#GIRLBOSS - Bagaimana Menjadi Bos (Cewek) yang Nggak Ngowos

22 Oct 2016    View : 3445    By : Niratisaya


Ditulis oleh  Sophia Amoruso
Diterbitkan oleh      Noura Books
Diterjemahkan oleh  Rahayu Wilujeng Kinasih
Disunting oleh      Kiki Sulistiyani
Aksara diselaraskan oleh  Lian Kagura dan Novia Fajriani
Aksara ditata oleh  Kaezamasanip
Desain sampul oleh  Iggrafix
Diterbitkan pada  November 2015
Genre  Nonfiction, motivation, autobiography, inspiration, self-development
Jumlah halaman  280
Harga
 IDR59.000,00
Koleksi  Perpustakaan Pribadi

 

 

Delapan tahun lalu, dia bukan siapa-sapa. Dikeluarkan dari sekolah, berganti-ganti pekerjaan, mengorek sampah untuk mencari makanan, sampai-sampai pernah menjadi pengutil profesional di supermarket demi bertahan hidup. Namun kini, Sophia Amoruso adalah perempuan muda, pendiri, CEO, dan direktur kreatif Nasty Gal, toko fashion online beromset jutaan rupiah.

Bisnis Sophia dimuai di eBay, dari menjual buku bekas sampai baju-baju vintage yang dia kumpulkan dari tukang loak. Jatuh bangun dia alami, tetapi di bidang itulah akhirnya dia menemukan kecintaannya. Dia pun mampu membuat situs sendiri, nastygal.com, yang dinobatkan majalah Inc. menjadi toko retail dengan perkembangan tercepat di Amerika.

Sophia membuktikan bahwa menjadi sukses bukan tentang seberapa populer dirimu di sekolah atau kampus. Keberhasilan adalah tentang kerja keras, melakukan hal yang kamu sukai, dan memercayai instingmu.

Dalam buku ini, Sophia dan para #GIRLBOSS lainnya tak hanya bercerita kisah suksesnya, tetapi juga membagi rahasia dan tips menjadi #GIRLBOSS sesungguhnya.

 

Sejak dimulainya pergerakan feminisme pada tahun 1785, perempuan berusaha menemukan tempatnya dalam masyarakat. Bukan sebagai tokoh utama di bidang domestik, tetapi sebagai salah satu pemeran aktif di ruang publik. Kini, lebih dari 200 tahun kemudian, segala tuntutan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki perlahan mulai terwujud. Artebianz bisa melihat polisi wanita, pengacara wanita, wanita yang menjadi anggota dewan legislatif, dan profesi lainnya yang biasanya didominasi oleh kaum laki-laki.

Yang menjadi tantangan bagi kaum perempuan di abad millennium kali ini, menurut saya, adalah bagaimana mereka membuktikan bahwa perempuan juga memiliki potensi yang sama seperti laki-laki—apa pun profesi yang mereka geluti. Salah satu di antara perempuan itu adalah Sophia Amoruso.

Baca juga: Agility Bukan Singa yang Mengembik

 

 

Amoruso and #GirlBoss: “Be Yourself, Everyone Else is Taken” – Oscar Wilde

Buku #GirlBoss dibuka dengan kronologi kehidupan sang Girl Boss, Sophia Amoruso, yang dengan singkat menceritakan tiap peristiwa penting dalam kehidupan Amoruso. Mulai dari kelahirannya (1984) sampai evolusi kehidupannya menjadi direktur utama Nasty Gal, sebuah toko online yang dirintis oleh Amoruso karena penyakit hernianya.

Kedengaran aneh memang, tapi itulah asal muasal Amoruso membangun kerajaan bisnisnya.
Bicara mengenai keanehan, menurut saya, Amoruso sendiri adalah sebuah anomali—salah satu anomali, kalau kita mempertimbangkan jumlah penduduk di dunia—di tengah kehidupan milennium penduduk Amerika umumnya yang bisa dengan mudah bersandar kepada kenyamanan yang ditawarkan oleh kehidupan. Tetapi, wanita yang lahir tepat di hari Jumat Agung (hal. 3) ini malah melawan kenyamanan yang ada.

Amoruso

Reaksi pertamaku terhadap hampir sema hal dalam hidupku adalah “tidak”. Bagiku untuk dapat sepenuhnya menghargai sesuatu, aku harus menolaknya terlebih dahulu….. Pada usia 17 tahun, aku lebih memilih kaki yang berbulu daripada hak tinggi dan menjalani cara hidup higienis yang bisa disebut sebagai “crust punk”. Aku mengenakan pakaian pria yang kubeli di Wal-Mart. (hal. 16)

Ketika sebagian besar perempuan ketakutan dengan kaki-kaki (mungkin juga kedua tangan) berbulu, Amoruso justru memelihara mereka—menerima keadaan dirinya yang dianugrahi gen berambut subur dengan lapang dada. Dia tidak merisaukan tanggal dan/atau segala macam perawatan yang bisa menumbangkan bulu-bulu di tubuhnya. Untuk fashion pun, naga-naganya, Amoruso berusaha menemukan gayanya sendiri ketimbang pergi ke Macy’s (Matahari kalau Indonesia) dan mengenakan apa pun yang sedang in saat itu.

