Glaze - Galeri Patah Hati, Cinta, dan Tangis

26 Apr 2017    View : 2473    By : Niratisaya


Ditulis oleh :  Windry Ramadhina
Diterbitkan oleh :  Roro Raya Sejahtera
Disunting oleh :  Gita Romadhona
Aksara diperiksa oleh :  Tharien Indri
Letak ditata oleh :  Gita Mariana
Desain sampul oleh :  Dwi Anissa Anindhika
Ilustrasi isi oleh :  Windry Ramadhina
Diterbitkan pada :  Januari 2017
Genre :  fiction, romance, drama, mellow, slice of life
Jumlah halaman :  396
Harga :  IDR89.000,-
Koleksi :

 Perpustakaan Pribadi

 

Seperti glasir di permukaan keramik, aku merasakanmu sepanjang waktu.

Mataku tak lelah menatapmu, diam-diam mengabadikan senyumanmu di benakku.

Telingaku mengenali musik dalam tawamu, membuatku selalu rindu mendengar cerita-ceritamu.

Bahkan ketika kita berjauhan, aku selalu bisa membayangkanmu duduk bersisian denganku.

 

Glaze

Betapa saya kala itu amat tergoda dengan segala self-promotion yang dilakukan Windry Ramadhina. Tiap kali Ramadhina memamerkan ilustrasi buatannya—yes, Artebianz, she was the one who drew those beautiful illustrations—saya dibuatnya girang sekaligus penasaran bukan kepalang.

Artebianz yang sudah membaca, atau mengintip akun Instagram @beingfaye atau situs milik penulis pasti sudah tahu soal bakat lain Ramadhina ini. Tapi, di sini saya tidak akan membicarakan bakat lain milik perempuan yang berprofesi sebagai arsitek ini.

So, let’s talk about Glaze and how it turns my world up and down after I read the last page.

 

 

Glaze - Glimpse into Kara and Kale’s Gallery

Semua berawal dari sebuah telepon yang menarik Kara dari dunia kecilnya, dan Kalle dari kesibukannya. Sebuah telepon yang mengabarkan berita kematian, Eliot—kekasih Kara yang juga adik Kalle. Meski kehilangan orang yang sama, nyatanya efek yang timbul berbeda bagi keduanya. Kara begitu terpukul dan terpuruk saat dihadapkan pada kenyataan bahwa dia takkan bisa melihat atau mendekap kekasihnya, sementara Kalle … dia tak bisa merasakan apa pun.

Setelah sempat berpapasan di rumah sakit dan rumah Eliot, Kara dan Kalle tak berjumpa lagi. Atau setidaknya itulah yang dipikirkan Kalle. Namun, siapa sangka mereka berdua justru bertemu kembali dan ‘terjebak’ dalam satu ikatan yang tak mampu mereka terjemahkan, ketika Kalle harus membereskan barang-barang Eliot dari rumahnya.

Untunglah aku menemukan teh, gula, dan satu bungkus tepung sup instan yang tanggal kedaluarsanya sudah sangat dekat. Aku memasak sup, lalu menyeduh teh manis. Sebelumnya, aku harus mencuci panci, piring, dan gelas terlebih dulu. Bukan main. Padahal, aku hanya ingin mengantar kucing (hal. 62).

Kalle merasa dia tidak bisa melepaskan diri dari Kara. Bukan hanya karena Kara terlihat lemah selepas kepergian Eliot. Juga bukan hanya karena Eliot memintanya menjaga gadis itu. Kalle bisa saja memesankan makanan cepat saji. Dia bisa saja mempekerjakan si Bibi, orang yang biasa mengurus rumah Eliot. Dia bisa saja menolak. Namun, alih-alih menjauhkan diri dan menjaga jarak dengan Kara, Kalle justru secara pribadi melibatkan dirinya dalam kehidupan gadis itu.

glazeIlustrasi Glaze karya Windry Ramadhina. Source: windryramadhina.com

Kalle mencuci dan memasak untuk Kara, berlawanan dengan omelannya yang terdengar sinis. Semenjak hari itu, Kalle tidak bisa menyingkirkan Kara dari pikirannya, betapa pun dia berusaha melupakan gadis yang sering tampil berantakan itu. Membuat Kara, yang selalu teringat kepada Eliot dan larut dalam kesedihannya, kembali bersemangat menjalani hidup.

Aku memperhatikan sebutir air menetes dari ujung rambut di kening Kalle. Air itu berhenti di alisnya. Matanya berkedip. Matanya hitam dan pekat dan misterius. Sepasang biji indah tersebut terlihat lebih jelas kalau dia tidak mengenakan kacamatanya.
…..
Aku ingin menggambarkannya dengan keramik suatu saat nanti
(hal. 227).

Meski awalnya Kalle sama sekali tidak ingin berurusan dengan semua yang berkaitan dengan Eliot, bahkan terkesan ingin membuang semua yang mengingatkannya kepada adiknya, tapi Kalle justru tak bisa meninggalkan Kara yang selalu dipanggilnya “Kumal”. Sementara itu, dalam prosesnya melepaskan diri dari bayang kenangan Eliot, Kara menemukan rahasia kehidupan kekasihnya yang selama ini tak bisa ditembusnya (hal. 80).

