Happily Ever After - Mencari Makna Kebahagiaan Abadi

09 Jun 2015    View : 6349    By : Niratisaya


Ditulis oleh    Winna Efendi
Diterbitkan oleh    GagasMedia
Disunting oleh Jia Effendie
Aksara diselaraskan oleh  Widyawati Oktavia
Penataan letak oleh Gita Ramayudha
Tata letak diselaraskan oleh  Erina Puspitasari
Desain sampul oleh Jeffri Fernando
Diterbitkan pada Desember 2014
Genre fiksi, young adult, drama, family, sick-lit, romance
Jumlah halaman 356
Nomor ISBN 978-979-7807-70-3
Harga IDR57.000,00
Koleksi Perpustakaan Pribadi


Tak ada yang kekal di dunia ini.
Namun, perempuan itu percaya, kenangannya, akan tetap hidup dan ia akan terus melangkah ke depan dengan berani.

Ini adalah kisah tentang orang favoritku di dunia.

Dia yang penuh tawa. Dia yang tangannya sekasar serat kayu, tetapi memiliki sentuhan sehangat sinar matahari. Dia yang merupakan perpaduan aroma sengatan matahari dan embun pagi. Dia yang mengenalkanku pada dongeng-dongeng sebelum tidur setiap malam. Dia yang akhirnya membuatku tersadar, tidak semua dongeng berakhir bahagia.

Ini juga kisah aku dengan anak lelaki yang bermain tetris di bawah ranjang. Dia yang ke mana-mana membawa kamera polaroid, menangkap tawa di antara kesedihan yang muram. Dia yang terpaksa melepaskan mimpinya, tetapi masih berani untuk memiliki harapan...

Keduanya menyadarkanku bahwa hidup adalah sebuah hak yang istimewa. Bahwa kita perlu menjalaninya sebaik mungkin meski harapan hampir padam.

Tidak semua dongeng berakhir bahagia. Namun, barangkali kita memang harus cukup berani memilih; bagaimana akhir yang kita inginkan. Dan, percaya bahwa akhir bahagia memang ada meskipun tidak seperti yang kita duga.

 

 

Cute and interesting cover (check!)

Guaranteed author (check!)

And that’s, Artebianz, how I adopted Winna Efendi’s Happily Ever After. Nggak ada baca-baca review atau tanya-tanya teman. I just grabbed it.

However…. Truth to be told, Happily Ever After bukanlah novel yang membuat saya kecanduan pada novel-novel Efendi. Pun bukan salah satu favorit saya. But, still… I would always feel this fuzzy-warm feeling every time I read it.

Saya pertama kali tertarik pada gaya menulis Efendi setelah membaca Ai, kemudian dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya oleh novel Unforgettable. Tapi, karena novel terakhir Efendi yang saya baca adalah Happily Ever After, sekaligus yang terbaru, maka ulasan yang muncul di artikel review buku kali ini adalah kisah manis-pahit seorang gadis dan kehidupan keluarganya.

Happily Ever After
(diambil dari akun twitter Winna Efendi: @WinnaEfendi)

 

 

Bagian Per Bagian Happily Ever After

Dengan sampul yang lumayan manis, dua buah buku hardcover dengan punggung menghadap ke atas dan tampil bak sebuah hotel, serta blurbs di sampul belakang yang lumayan panjang dan deskriptif, membuat saya membayangkan bahwa novel Efendi yang terbit setahun lalu ini akan menjanjikan sebuah petualangan. Membuat saya mengira novel Efendi akan berbau fantasi. (Saya membayangkan Ink Heart). Tapi saya salah.

Atau paling nggak separuh benar. Sebab, kali ini Efendi meramu cerita dengan sedikit berbeda.

Bahkan boleh dikatakan agak sedikit mirip Priceless Moment karya Prisca Primasari—yang memiliki cerita di dalam ceritanya. Selain itu, keduanya juga berkisah tentang kehidupan sebuah keluarga. Tapi kesamaan dua novel terbitan GagasMedia ini berhenti di sana. Selanjutnya, Happily Ever After dan Priceles Moment mengambil lajur cerita yang berbeda.

Dalam ulasan saya kali ini saya tidak akan membahas perkara diksi Efendi—karena sudah terbukti oke. Saya akan lebih fokus pada after-taste setelah membaca Happily Ever After.

