The Giving Tree: Cinta Adalah Bahasa Universal

14 May 2015    View : 7109    By : Niratisaya


Ditulis oleh Shel Silverstein
Diterbitkan oleh Atria
Diterjemahkan oleh Sri Noor Verawaty
Disunting oleh Rindias H.F.
Sampul dan layout oleh  Nurhasanah Ridwan
Diterbitkan pada Oktober 2014
Genre fiksi, dongeng, children, young adult, filsafat, family
Jumlah halaman 54
Nomor ISBN 978-602-1440-28-5
Harga IDR IDR45,000
Koleksi Perpustakaan Pribadi

Lama nggak mereview buku nih, Artebianz. Buku terakhir yang saya review adalah To All The Boys I’ve Loved Before karya Jenny Han. 

Setelah itu saya disibukkan dengan hal-hal lain—saya bahkan tidak bisa membaca buku.Sad Face

Kalaupun membaca, buku-buku itu adalah buku-buku lama yang saya baca ulang.

Jadi, sebagai pemanasan (ulang), saya akan mengulas buku terakhir yang saya baca: The Giving Tree.

Saya sudah menyimpan buku ini lebih dari dua bulan (versi terjemahan), sedangkan versi bahasa Inggrisnya belum saya baca.

Anyway, let’s get started with the synopsis shall we, Artebianz

 

Sinopsis The Giving Tree

Buku setebal 54 halaman ini bercerita tentang seorang Anak Laki-Laki dan Pohon yang hidup di hutan. Menilai dari interaksi mereka, keduanya cukup dekat. Setiap hari si Anak Laki-Laki akan datang menyambangi hutan untuk mengunjungi Pohon. Dia bermain bersama Pohon; mengumpulkan dedaunan yang dijatuhkan Pohon, memanjat Pohon, dan berayun di dahan-dahan Pohon. Tak jarang si Anak Laki-Laki memakan buah si Pohon. Atau tertidur di bawah naungan Pohon.

Saking cintanya pada Pohon, si Anak Laki-Laki menulis “Aku + P” di tengah gambar hati yang diukirnya di batang Pohon.

Waktu berlalu dan si Anak Laki-Laki pun tumbuh besar.

Pohon bukan lagi satu-satunya yang dicintai si Anak Laki-Laki. Ada nama lain yang terukir di batang tersebut.

Dan, tahun berganti tahun, waktu yang mereka habiskan untuk bermain pun semakin berkurang. Si Anak Laki-Laki berhenti mengumpulkan dedaunan si Pohon. Dia juga berhenti memanjat. Anak Laki-Laki memiliki keinginan-keinginan lain.

Namun, Pohon selalu menyambutnya setiap kali Anak Laki-Laki datang kepadanya dan meminta banyak hal. Mulai dari buah-buahnya, dahan-dahannya, hingga batang Pohon. Meski demikian, Pohon selalu bahagia karena Anak Laki-Laki membutuhkannya.

Hingga satu ketika tibalah hari tua Anak Laki-Laki dan dia tak lagi membutuhkan apa pun. Dia kembali datang ke hutan, menyambangi Pohon yang hanya tinggal batang berukir tulisan pertama si Anak Laki-Laki: cinta pertamanya.

Baca juga: Doodle Land, A Coloring Book for Grown-Up Children

 

 

Bagian per Bagian The Giving Tree

1. Cerita dan Plot The Giving Tree

Membaca sinopsis The Giving Tree di atas, Artebianz mungkin menyadari bahwa buku ini adalah buku dongeng untuk kanak-kanak. Tapi The Giving Tree berbeda dengan gambaran buku dongeng yang ada dalam bayangan saya, atau yang banyak beredar di toko-toko buku, yang sekadar menjadi dongeng pengantar tidur.

Memanfaatkan 54 halaman yang kebanyakan didominasi oleh ilustrasi, Silverstein mampu menyajikan sebuah cerita utuh tentang perubahan karakter dengan baik, dan secara objektif tanpa memberikan penekanan-penekanan pada satu sisi cerita atau menyalahkan satu karakter.

