I Love You; I Just Can't Tell You

25 Jun 2015    View : 5014    By : Niratisaya


Ditulis oleh Alvi Syahrin
Diterbitkan oleh  GagasMedia
Disunting oleh Widyawati Oktavia & Yulliya
Aksara diselaraskan oleh  Ayuning
Penataan letak oleh    Gita Ramayudha
Desain dan ilustrasi sampul oleh  Levina Lesmana
Penyelaras desain sampul oleh    Agung Nugroho
Ilustrasi isi oleh    Ida Bagus Gede Wiraga
Diterbitkan pada    Mei 2015
Genre fiksi, young adult, romance, drama, family, slice of life
Jumlah halaman    326
Nomor ISBN    978-979-7808-05-1
Harga    IDR55.000,00
Koleksi    Perpustakaan Pribadi


Ini kisah cinta pertama.

Cinta yang polos dan meragu,
menjebakmu dalam momen katakan-tidak-katakan-tidak,
membuatmu bertanya, “Apakah rasa ini akan sepadan dengan hasilnya?”


[Daisy]
Aku telah jatuh cinta. Untuk kali pertama.
Cinta yang membuat harapku terbang ke angkasa.
Namun...
Akankah dia menyadari hadirku kala aku sendiri ingin bersembunyi, dari tubuh remaja tujuh belas tahun yang tak tumbuh sebagaimana remaja lainnya?

[Alan]
Tidak semua laki-laki sama, yakinku.
Tetapi... Mengapa...
Semakin aku mencoba, semakin jalan terasa berselisih?

[Ve]
Aku sudah tahu betapa cinta hanya bisa menyisakan luka.
Luka dan rahasia.
Rahasia yang bahkan kepada sang penulis kusampaikan,
“Tolong jangan beri tahu Alan dan Daisy. Juga pembacamu.”

Ini kisah cinta pertama...
yang membuat hati kecilmu selalu bertanya,
“Apakah cerita ini bisa membawa bahagia?”

 

Ada beberapa hal yang membuat saya mempertimbangkan sebuah novel untuk jadi koleksi saya. Yang pertama adalah cover yang menarik, kemudian blurbs di cover belakang yang langsung nge-hook perhatian saya, dan halaman pertama.

I Love You; I Just Can't Tell You

Saya sempat mengikuti acara bincang-santai bersama Alvi Syahrin, empu novel I Love You I Just Can’t Tell You, dan kala itu saya berjanji akan segera membaca novel tersebut. Yang semestinya saya beli akhir bulan ini. Tapi berhubung Syahrin membagikan halaman pertama novelnya, yang membuat hati saya jatuh sejatuh-jatuhnya. Nggak berpikir lama, saya segera memesan lewat toko buku online, karena kala itu novel I love You I Just Can’t Tell You belum tersebar secara merata di toko-toko buku. Walhasil, saya menggeser daftar bacaan saya dan menempatkan novel Syahrin ini di daftar sepuluh-buku-buku-yang-musti-segera-saya-baca.

Alasan lain kenapa saya dengan impulsifnya mengubah reading-list saya adalah gaya menulis Syahrin di novel I love You I Just Can’t Tell You sempat mengingatkan saya pada gaya menulis Banana Yoshimoto. Khususnya novel Goodbye Tsugumi yang agak satir untuk ukuran novel mengenai remaja dan masa perkembangan mereka. Thus, I have expectation towards this particular novel.

Halaman pertama Syahrin dan gaya menulisnya di sana yang mengingatkan saya pada Yoshimoto-lah yang akhirnya membuat saya nggak terlalu memusingkan cover novel I love You I Just Can’t Tell You, yang menurut saya nggak terlalu eye-catching seperti kebanyakan desain cover ala GagasMedia.

So, did Syahrin’s novel fulfill my expectation?

Let’s find it out together, Artebian.

Baca juga: People Like Us - Sekelumit Kisah Sendu yang Manis

 

 

I love You I Just Can’t Tell You et L'histoire

Novel ini berkisah tentang tiga orang tokoh utamanya yaitu Daisy Yazawa, Alan Atmadjaya, dan Violetta atau yang lebih sering dipanggil Ve.