Baca juga: Mari Lari - Sebuah Cerita tentang Tekad Hati Lewat Langkah Kaki

 

 

Sekelumit Cerita Happily Ever After

Happily Ever After menceritakan tentang kehidupan sang tokoh utama, Lucia, atau yang lebih dikenal dengan Lulu, dan keluarga kecilnya yang bahagia. Keluarga kecilnya inilah yang menjadi sumber kekuatan Lulu untuk melewati hari-harinya yang nggak terlalu bahagia di sekolah.

Bagaimana tidak, bukan hanya kehilangan sahabat, pada saat yang sama, Lulu kehilangan kekasihnya dan menjadi korban perundungan. Kemudian, suatu hari, kebahagiaan Lulu diporakporandakan oleh kehadiran monster bernama kanker. Dia menyerang ayah Lulu.

Jadilah kini Lulu bukan hanya harus bertahan di sekolah, tapi dia juga harus melawan kesedihan yang perlahan menggerogoti kebahagiaan di rumahnya.

Tapi siapa nyana, ternyata di tengah kesedihan Lulu, muncul seorang pemuda penggemar permainan tetris yang kembali menata kebahagiaan gadis itu.

 

 

Para Tokoh dalam Happily Ever After

Lucia Surya (Lulu)

Begitu membaca Happily Ever After beberapa hal yang segera saya tangkap dari karakter Lulu:

Dia begitu mengidolakan ayahnya (hal. 1).

Penyendiri dengan penampilan unik—kalau nggak aneh (hal. 21)

Terobsesi dengan masa lalu dan mantan sahabatnya (hal. 22-27)

Yap. Tiga hal itulah yang paling menonjol dan mewakili sosok Lulu di sepanjang cerita.

Lulu Surya (karena diceritakan sebagai goth girl dan punya kulit putih seperti vampir, walhasil... ini bayangan saya tentang Lulu - diambil dari thatpoorebaby.com)

Dan seperti kebanyakan heroine di cerita-cerita, Lulu tampil sebagai gadis nggak berdosa yang menjadi korban keadaan. Dia menjadi korban perundungan hanya karena penampilan dan cara berpikirnya yang nggak umum. Buruknya, salah satu orang yang merisak Lulu di sekolah adalah sahabatnya sendiri karena lelah menjadi korban perundungan.

“Gue pengin berhenti jadi cewek nerdy berkawat gigi yang selalu jadi objek lelucon orang-orang. Gue nggak mau lagi ngelewatin hari-hari neraka yang kita lalui dulu. Gue mau jadi populer, dikagumin orang lain, dan saat itu gue sadar, gue bisa.” (hal. 307)

Setelah lama saling menghindar dan berinteraksi lewat celaan dan saling melukai, Lulu dan Karin akhirnya mengungkapkan apa yang ada dalam benak mereka—serta apa yang sebenarnya mereka rasakan terhadap satu sama lain.

Pada saat yang sama, terungkap pula bahwa Lulu bukan gadis nggak berdosa dan korban keadaan. Ini terlihat percakapan Lulu dan Karin.

“Waktu gue ambil Ezra, kenapa lo nggak berbuat apa-apa?”

….

“Karena gue tahu, kalian nggak membutuhkan gue.”

….

Bullshit,” desis Karin. “Jawabannya hanya satu, antara lo terlalu takut untuk menghadapi kenyataan, atau perasaan lo untuk Ezra nggak sekuat yang lo kira.” (hal. 305)

Sedari awal cerita, Lulu selalu menceritakan betapa Karin dan Ezra mengkhianati serta melukainya ketika mereka berdua diam-diam berpacaran. Tanpa memedulikan Lulu. Tapi setelah membaca cerita dari sisi Karin, saya pun mulai mengerti—dan tidak mengerti—kenapa Karin bersikap demikian pada Lulu.

Saya menduga ini karena Lulu cenderung pasif-agresif dalam permasalahan. Khususnya menyangkut Karin dan Ezra. Alih-alih marah dan melabrak Karin, Lulu malah memilih diam dan menghindar. Dia seakan menciptakan tembok tak kasatmata untuk (mantan) orang-orang terdekatnya. Sikapnya ini tentu saja membuat Karin dan Ezra merasa bahwa mereka tidak memiliki nilai di mata Lulu.

Di mata saya, Lulu tampak seperti seorang romantis, dalam artian dia hampir selalu menggunakan hatinya saat berpikir. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut:

“Kamu masih suka sama dia?” Eli bertanya.

“Bisa dibilang… Ezra cinta pertamaku.” Dia orang pertama yang membuatku berdebar-debar.

