Ikan-Ikan dari Laut Merah - Ekspresi Tasawuf dalam Sastra Sufistik

05 May 2017    View : 4468    By : Ferry Fansuri


Ditulis oleh :  Danarto
Diterbitkan oleh :  DIVA Press
Diterbitkan pada :  Desember 2016
Genre :  fiction, philosophy, spiritualism
Jumlah halaman :  220
Harga :  IDR68.000,-
Koleksi :

 Perpustakaan Pribadi


Membaca cerpen-cerpen Danarto, termasuk dalam antologi Ikan-Ikan dari Luat Merah ini (pernah diterbitkan bertahun silam dengan judul Kacapiring), bila kita siap menerima ‘kasful wujud’ (penyingkapan Realitas) melalui seranai makna sufistik di balik teks-teksnya, akan mampu menghantar pikiran dan batin kita melesat jauh ke semesta asketisme yang tak terbatas sekat-sekat lahiriah apa pun. (Edi AH Iyubenu)

Ada yang bilang jika seseorang ngobrol dengan saya, itu artinya saya sedang mewawancarai orang itu. Sementara itu ada pula yang bilang, jika seseorang ngobrol dengan saya, itu tanda-tanda orang itu mau meninggal. “Nistagmus”

Apa yang sedang terjadi dengan langit? Mengapa hujan ikan seolah-olah disajikan kepada mereka? Hujan ikan sesaat yang meluncurkan ratusan ekor ikan dari langit, apakah ini berkah? Apakah ini bencana? “Lauk dari Langit”

Dari Laut Merah yang bergolak, saat itu ayah sedang tertidur pulas karena udara panas dan kelelahan, melompatlah seekor ikan besar ke dalam perahu kami. Saya kaget banget. Panjangnya dua lengan ayah yang terentang dan beratnya seberat tubuh saya… “Ikan-Ikan dari Laut Merah”

Danarto bisa disebut sebagai pelopor genre realisme magis di Indonesia, bahkan ketika istilah ini belum dikenal luas. Selamat menikmati cerpen-cerpen yang cenderung menggambarkan hal tak nyata tapi begitu unik dan memukau.

 

Mengenal seorang Danarto pasti dihubungkan sastra sufistik, cerita-cerita yang disuguhkan bertema religius sebagai ciri khasnya. Ini juga terlihat pada Ikan-Ikan dari Laut Merah sebuah antologi kumpulan cerpen, yang berisikan 18 cerita pendek dari jejak sastrawan kelahiran Sragen seangkatan Hamsad Rakuti atau Budi Darma ini. Ekspresi tasawuf Danarto dijabarkan dengan menempatkan nilai-nilai mistis secara simbolik dalam tulisan dan ini terlihat pada "Ikan-Ikan dari Laut Merah", "O,Yerusalem", atau "Pantura".

"Ikan-Ikan dari Laut Merah" dalam antologi yang diterbitkan Diva Press ini sebelumnya pernah terbit dengan judul "Kacapiring". Cerita pendek ini menceritakan seorang pemuda nelayan yang hidup pada zaman Kanjeng Rasul Muhammad SAW. Begitu cinta pada junjungannya, si nelayan muda ini rela mempersembahkan ikan tangkapannya. Bahkan saat pemuda pergi melaut didapatinya seekor ikan besar, yang meminta dipertemukan dengan Kanjeng Rasul. Terjadi dialog kecil antara nelayan muda itu dengan si ikan:

“Untuk apa kamu kepingin banget dipersembahkan kepada Kanjeng Rasul?”

“Supaya Kanjeng Rasul berkenan menyentuh tubuh saya.”

“Untuk apa sentuhan tangan Kanjeng Rasul?”

“Supaya saya bisa masuk surga.” (hal. 98)

Baca juga: Kuntum-Kuntum Surga - Para Wanita Mulia

 

Lain lagi dengan cerita "O,Yerusalem". Gambaran perjalanan spiritual Danarto seakan dicurahkan di sini. Cerita ini menyusuri Yerusalem, tanah suci yang diperebutkan Israel dan Palestina. Melihat masa lalu purba dan mistik dilakoni tokoh utamanya, ada pesan sakral dalam caritanya.

“Yerusalem milik kita bertiga. Jangan ada yang loba.” (hal. 148)

Pada "Pantura" dikisahkan banjir melanda kota-kota yang berjajar di jalur pantai utara macam Pati atau Kudus hingga terjebak macet memanjang. Sang tokoh membuat rakit untuk menyusuri banjir demi menemui Kiai Zaman, yang diyakini dapat membantu dia dan masyarakat pantura serta jawaban atas bencana ini. Ada kata-kata mutiara yang disematkan pada cerita ini.

“Dalam  hati saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas semua kebaikan kiai yang mumpuni ini. Kapan seoarang awam seperti saya bisa membalas kebaikan dan jasa-jasanya dengan tulus seperti selembar sajadah kepada sebongkah kepala yang sujud di atasnya.” (hal. 162)

Danarto selalu menyajikan kisah mencengangkan dan tidak mudah ditebak dalam cerpennya. Banyak ide-ide cerita yang digarap oleh Danarto, itu pun diambil dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di negeri ini. Sebuah tanggal Ahad 26 Desember 2004, tsunami yang meluluh lantakkan Aceh kala itu. Ia ceritakan apik dalam "Nistagmus", "Pohon yang Satu Itu" dan "Laut dari Langit".

"Nistagmus" menuturkan cerita seorang penulis obituari, profesi menuliskan riwayat hidup seseorang setelah ia meninggal dunia dalam surat kabar. Profesi yang langka karena harus bergelut masa lalu dan interview keluarga, tapi profesi ini membuat sang tokoh dihindari orang-orang sekitarnya. Jika dekat si penulis obituari seperti bisa meramal kematian masa depan.