Daisy diceritakan sebagai remaja SMA dengan penyakit misterius yang membuatnya tak bisa tumbuh dan berkembang layaknya seorang remaja perempuan pada umumnya.

Penyakitnya itu membuat Daisy harus menyembunyikan dirinya sendiri dari orang-orang terdekatnya, termasuk teman dan kekasihnya. Nggak ada seorang pun yang tahu mengenai kondisi Daisy ini kecuali orangtuanya, yang kini hanya tinggal sang Ibu, atau Ibuk—sesuai dengan cara Daisy memangilnya. Dan Daisy sendiri nggak pernah berniat untuk memberitahukan keadaannya pada orang lain.

 Boy and Rain
gambar diambil dari ilovehdwalpapers.com

Sampai akhirnya dia bertemu dengan Alan, cinta pertama Daisy.

Alan adalah seorang mahasiswa Teknik Informatika yang memiliki kepribadian 180 derajat berbeda dari Daisy. Jika Daisy begitu terbuka dan cukup cablak, Alan justru memiliki karakter yang tenang menjurus ke cool dan cuek. Inilah alasannya mengapa Alan nggak mengingat Daisy, sedangkan gadis itu bisa dengan mudah mengenali sosok Alan—bahkan ketika pemuda itu memunggunginya. Sementara itu, Alan harus datang ke rumah makan Ibuk, panggilan Daisy pada ibunya, untuk mengenali siapa Daisy. Meski karena perkenalan secara langsung mereka pada akhirnya Alan hanya mengenal Daisy sebagai remaja menyebalkan yang menyusup ke dalam kelasnya dan membuat dirinya serta Ve, rekan dalam satu kelompoknya, kesusahan.

Namun, gara-gara sikap nekat Daisy, yang menyusup ke kelas Alan karena ingin mengenal sosok pemuda itu lebih dekat, keduanya dan Ve menjadi lebih dekat.
Akan tetapi, kedekatan ketiganya itu justru memancing rahasia-rahasia yang ingin mereka simpan rapat-rapat.

Apakah mereka berhasil menyimpan rahasia-rahasia itu, sementara kedekatan di anatar ketiganya memperkecil kemungkinan tersebut? Dan apa saja rahasia yang disembunyikan oleh Daisy, Alan, dan Ve yang mengikat ketiganya dalam kerumitan takdir?

Baca juga: Hujan dan Pelangi

 

 

I love You I Just Can’t Tell You et Le Critique

Nah, kamu sudah tahu kalau halaman pertama I love You I Just Can’t Tell You membuat saya jatuh hati. Tapi tentu saja, karena ini sebuah novel, bukan cerpen, sudah seharusnya saya harus memperhitungkan halaman-halaman berikutnya plus perkembangan cerita yang dibawakan oleh Syahrin.

Pertama-tama, saya suka dengan ide cerita tentang seorang gadis yang nggak bisa dewasa. Let’s admit this, Artebianz, masa remaja adalah salah satu masa yang paling sering diulik dan dijadikan setting serta bahan cerita oleh penulis bukan hanya karena banyak dari mereka yang sudah melalui masa ini, tapi juga karena masa remaja selalu menarik untuk diulik.

Ambil contoh kalimat pembuka Daisy untuk ceritanya:

Usiaku enam belas tahun, kelas sepuluh, dan belum dewasa.
Maksudku, belum dewasa dalam arti sebenarnya.
Seperti, tinggiku yang tak pernah meningkat—berhenti di angka 147 cm. Tubuhku yang dibungkus oleh daging tipis dan tulang kurus. Menjadikanku gadis paling mungil di kelas. Atau, mungkin, satu sekolah. Tetapi, ini bukan masalah utamanya.
Masalahnya—sebenarnya, aku malu dan benci mengakui ini—payudaraku belum tumbuh. (hal. 4)

Sementara negara sibuk dengan kurs tukar dolar yang naik dan konflik dalam negeri yang nggak berkesudahan, salah satu remajanya justru pusing memikirkan dirinya sendiri. Tapi inilah khas remaja yang berusaha unjuk gigi sambil menemukan jati diri. Termasuk ribut-ribut membicarakan cinta pertama yang dikiranya cinta sejati. Inilah yang berusaha diungkap oleh Syahrin lewat sosok Daisy; tentang betapa penuh rasa penasaran dan polosnya seorang remaja. Mereka hanya tahu apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang mereka inginkan.