Orang pertama yang menuliskan lagu untukku. Pegangan tangan pertama, pelukan pertama dan ciuman pertama. (hal. 125)

Lulu merasakan apa yang dikatakan oleh orang-orang tentang cinta pertama: manis dan nggak mudah dilupakan. Sebagai orang pertama dalam lembaran percintaan Lulu, sudah pasti Ezra adalah orang yang nggak akan bisa dlupakan begitu saja oleh Lulu. Pada saat yang sama, hal ini membuat Ezra menjadi orang yang dengan mudah melukai Lulu.

Saya curiga, hal ini jugalah yang membuat Lulu nggak mudah memaafkan Karin—karena dia adalah teman pertama Lulu. Bahkan satu-satunya. Dan membuat Lulu seperti terobsesi pada Karin; sepasang mata Lulu selalu secara otomatis mencari-cari Karin setiap kali mereka ada di ruangan yang sama.

Dan satu hal lagi, entah mengapa saya teringat pada Laura, heroine Efendi dalam novel Melbourne: Rewind. Mereka sama-sama bersikap pasif dan cenderung suka dengan hal-hal nyaman. Untuk Laura hubungannya dengan Max, sedangkan Lulu menghindari dua orang yang sempat menjadi sosok penting dalam hidupnya.

Baca juga: People Like Us - Sekelumit Kisah Sendu yang Manis


Ayah Lulu

Sosok favorit Lulu yang selalu menyebut diri “sekuat baja” (hal. 54) ini adalah sumber kekuatan sekaligus kelemahan Lulu.

(diambil dari ghc.edu)

Secara pribadi, saya menyukai bagaimana mereka berinteraksi dan menciptakan kehangatan untuk pembaca.

“Ayah tahu nggak sih, teori kalau sekolah adalah medan pertempuran itu bener banget?”
Ayah malah tertawa. Ayah punya cara tertawa yang menarik, seolah-olah apa yang dikatakan lawan bicaranya benar-benar lucu, padahal kadang-kadang biasa saja. Atau bahkan, tak bermaksud untuk mengundang tawa, seperti sekarang.

“Kalau begitu, Lulu harus jadi kapiten.”

“Hah, kapiten?” Aku mengernyit. “Kayak di lagu?” (hal. 17)

Dari kutipan di atas Artebianz bisa melihat bahwa ayah Lulu adalah sosok pria hangat yang murah senyum. Sosoknya yang seperti inilah yang tampaknya menyatukan Lulu dan ibunya. Dengan tawanya, yang entah bermaksud membuat lawan bicara menjadi lebih terbuka padanya atau nyaman. Satu hal yang diperlukan Lulu karena dia nggak lagi memiliki sahabat dan pacarnya.


Ibu Lulu

Meski diceritakan nggak dekat, saya tidak merasa hubungan Lulu dan ibunya dingin atau dibumbui kebencian. Mungkin lebih tepat kalau dikatakan berjarak karena mereka selalu memiliki ayah Lulu sebagai penyambung lidah dan kasih sayang, tanpa benar-benar saling berinteraksi. Sampai akhirnya penyambung itu perlahan retas….

Kusingkirkan cangkir berisi kopi dingin yang sejak tadi dipegangnya, kemmmudian menggenggam tangannya. Bunda tersentak, tapi tak merespons lebih jauh. Baru kusadari, tangannya gemetaran. (hal. 53)

Seandainya Lulu dan ibunya sering berinteraksi, mungkin reaksi keduanya berbeda pada situasi tersebut. Mungkin mereka akan saling berpelukan, saling pandang, atau yang lain-lain. Namun, karena nggak terbiasa berinteraksi secara langsung, Lulu dan ibunya cenderung kagok saat mereka berada di situasi yang sama. Interaksi mereka cenderung kaku dan minim kehangatan (hal. 56).


Karin

Diperkenalkan sebagai tokoh antagonis yang melakukan perundungan pada Lulu, sekaligus mantan teman dekat Lulu.

Saya sempat dibuat benci, sekaligus geli karena meski sering mengganggu Lulu, Karin melontarkan hinaan kekanakan seperti mengolok tas Lulu—yang terasa seperti anak lima tahun mengolok teman sekolahnya hanya untuk menciptakan interaksi, bukan demi tujuan menghina itu sendiri. Dan ini terbukti saat Karin dan Lulu bertemu.