Mereka berebut duluan menyerahkan selembar kertas di atas meja sehingga sekejap bertumpuk, berserak, lalu semuanya bergegas pergi meninggalkan saya tanpa sepatah kata diucapkan. Lembaran-lembaran apakah ini? Ternyata riwayat hidup dengan tanggal lahir dan

Masya Allah ... tanggal akhir hayat, Ahad, 26 Desember 2004…..

….Entah berapa lama saya pingsan.Waktu saya siuman,seluruh kota telah hancur lebur rata dengan tanah. Mayat-mayat berkaparan di seluruh kawasan…

…. Saya berdiri sendirian disamping sebuah kapal yang terdampar di tengah kota. (hal. 76)   

Baca juga: Filosofi Pisang Pada Hubungan Ayah dan Anak

 

Begitu juga pada kisah "Pohon yang Satu Itu" sebagai sebuah pohon kehidupan yang hidup setelah tsunami melanda. Tiba-tiba muncul di tengah kota yang luluh lantak diterjang tsunami Ahad tersebut. Berduyun-duyun orang berdatangan ke pohon itu untuk melihat keajaiban setelah bencana bahkan mendirikan tenda dan beranak-pinak sekitar pohon kehidupan itu.

“Untuk sejenak, kesedihan dilupakan. Hidup sebenarnya tidak sesederhana malapetaka tsunami. Hidup adalah sebuah pertanyaan panjang.” (hal. 83)   

Cerita tsunami ditutup dengan "Lauk dari Langit", berkisah tentang hujan ikan di bukit yang ditempati sebuah keluarga kecil. Hal ajaib yang tidak pernah mereka lihat, lauk yang melimpah dari langit. Apakah ini pemberian Tuhan bagi mereka? karena begitu melimpahnya ikan itu, rumah mereka penuh. Sang kepala keluarga mencetuskan ide brilian untuk menjual tapi saat turun dari bukit ke kota didapati sebuah kenyataan yang mengejutkan.

Begitu sampai di bibir bukit dan menatap kota di depannya, sang ayah dan anaknya jatuh terduduk, kekuatan mereka terlolosi.

Ikan yang dipanggulnya berserakan di tanah. Keduanya meraung sejadi-jadinyanya, kota telah musnah,ribuan mayat bergelimpangan di mana-mana. Hal 92

Tapi dari semua cerpen yang ditulis dalam antologi, ada cerpen 'panjang' dan ini yang saya suka dalam judul "Alhamdulillah, Masih Ada Dangdut dan Mi Instan". Ini layaknya berkisah sejarah Danarto yang hidup empat jaman mulai dari 1945,1949, 1965, sampai 1998. Tahun-tahun terjadinya kejadian bersejarah di republik ini. Danarto berandai-andai dirinya ada dalam empat masa ini dalam tubuh sebuah anak bernama Slamet.

Bocah ini menjelajahi masa lalu sampai masa depan, pertemuannya dengan founder negeri ini Soekarno sebagai pembawa surat dari Jendral Sudirman. Mengikuti pergerakan nasional mulai proklamasi kemerdekaan di Jakarta sampai agresi Belanda setelah melanggar perjanjian Renville. Bergelut dengan kerasnya kehidupan, menemukan tambatan jodohnya Sri Rejeki, membuka usaha dari sate sampai orkes dangdut. Tidak memiliki tempat tinggal permanen dari rela digusur sana digusur sini

Hari itu memang hari akhir warga untuk pindah karena batas waktu untuk tinggal dikolong tol sudah habis.Slamet,yang mencoba menghalangi-halangi petugas, diringkus. Ia diseret pergi.

Slamet, si kakek buyut yang gigih, 77 tahun (pada tahun 2007) terkapar pingsan….. ”Alhamdulillah, kita digusur lagi,” bisik Slamet setelah sadar. (hal. 208)

Umur 77 tahun itu sama dengan history Danarto dalam dunia penulisan, Danarto menjelaskan dengan gamblang peristiwa-peristiwa dalam kisah itu. Bak mini novel, pembaca diajak untuk menyelami getirnya perjalanan Slamet dari masa ke masa tapi tetap tegar.

    Bahkan Danarto sendiri berharap dan berdoa kepada penciptanya berkenan menambahkan sepuluh tahun lagi untuk bisa melihat dunia dan menuliskan yang tersirat dalam tersurat dalam cerpen-cerpen hingga para pembaca bisa mengalami hikmah dan langgam nilai melimpah ruah di dalamnya. Apakah anda siap menerima kasyful wujud (penyingkapan realitas)?

Baca juga: Generasi Global Dalam Industri Pertelevisian


Tag :


Ferry Fansuri

Ferry Fansuri adalah seorang travel-writer kelahiran Surabaya yang juga berprofesi sebagai fotografer dan entrepreneur.

Profil Selengkapnya >>

Review Buku Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Generasi Global dalam Industri Pertelevisian: Menelisik Makna di Balik


Prisca Primasari - Menulis Adalah Memberi Kado Pada Diri Sendiri


Love Dust (Season 1 and 2) - Pilihan Itu Bukanlah Sesuatu yang Mudah


The Fault in Our Stars - Secercah Kebahagiaan dalam Duka


Kun Anta - Humood Al Khuder: Jadilah Diri Sendiri


Marugame Udon - Delicacy in Simplicity


my Kopi-O! Salah Satu Spot Nongkrong dan Ngobrol Asyik


Wisata Madiun Bersama Keluarga


WTF Market Kembali All Out Untuk Surabaya


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Empat)


Pengelanaan Sempurna


Tertinggal, Tertanggal