rika mengidap penyakit yang disebut "iri hati". Sebuah sifat yang sudah lama melekat pada dirinya sejak kanak-kanak sampai dewasa. Bahkan Rika iri terhadap anak kandungnya, Yuka, yang mendapat perhatian lebih dari Tetsuji.

Baca juga: Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya


Sudut Pandang Terhadap Diri Sendiri Dan Orang Lain

Salah satu hal menarik dari novel ini adalah bagaimana seseorang jadi sangat berbeda tergantung siapa yang menilainya. Dan penilaian seseorang terhadap orang lain maupun diri sendiri sangat subjektif. Berikut saya kutipkan bagaimana sosok para tokoh dari berbagai sudut pandang:

Jikalau melihat wanita setengah baya yang meminta tumpangan sambil mengangkat kertas bertuliskan 'Kota Pesisir', pastikan untuk memberinya tumpangan dan perlalukan wanita itu dengan sopan. Wanita yang mirip dengan Peko-chan Fujiya itu merupakan penata rambut yang andal. Sebagai ucapan terima kasih atas pemberian tumpangan, dia pasti akan memotong dan menata rambutmu di rest area.

Kabarnya, kalau para sopir menuruti arahan tersebut maka mereka akan bertambah gagah berkat potongan rambut yang baru. Selain itu, mereka pun akan mendapatkan rezeki yang banyak (Rumor tentang Kimiko yang tersebar di kalangan supir truk di bagian prolog)

Mungkin karena aku terlalu bodoh. Aku jadi tidak menyadarinya. Pasti ada saatnya aku menyakiti perasaan orang lain. Oleh karena itu, aku tidak punya kepercayaan diri untuk marah (Kimiko menilai dirinya sendiri: halaman 120)

"Kau ini cerdas dan punya segalanya, tapi kenapa tidak sedikitpun telihat bahagia?" (Tetsuji di mata Kimiko: halaman 35)

"Mungkin aku memang tidak memiliki kemampuan yang layak saja." (Tetsuji menilai dirinya sendiri: halaman 21)

 

Detail Kecil Yang Indah Pada The Wind Leading To Love

1. Rumah Semenanjung

Salah satu daya tarik novel The wind Leading To Love adalah detail properti yang digunakan oleh Ibuki Yuki, salah satunya adalah Rumah Semenanjung. Rumah Semenanjung digambarkan sebagai bangunan dua tingkat yang dibuat mewah dengan perpaduan gaya Barat dan gaya Jepang sesuai dengan kesukaan pemiliknya.

Rumah ini memiliki halaman yang menghadap ke laut. Rumah semenanjung memiliki ruang keluarga seluas tiga puluh jou (sekitar 48 meter persegi) yang menghadap ke halaman. Di dalam ruang keluarga terdapat piano persegi, sofa, televisi layar lebar lengkap dengan sistem home theater, kursi goyang dan sebuah rak besar yang menjulang yang menutupi seluruh dinding sampai atap. Rak tersebut penuh dengan deretan buku, piringan hitam, serta berbagai macam CD. Tidak hanya itu, semua perabot di rumah ini memiliki kualitas nomor satu.

Gelas-gelas dan piring-piringnya mengeluarkan bunyi yang jernih saat bergesekan dengan jari dan masih banyak lagi harta karun di rumah ini menggambarkan pemiliknya adalah seorang yang memiliki nilai seni dan selera yang tinggi.

2. Koleksi Lagu Klasik

Apakah Artebianz menggemar musik klasik? kalau iya, kamu wajib membeli novel ini. Tokoh-tokoh di novel ini adalah penyuka musik klasik. Musisi-musisi seperti Gleen Gould, Lefebure, dan Mozart serta opera-opera yang terkenal sering disebut-sebut di novel ini.

opera la traviataOpera La Traviata yang sering didiskusikan oleh Tetsuji dan Kimiko- foto diambil dari www.operanews.com


3. Kota Miwashi


Kota Miwashi adalah sebuah kota kecil yang lebih cocok disebut sebagai desa karena lokasinya yang terpelosok. Miwashi berada di tepi laut yang dikelilingi oleh perbukitan. Sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai nelayan. Miwashi jarang dilewati angkutan umum dan tidak terjangkau oleh makanan cepat saji yang biasa menjual ayam goreng, burger, dan sejenisnya. Dibutuhkan perjalanan sekitar 40 menit dengan berkendara untuk menjangkau restoran cepat saji.

Untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari harus mengunjungi beberapa toko yang berbeda karena tidak ada supermarket yang menjual semua kebutuhan tersebut. Apakah terdengar mengerikan Artebianz? Bagi seseorang yang terbiasa hidup di kota metropolitan mungkin ini terdengar mengerikan. Seperti kesan Tetsuji saat baru tinggal beberapa hari di Miwashi.

Tetsuji pun masih belum mengerti alasan mengapa ibunya sangat mencintai kota ini." (halaman 19)

Bagi saya, ibuki-san menggambarkan kota Miwashi dengan sangat realistis dan mempesona. Saya teringat desa kelahiran saya, tempat di mana ibu saya tinggal saat ini. Saya jadi berpikir keadaan alam di Jepang mirip dengan di Pulau Jawa. Replikasi Kota Miwasi hampir selalu bisa Artebianz temukan di sepanjang pesisir selatan pulau Jawa. Kalau Artebianz tidak percaya bisa membuktikan sendiri. Caranya baca dulu The wind Leading to Love kemudian kapan-kapan ikutlah saya mudik saat Artebianz punya waktu luang.

Salah satu pemandangan di Miwashi yang tampak berkesan adalah sepanjang jalan yang dekat dengan pemecah ombak dan tentunya berlatar belakang laut dan langit biru. Menurut saya tempat seperti ini sangat cocok untuk berjalan-jalan sore.

 pemecah ombakPemecah ombak - foto diambil dari bisnis.com

Baca juga: Mari Lari - Sebuah Cerita tentang Tekad Hati Lewat Langkah Kaki

 

Perbedaan Budaya Kota dan Budaya Desa

Di novel ini digambarkan dengan jelas perbedaan budaya kota dan budaya desa. Bagi orang kota seperti Rika hidup adalah kompetisi, tidak ada waktu sedetik pun untuk berhenti karena itu artinya mati. Kehidupan yang rawan stres. Sedangkan di Desa kehidupan berjalan lambat. Masyarakatnya hidup sederhana. Namun tidak sedikit penduduk yang meninggalkan desa untuk mengejar kehidupan yang lebih kompetitif.

Di Indonesia? Saya juga merasakan perbedaan yang sama. Saya kadang berpikir alangkah baiknya jika orang desa mendapatkan pendidikan dan akses informasi sebaik orang kota, sedangkan orang kota mendapatkan kualitas lingkungan misalnya pemandangan yang indah, udara yang sejuk, serta jalan yang tidak macet sebaik orang desa.

Di novel ini saya merasa Ibuki Yuki tidak melulu menceritakan kisah tokoh utama, namun juga sepaket kehidupan lengkap dan nyata.

 

Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Kembali Bangkit Dan Menemukan Kebahagiaan

Saya menangkap pesan "Tidak ada kata terlambat untuk kembali bangkit dan menemukan kebahagiaan" pada potongan kisah kehidupan yang diramu oleh Ibuki-san. Mengambil para tokoh berusia separuh baya adalah salah satu tindakan yang cukup berani tanpa takut kehilangan penggemar.

Novel ini saya sarankan untuk Artebianz yang berusia 20 tahun ke atas karena permasalahan yang diangkat cukup berat dan butuh sikap dewasa untuk memahaminya.

Baca juga: The Giving Tree: Cinta Adalah Bahasa Universal 




Amidah Budi Utami

Amidah Budi Utami adalah seorang perempuan yang bekerja di bidang IT dan menyukai seni, sastra, fotografi, dan jalan-jalan.

Profil Selengkapnya >>

Review Buku Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Perempuan, Terlahir Sebagai Penghuni Neraka


Figur: Lia Indra Andriana - Dari Seorang Calon Dokter Gigi Menjadi Salah Satu Penerbit Berpengaruh


The Palace of Illusions: Ketulusan Cinta Para Pandawa


Bangkok Knockout: Permainan Maut antara Hidup dan Mati


How Deep Is Your Love - Calvin Harris: Dalamnya Cinta Lewat Deep House Music


Marugame Udon - Delicacy in Simplicity


Taman Apsari, Keteduhan di Tengah Hiruk Pikuk Kota


Pulau Menjangan: Candu Pesona Bawah Laut


Jazz Gunung 2015 - Indahnya Jazz Merdunya Gunung


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Kedua)


Cita-Cita Dirgantara


Dor!