Karin tersenyum pahit. “Lo nggak sadar apa yang gue rasain, karena yang lo omongin cuma Ezra begini, Ezra begitu. Begitu pacaran sama Ezra, lo mulai berubah. Lo mulai mikirin diri sendiri, ngelupain janji-janji kita demi ketemu sama Ezra, dan nggak ada saat gue butuh lo.” (hal. 218)

Ucapan Karin itu membuktikan bahwa ketimbang benci dan punya obsesi populer belaka, Karin sebenarnya marah pada Lulu yang lebih dulu menciptakan jarak dengannya. Walau mungkin nggak sengaja atau punya niat begitu. Dan, masalah dengan perempuan adalah mereka nggak pernah secara langsung mengatakan apa yang menjadi ganjalan di hati mereka (guilty! *tunjuk diri sendiri*) dan cenderung berharap orang lain bisa tahu apa yang ada di kepala atau hati mereka.

Demikian pula dengan Karin.

Dia boleh punya sifat blakblakan dan terbuka, tapi dalam beberapa hal Karin masih seperti perempuan umumnya.

By the end, saya tidak lagi benar-benar menyalahkan Karin tentang apa yang terjadi padanya dan mengapa dia merebut Ezra dari Lulu. Bisa jadi dia cuma pengin Lulu merasakan apa yang dia rasakan.

Karin and Lulu(how I imagine Karin and Lulu relationship - gambar diambil dari playbuzz.com)

Baca juga: Sayap-Sayap Kecil - Mengintip Sepotong Kisah Rahasia Seorang Gadis SMA

 

Ezra

Cinta pertama Lulu sekaligus orang yang mengenalkan segala hal pertama dalam dunia pacaran pada Lulu. Keistimewaan sosok Ezra ditunjukkan lewat kutipan berikut:

Ezra.

Orang yang menuliskan lagu yang sama buatku, menyanyikannya untuk kali pertama di atas panggung kosong, dengan aku satu-satunya orang yang duduk di barisan kursi penonton. Orang yang selalu menyelipan sepotong Kit Kat dalam sakuku karena tahu itu cokelat favoritku. (hal. 34)

Ya, seistimewa itulah sosok Ezra di mata Lulu. Ezra mengerti dan menyayangi Lulu, sehingga dia menuliskan nama pemuda itu dalam satu paragraf, tanpa menyelipkan embel-embel atau nama lain.

Namun, bisa jadi juga Ezra adalah bentuk pemberontakan Lulu, entah terhadap orangtuanya atau sekolah—atau dua-duanya. Saya berpikir demikian karena, meski ayahnya menjadi sosok favoritnya, Lulu malah memilih Ezra yang sama sekali berbeda dari ayahnya. Bahkan Lulu sendiri mengakui kalau “Ezra bukan tipe cowok yang disukai orangtua” (hal. 36).

Meski demikian, saya sempat berharap kalau pada suatu halaman, Ezra dan Lulu akan kembali. Bukan cuma karena bad boy vibe yang menarik dari Ezra, tapi karena Efendi dengan baik membangun imajinasi saya tentang Ezra dan chemical reaction-nya dengan Lulu. Tapi brvsklqwzdfty *bekap mulut sendiri*

Lebih baik Artebianz baca buku ini sendiri


Eliott

Terdengar bunyi seseorang bernapas dan bergerak, kemudian tiba-tiba. Sesosok tubuh merangkak keluar dari kolong tempat tidur yang kududuki, mengambil posisi berdiri dan merentangkan kedua lengannya tinggi-tinggi di atas kepala. Aku memekik kaget, membuatnya tersentak dan maju untuk membekap mulutku.

“Sssh. Jangan berisik. Nanti aku ketahuan.” (hal. 82)

Kalau Efendi membangun imajinasi pembaca tentang Ezra lewat cerita kenangan Lulu dan bagaimana reaksi keduanya saat bertemu, Efendi membangun imajinasi dengan baik lewat penggambaran pertemuan Lulu dan Eliott yang lumayan unik. Maksud saya, seberapa sering sih, kamu “ketemu” tokoh dalam novel yang merangkak keluar dan memperkenalkan diri?

Thus, ketika Eliott muncul dengan cara seajaib kepribadiannya, saya langsung jatuh hati pada tokoh Happily Ever After yang satu ini. Apalagi saat saya membaca bagian keluarga Eli dan kenapa Mia, adiknya bisa begitu ajaib macam Alice dalam novel Twilight.