Amoruso tampak nggak terlalu merisaukan apa yang dianggap orang-orang mode atau normal. Dia hanya ingin menemukan dirinya sendiri di antara suara-suara yang menyepakati hal-hal normal (dan nggak normal) dan semua yang baik (juga buruk).

Tentu saja, harga untuk menemukan diri dan karakter kita nggak ‘murah’. Di mata masyarakat—yang diwakili oleh orangtua dan guru Amoruso—wanita yang di tahun 2016 ini berumur 32 tahun ini dianggap sebagai anak yang bermasalah ketika kanak-kanak dan pemberontak saat dewasa. Sementara itu, bisa jadi yang diinginkan oleh Amoruso hanyalah memahami dan dipahami oleh sekitarnya. Bukan sekadar mengikuti perkataan dan perintah orangtua dan para orang dewasa lainnya. Dan ketika nggak ada satu pun yang mau memahami atau paling nggak menjelaskan apa yang nggak dimengerti oleh Amoruso, dia memilih untuk melawan arus.

Dari sisi internal Amoruso sendiri, dia harus ‘menghancurkan’ dirinya, menabrakkan setiap pemikiran yang muncul dalam benak maupun otaknya ke stigma dan dogma yang diamini oleh masyarakat serta dipraktikkan bertahun-tahun.

Saat semua berjuang untuk menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang yang tinggi, Amoruso memilih untuk meninggalkan bangku sekolah saat SMA tanpa menyelesaikannya. Ketika mereka yang seusia Amoruso masih tinggal dengan orangtua atau memilih tinggal bersama teman, wanita yang berdomisili di San Diego, California, Amerika, ini justru nggak memiliki tempat tinggal tetap. Nggak hanya itu, Amoruso juga nggak memiliki pekerjaan—dia seorang pencuri, dan saat berhasil mendapatkan satu pekerjaan, dia menjalaninya dengan malas-malasan (hal. 13).

Dari kacamata umum, sikap Amoruso ini terkesan menyia-nyiakan waktu dan kehidupan. Namun, di balik sikap apatisnya terhadap segala yang normal, saya yakin Amoruso memiliki pemikiran kritis. Kalau nggak, mana mungkin dia akan melakukan apa yang dilakukannya. Sebab, nggak punya tempat tinggal dan pekerjaan—tapi malah ‘berprofesi’ sebagai pencuri—semua ini saya rasa adalah sebuah pilihan. 

AmorusoSource: kayleighwatsonillustration.com

Saya berpendapat demikian, karena Amoruso segera menemukan apa yang diinginkannya, walau toh diawali dengan hal yang konyol: penyakit hernia dan keinginan memiliki asuransi.

Seandainya Amoruso adalah perempuan malas, saya yakin dia akan memilih untuk menggantung diri kepada orangtuanya nggak hanya menumpang tinggal. Tetapi nggak, hernia yang ia derita mendorongnya agar mempunyai asuransi agar bisa menyingkirkan penyakit dalam kemandirian. Amoruso pun memutar otak dan mencari pekerjaan yang benar-benar membuatnya bersemangat. Alih-alih meraih koran atau menjelajahi laman demi laman di Internet, ia mencari dalam dirinya sendiri.

Amoruso paham benar bahwa ia bukan penyuka trend fashion. Bahkan, jika memungkinkan, ia lebih suka menciptakan gayanya sendiri dengan membeli dari toko-toko penjual pakaian bekas, khususnya bergaya vintage.

Saat aku remaja, aku lebih memilih baju bekas dibandingkan baju baru. Pilihan yang membingungkan ibuku. Ibuku menanggung derita berkunjung ke pusat perbelanjaan lokas berkali-kali dengan usaha sia-sia untuk mendandaniku. Saat aku memegang sebuah atasan seharga $50, aku berkata padanya bahwa itu “tidak sepadan.” (hal. 25)

Penerimaan atas dirinya yang berbeda dan pengetahuan yang baik atas seleranya dirinya, walau sempat membuatnya berfriksi dengan lingkungan sekitarnya, pada akhirnya membawa Amoruso kepada keberhasilan. Kini, ia bukanlah seorang pengangguran yang bekerja hanya demi mendapatkan asuransi dan menjaga perutnya tetap terisi. Amoruso bekerja karena gairah yang dimilikinya atas usaha yang dirintisnya.