Cara penceritaan Slverstein itu membuat pembaca, juga  pendongeng, untuk berpikir serta menciptakan ruang untuk berimajinasi—untuk berpikir ulang tentang kehidupan, manusia, dan filsafat. Terutama dari perbandingan interaksi antara Anak Laki-Laki dengan Pohon ketika masih kanak-kanak:

The Giving Tree

Dan ketika dewasa:

The Giving Tree

Ketika si Anak Laki-Laki masih kanak-kanak dia hanya terfokus pada kegiatan bermainnya dengan si Pohon, sehingga yang sering kali diambilnya adalah dedaunan dan buah yang selalu bisa dihasilkan kembali oleh Pohon.

Tapi, begitu dewasa, Anak Laki-Laki mengambil semua yang membutuhkan proses dan waktu yang lebih lama bagi Pohon untuk menghasilkannya kembali.

Bahkan ketika terakhir kali Anak Laki-Laki menemui Pohon, dia mengambil batang berikut tulisan Anak Laki-Laki dan inisial (cinta pertama?) orang yang dicintainya. Ditinggalkannya tunggul Pohon dan tanda bahwa si Anak Laki-Laki mencintai Pohon.
Meski demikian, di akhir, tindakan Anak Laki-Laki bisa dilihat dari kacamata yang berbeda. Atau saya kelewat romantis?

Baca juga: Simple Thinking About Blood Type 3


2. Detail Kecil The Giving Tree

Ketika saya mencari ilustrasi, saya baru sadar Silverstein menggunakan kata ganti “she” untuk Pohon. Bisa jadi Silverstein dalam hal ini menggambarkan cinta seorang ibu kepada anaknya. Betapa pun seringnya si anak meminta darinya dan meninggalkannya, ibu akan selalu mencintai anaknya.

Sementara itu, dalam versi terjemahannya tentu saja “she” diganti dengan “dia”, yang membebaskan Pohon dari binarisme gender sekaligus memberikan gambaran bahwa Pohon adalah sosok orangtua terhadap si Anak Laki-Laki. Tapi, kalau diambil dari sudut pandang hubungan manusia dengan alam, akan beda lagi hasilnya.

See, how broad this topic in The Giving Tree Smile

Akan bagus rasanya kalau The Giving Tree dijadikan sebagai salah satu bacaan untuk anak-anak TK dan SD (1-5) sebelum kemudian diberikan bacaan dengan jangkauan yang lebih luas. Bukan langsung diberi bacaan yang berat dan setengah-setengah—jadi curhat, deh Tongue Out

Perkara karakter… rasanya saya tidak akan membahasnya terlalu dalam. Selain hanya ada dua karakter di dalam cerita, The Giving Tree lebih asyik kalau Artebianz baca langsung.

 

 

Akhir Kata untuk The Giving Tree

The Giving Tree adalah salah satu pengalaman membaca yang lumayan mengasyikkan. Nyaris seperti cerita ala The Grimm Brothers yang asli tapi tidak terlalu grim, noir, atau gelap. Cara penceritaan Silverstein yang objektif membantu banyak dalam hal ini.

Menyambut bulan literasi dan keberadaan Surabaya sebagai Kota Literasi, saya merekomendasikan The Giving Tree pada Artebianz. Silakan beli atau pinjam dan baca. Atau Artebianz bisa menghadiahkan The Giving Tree untuk keponakan atau anak.

The Giving Tree akan menjadi hiburan untuk anak-anak  yang pas dibanding tontonan teve yang semakin nggak karuan.

Baca juga: Sayap-Sayap Kecil - Mengintip Sepotong Kisah Rahasia Seorang Gadis SMA

 

 

 

Your book curator,

N

 

 




Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Review Buku Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Menikah - Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Masyarakat


Indah Kurnia, Memimpin Tanpa Kehilangan Identitas Sebagai Wanita


Ilana Tan, Penulis Misterius dan Perkembangan Karyanya


Bangkok Knockout: Permainan Maut antara Hidup dan Mati


Adele's Hello - Apa Kabar Masa Lalu?


Soto Khas Lamongan Di Pandean, Ngoro


Gujo Cafe Surabaya: Cangkrukan Enak Bernuansa Tradisional-Modern


Candi Minak Jinggo - Candi Kecil nan Istimewa di Trowulan


Deja Vu: Pesta Ketiga WTF Market di Surabaya (Bagian 2 - End)


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Ketiga)


Murni dan Tahun Baru


Dua Windu Lalu, Lewat Hening Malam