 

 

Karakterisasi Tokoh ala Winna Efendi

Yang saya sukai dari sebuah cerita adalah dimensi-dimensi dalam dunia fiksi yang diciptakan oleh penulis. Baik untuk cerita maupun karakter para tokoh. Terutama karakter para tokoh.

Sebagai wujud cerminan kehidupan nyata, saya rasa sudah semestinya tokoh yang tampil dalam sebuah cerita memiliki sisi-sisi yang membuatnya tampil manusiawi. Kalau nggak berupa cerita yang menjadi latar atau alasan mengapa tokoh tersebut memiliki karakter demikian, setidaknya ada penggalan-penggalan yang membuat pembaca (baca: saya) melihat tokoh tersebut bukan hanya berupa sosok satu dimensi yang bergerak dengan kaku dalam cerita.

Beruntung, karakterisasi penokohan Efendi cenderung menampilkan gambaran utuh tokoh-tokohnya. Paling tidak para tokoh yang berkaitan langsung dengan cerita. Misalnya saja Lulu.

Sedari awal pembaca dibuat bersimpati pada Lulu karena perundungan yang terjadi padanya. Tapi ketika cerita bergulir, pembaca melihat bahwa Lulu memiliki kekurangannya sendiri. Dia punya ketakutan dan kelemahan, sama seperti kita.

Baca juga: Khokkiri Layaknya Dark Chocolate yang Menawarkan Kisah Manis Sekaligus Gelap dan Pahit

 

 

Happily Ever After et Le Critique

Setelah membaca novel-novel Efendi, saya mulai hafal dengan gaya penulisan dan cerita perempuan kelahiran bulan Januari ini; Efendi cenderung menuliskan cerita dengan tema persahabatan dan keluarga di antara kisah-kisah percintaan para tokohnya. Dan meski setelah menutup novel ini saya tidak menghadapi perasaan kosong seperti saat membaca Tomodachi—bukan dalam artian buruk, hanya saya nggak tahu harus merasakan apa setelah sampai di halaman terakhir. Bisa jadi saya juga karena punya ekspektasi tinggi pada Efendi setelah membaca Truth or Dare, Melbourne dan, terutama, Unforgettable.

Happily Ever After lumayan mengobati kekosongan yang saya rasakan setelah menamatkan Tomodachi. Walau ada beberapa hal yang masih membuat saya penasaran dan mulai mereka-reka cerita dan menebak-nebak jalan cerita—dan membuat saya kembali membaca Happily Ever After. Winna Efendi… apa kamu sengaja melakukan ini?

Although… I kind of miss cita rasa Efendi dalam Unforgettable, yang mematahkan putaran cerita khas Efendi. Sesekali rasanya seorang penulis perlu mengambil "jalan" berbeda dari yang biasa diambilnya.

 


Akhir Kata untuk Happily Ever After

Saya setuju tentang pengertian kebahagiaan yang ada di belakang blurbs, juga yang menjadi pilihan Lulu. Bahwa kebahagiaan adalah tentang pilihan dan keberanian terhadap yang kita inginkan untuk hidup kita; apakah sedih atau bahagia. Dan bagaimana dengan akhir yang dipilih Lulu—apakah kebahagiannya terletak pada pembalasan dendam pada Ezra dan Karin? Atau apakah dia akan kembali pada Ezra?

Temukan jawabannya di lembar demi lembar Happily Ever After Wink

Baca juga: Love Dust (Season 1 and 2) - Pilihan Itu Bukanlah Sesuatu yang Mudah

 

 

Happily Ever After Direkomendasikan untuk....

Pecinta bacaan bertema remaja, tapi nggak melulu soal cinta.

Pembaca yang suka cerita mellow nan biru, tapi tetap menghangatkan hati.

Dan, tentu saja, WinnAddict Laughing




Your book curator

N






Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Review Buku Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Menikah - Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Masyarakat


Widyoseno Estitoyo: Pebisnis Muda, Aktivis Sosial, Dan Pekerja Seni


Ilana Tan, Penulis Misterius dan Perkembangan Karyanya


True Friend Never Die (Meung Gu): Arti Sahabat yang Sebenarnya


Blinded by Love - Karena Cinta Sungguh Membutakan


Marugame Udon - Delicacy in Simplicity


Taman Bungkul - Oase dan Kebanggaan Warga Surabaya


Pantai Pelang


WTF Market Kembali All Out Untuk Surabaya


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Tujuh)


Ode Untuk Si Bungsu


Halusinasi