Dalam kasus Daisy itu adalah kedewasaan secara fisik. Atau lebih tepatnya eksistensi diri sebagai seorang perempuan utuh. Dan eksistensi itu ada dalam wujud payudara yang tidak tumbuh dan tubuh mungil. Dua hal tersebut, dalam pikiran Daisy, menghalanginya untuk mengaktualisasikan diri dan mendapatkan pengalaman serupa seperti teman-temannya.

Laksmi Yadav(Laksmi Yadav - gambar diambil dari mirror.co.uk)

Kehadiran sosok Alan lewat sosoknya yang misterius dan sikapnya yang di mata Daisy terbilang gentleman (hal. 8), membuat Daisy mengalihkan wujud eksistensinya. Dari payudara dan pertumbuhannya yang terhambat, kepada Alan.

Alan….
Mendengar nama itu seolah ada udara segar berembus di sekitarku, menyusup pelan ke paru-paruku, menyelimutiku dengan ketenangan. Saat aku mengembuskan napas, air mata yang mengalir pelan di pipiku terasa ringan. Aku mengusap air mata itu, dan aku percaya, Kak Alan berbeda. (hal. 73).

Bisa jadi, bagi Daisy, mengalihkan fokus dari pertumbuhannya yang terhambat kepada Alan yang lebih nyata lebih mudah. Dengan Alan sebagai objek, Daisy bisa menyelesaikan dua perkara dalam hidupnya: 1) anggapan teman-temannya bahwa Daisy belum dewasa dan nggak akan mendapat kekasih; dan 2) Daisy bisa menenangkan dirinya—bahwa walau tidak memiliki fisik layaknya remaja lainnya, masih ada seseorang yang menerimanya.

I like this kind of theme, terutama ketika berkaitan dengan dunia remaja. Karena berbeda dengan cerita yang lebih dewasa, remaja adalah figur yang berada di antara masa kanak-kanak dan dewasa. Satu fase yang mengharuskan si remaja untuk menggunakan logikanya, sementara di sisi lain dia masih terpengaruh sikap impulsive dan spontannya.

Pun, demikian pula dengan tema yang dibawa oleh sosok Ve lewat ceritanya. Jujur, dengan gaya penceritaan Syahrin terhadap Ve dan bagaimana gadis itu memandang Daisy… saya sempat mengira Ve memiliki orientasi yang berbeda. Tapi, Syahrin mematahkan hipotesa dan dugaan saya. Apa dan bagaimana konflik Ve, serta apa kaitannya dengan judul novel I love You I Just Can’t Tell You?

I won’t tell you in this article, Artebianz. Muehehe…. Laughing

Yang pasti dua tokoh tersebut menghadirkan cerita yang membuat saya cukup terhibur sepanjang 326 halaman.

However….

Yang menjadi permasalahan adalah ketika semua konflik, termasuk dari tokoh-tokoh lainnya, bermunculan yang bisa jadi mempermudah terjadinya kesalahan di editing atau mengendurkan penguasaan cerita:

Dua puluh satu meja komputer berjejer dalam tiga kelompok—tujuh di kiri, tengah, kanan, dipisahkan beberapa meter. Kuhampiri David, seorang kawan sejak semester satu, sedang mengoperasikan komputer nomor 19, pojok kiri paling belakang. Bagus, kesempatanku untuk…, “Ali, tukeran jadwal ya. Lagi ada urusan nih.” Kutepuk pundaknya setelah itu.
Ali berbalik, mengerutkan keningnya. “Urusan apa?” (hal. 138)

Saya mencoba membaca beberapa kali pada halaman ini dan beberapa halaman sebelumnya, tapi hingga halaman-halaman berikutnya saya masih belum menemukan jawaban siapa si misterius Ali ini.

Atau dia saudara kembar Alvi?

Hehe… just kidding.