Baca juga: POPCON Asia di Surabaya

 

 

Amoruso and #GirlBoss: “Mengapa Menyesuaikan Diri Jika Kamu Dilahirkan untuk Mencolok”—Dr. Seuss

Ini bukan kali pertama saya membaca buku yang berkisah tentang kehidupan seorang tokoh—seorang perempuan tepatnya. Sebelumnya, saya pernah membaca tentang Frieda Kahlo dan, yang mungkin memiliki ‘aroma’ sama dengan kisah Amoruso, Girls & Tech.

AmorusoTentu saja, seperti kebanyakan buku autobiografi, #GirlBoss menceritakan kehidupan Amoruso dan keberhasilan dari ‘sekadar’ pemilik toko retail daring dengan tingkat perkembangan tercepat menjadi seorang CEO. Namun, apa yang membuat #GirlBoss berbeda adalah bagaimana Amoruso menceritakan kehidupannya berikut segala warna yang ada di dalamnya—kegagalan, kesedihan, kehampaan, kebahagiaan, semangat, renjana…. Amoruso mengemasnya dengan manis dan lewat gayanya bercerita yang terbuka sekaligus lepas.

Lebih dari itu, yang membuat saya tertarik adalah kejujuran Amoruso dan harapannya kepada para perempuan di dunia….

Aku tak ingin kamu mengagumiku, #GIRLBOSS, karena semua yang kamu kagumi dapat menghambatmu. Energi yang kamu habiskan pada kehidupan seseorang lebih baik kamu gunakan untuk dirimu sendiri. Jadilah idola untuk dirimu sendiri. (hal. 13)

 

Amoruso seakan nggak ingin membanggakan dirinya atau menunjukkan jalan hidupnya yang digadang-gadang serupa Cinderella. Sebaliknya, dia mendorong setiap orang—khususnya perempuan—mencari dirinya sendiri dengan karakter khas masing-masing demi mendapatkan kekuatan serta keberhasilan dalam menjalani hidup.

Keistimewaan lain yang saya suka adalah bagaimana Amoruso menyelipkan kutipan-kutipan yang senada dengan judul bab atau subbab yang ditulisnya. Misalnya seperti dua kutipan dari Wilde dan Dr. Seuss yang saya gunakan di artikel ini.

Tentu saja, karena #GirlBoss yang saya adalah buku terjemahan, kredit serupa juga saya berikan kepada Noura Books selaku penerbit dan para tim di balik buku terbitnya #GirlBoss hingga sampai di tangan saya. Kepada penerjemah, penyunting, dan penyelaras aksara saya ucapkan terima kasih karena menghadirkan #GirlBoss berikut feel dan tone Amoruso Laughing

#GirlBoss nggak hanya diperuntukkan bagi mereka yang ingin memulai usaha dan membutuhkan inspirasi sekaligus motivasi. #GirlBoss juga cocok untuk Artebianz yang sedang membutuhkan boost mood dan semangat dalam menjalani hidup. Di era yang menuntut kecepatan dan ketanggapan untuk setiap hal yang muncul di hadapan kita, terkadang kita butuh sandaran—seseorang atau sesuatu yang bisa membantu kita menyetok semangat untuk melewati setiap rintangan demi mendapatkan impian dan cita-cita kita.

Kondisi dan situasi Amerika dengan Indonesia memang berbeda. Namun, itu bukan alasan bagi kita, Artebianz, untuk menyerah dan menasbihkan Amoruso sebagai salah satu demigod yang nggak tersentuh. Salah satu prinsip yang saya pegang dan berusaha saya tanamkan dalam diri saya adalah “harga satu manusia sama dengan manusia sedunia”. Jika Amoruso bisa melewati rintangan dalam hidupnya dan menemukan peran dan tempatnya di dunia ini, kenapa kita nggak?

Kita pasti bisa menemukan dengan cara kita masing-masing, Artebianz Smile

Baca juga: Adiwarna 2016: Refraksi - Changing Your Perspective

 

 

 

Love from your fellow book curator,

N

 


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Review Buku Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Takdir Dan Pertanda-Pertanda


Sabtu Bersama Bapak


Air Terjun Tumpak Sewu Lewat Goa Tetes Lumajang (part 2)


The Grand Budapest Hotel - Mereka Yang Layak Disebut


Alvi Syahrin - Semua Berawal Dari Mimpi Dan Kemudian Menjadi Nyata


Wakul Suroboyo - Berwisata Kuliner Khas Surabaya di Satu Tempat


my Kopi-O! Salah Satu Spot Nongkrong dan Ngobrol Asyik


Twist and Shout (Part 3-Final)


Insya Allah - Bila Allah Sudah Berkehendak


Diskusi Bersama Alvi Syahrin dan Ika Vihara: Wattpad dan Sastra Digital


Masa (II)


My Toilet Prince - Pintu Pertama