Berkurangnya penguasaan cerita terlihat ketika konflik antara Gilang dan Alan muncul karena Daisy. Alih-alih memunculkan Gilang sebagai wakil tokoh remaja broken home secara utuh, seperti yang pada awal kehadirannya dalam cerita, pada perkembangannya, Syahrin terasa seolah menghadirkan Gilang hanya sebagai alat plot untuk memunculkan konflik antara Daisy, Alan, kemudian Ve—lewat seorang tokoh lain yang berkaitan erat dengan Gilang.

Hal ini makin terasa pada halaman 253:

“Aku sudah memutuskan akan ke Malang. Tinggal sama Kakek-Nenek. Untuk seterusnya.”
Daisy membeku dalam duduknya. Tidak benar-benar membeku, karena ada sesuatu yang mencair di bola matanya.
“Seterusnya?”
Gilang mengangguk. “Aku minta maaf Daisy.”

Setelah sebelumnya dengan cepatnya mengalihkan perhatiannya dari Alan, setelah setahun stalking Alan, hanya dalam beberapa detik (hal. 125-126), Daisy dan Gilang putus. Dengan kejadian yang cukup serius sebelumnya dan menghilangnya Gilang selama seminggu, rasanya aneh kalau Daisy dan Gilang bisa putus semudah itu. Ada beberapa alasan logis yang terlontar dalam benak saya, bahwa bisa jadi Gilang sebenarnya serius dengan Daisy dan dia pengin memulai hidupnya dari awal—termasuk hubungannya dan Daisy—dengan tinggal bersama kakek dan neneknya. Atau mungkin Gilang sadar bahwa dia nggak bisa mempermainkan Daisy dan sekarang mencoba untuk memperbaiki diri.

Tapi ada yang masih mengganjal di benak saya. Terutama terkait kakak Gilang yang meski terkesan lepas, ternyata malah mengikat lingkaran cerita dalam seri Love Cycle ini.

Mungkin seharusnya permasalahan dalam cerita dibuat sedikit lebih sederhana dan terfokus, sehingga pergerakan masing-masing karakter terasa lebih luwes.

Mengenai gaya penceritaan Syahrin sendiri, saya merasakan perbedaan yang cukup menonjol dari novel pertamanya. Dan di antara semua, penulis kelahiran Januari ini pandai menggunakan diksi untuk menusuk-nusuk serta membangkitkan emosi pembaca. Misalnya seperti pada kutipan berikut:

Kemudian, kusadari bahwa cinta yang sesungguhnya tidak perlu menggebu-gebu. Cinta yang sesungguhnya itu menenangkan.
Seperti ini. (hal. 239).

Dan… meski sedari awal saya berharap sepenuh hati bahwa novel ini akan beraroma surreal seperti novel Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya setelah membaca halaman pertamanya, lalu setelah membalik halaman demi halaman… dan menemukan bahwa Syahrin ternyata menuliskan I love You I Just Can’t Tell You secara real, saya nggak akan lagi mengeluh. Karena Syahrin mampu menghadirkan cerita yang cukup manis tanpa memberikan kadar glukosa yang kelewat tinggi.

Baca juga: Happily Ever After - Mencari Makna Kebahagiaan Abadi

 

 

Akhir Kata untuk I love You I Just Can’t Tell You

I do think Syahrin could develop more, just like he wrote in his book (I love You I Just Can’t Tell You) on Surat dari Penulis page. And I just can’t wait to see and read his development.

Let’s cycle our love and not waste it, Artebianz!

 




Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Review Buku Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Perempuan, Terlahir Sebagai Penghuni Neraka


Alvi Syahrin - Semua Berawal Dari Mimpi Dan Kemudian Menjadi Nyata


1001 Masjid di 5 Benua: Melancong dari Masjid ke Masjid


The Swimmer (Fak Wai Nai Kai Ther): Ketika Persahabatan Menjadi Dendam


Danilla dan Kalapuna


Baegopa Malang - Ada Harga Ada Rasa


Patbingsoo - Yang Gurih-Manis Ala Korea di Surabaya


Pantai Konang: Pesona Di Balik Gunung Trenggalek


Literasi Oktober: GRI Regional Surabaya - Menimbang Buku dalam Resensi


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Kedua)


Tiga Puluh Tahunan (Part 2 - End)


Tertinggal, Tertanggal