Apa benar Kalle hanya menjalankan perannya sebagai kakak yang baik saat menjaga Kara?

Dan, sampai kapan Kara bisa menggantungkan diri kepada Kalle untuk melepaskan diri dari bayangan Eliot?

Baca juga: Senior (Run Phee) Cerita Hantu yang Manis Sekaligus Sadis

 

 

Glaze – Peeking into Kara and Kalle’s World

Kara

Aku menghitung. Loop. Chamois. Spons
Tanggal berapa ini? Hari apa? Kamis? Bukan. Eliot dimakamkan pada Rabu siang. Aku langsungg kembali ke Bogor sebelum sore (hal. 28).

Setelah berkenalan dengan perempuan-perempuan keras kepala milik Ramadhina di Last Forever dan Angel in the Rain, ‘bertemu’ dengan Kara yang ajaib rasanya cukup menyegarkan. Kutipan di atas cukup mewakili keajaiban Kara.

Tidak seperti kebanyakan perempuan yang peduli terhadap diri, waktu, dan tempat—Kara seakan hidup di planet yang berbeda. Sebuah planet bernama keramik, dengan hitungan yang berbeda dan cara mengingat yang unik. Alih-alih mengingat hari, atau melihat kalender, saat perlu mengingat hari; dia memutar memorinya mengenai momen terakhir yang dialaminya. Yang memberi petunjuk mengenai sifat unik Kara lainnya.

Kara hidup bukan berdasarkan rutinitas, tapi menuruti momen dan suasana hati. Seperti yang kebiasaannya saat membuat keramik. Kara bertanya pada tanah liat, “Kau ingin kuubah jadi apa? Pot? Piring? Mangkuk?” (hal. 175).

Tentu saja, sifat unik Kara ini tidak membantunya sama sekali di dunia nyata. Dia hanya tertarik dengan dunia glasir dan keramik, tapi tidak bisa membuat keramik yang sama. Walau memiliki pekerjaan, itu masih berkaitan dengan keramik dan hanya cukup untuk keperluan sehari-hari. Semua fakta ini memperburuk gambaran sosok Kara sebagai wanita masa kini. Namun … ini bukan berarti dia perempuan yang lemah dan bisa ditindas oleh Kalle.

Sebaliknya, ada kalanya Kalle tunduk dan tak berkutik di hadapan Kara.

Baca juga: Sebuah Wajah, Sebuah Rasa

swimmerSource: malina.pro

 

Kalle

Menang adalah satu-satunya hal yang berarti dalam bisnis. Ada yang berkata, kekalahan hanya kemenangan yang tertunda, bahwa kalah sama seperti mengumpulkan poin. Jika terakumulasi, kau akan menang juga. Hem, omong kosong (hal.40).

Kutipan di atas saya rasa cukup mewakili sosok Kalle. Kalau tidak, mungkin cara lelaki ini menjelaskan pengucapan namanya yang benar bisa membantu Artebianz.

… Kalle adalah nama Prancis. Dalam bahasa Prancis, l ganda dibaca y. Kalle dibaca Kay. Ka yang tegas seperti bunyi burung gagak dan y yang sama seperti jika kita bertanya, “Eh?”. Jadi, bukan Kale—karena Kale adalah nama tanaman. Dan, jelas bukan Kal-le—karena Kal-le tidak memiliki arti apa-apa (hal. 7).

Nah, jelaskan seperti apa sifat Ka-“Eh?” ini, Artebianz? Keras kepala, maunya menang sendiri, egois, pendendam, dan kalem.

Ya. Menurut saya Kalle adalah lelaki kalem yang berkepala dingin. Kalau tidak kalem, mana mungkin dia akan melakukan monolog batin, menjelaskan dengan tenang seperti apa namanya seharusnya diucapkan, tanpa ada penekanan atau tanda baca yang menyerukan rasa jengkel dan amarahnya. Kalle cukup berkepala dingin karena menyadari seandainya dia menuruti hatinya—mengucapkan apa yang dibatinnya, dia akan menyulut perang mulut dengan orang-orang di sekitar.

Namun segala pepatah dan petuah Kalle tentang dunia bisnis dan kemenangan luntur saat dia bertemu dengan Kara. Seorang gadis yang sama sekali tidak memikirkan untung-rugi dan kalah-menang, kecuali rasa puas diri dan hati. Satu hal yang sama sekali tidak dikenal Kalle, sebab sejak kecil dia terlatih untuk menjadi yang terbaik agar bisa mendapatkan perhatian kedua orangtuanya. Yang terfokus pada si bungsu Eliot, karena Eliot menderita penyakit bawaan lahir. But I won’t tell you what it is. Better grab Glaze and read it yourself Smile

Tapi, saya percaya Artebianz bisa membayangkan seperti apa akibat kondisi fisik Eliot terhadap kehidupan Kalle, dari dia masih kecil hingga dewasa?

Baca juga: The Chronicles of Audy 4/4

quote glazeSource: Twigora's Twitter account

Nah, sekarang mari kita mengobrol tentang Glaze dari sisi diksi dan style.

Secara diksi, Windry Ramadhina layak mendapat acungan empat jempol—delapan kalau Artebianz pinjam jempol teman di samping kamu.

Tidak ada bahasa yang terlalu melangit atau membunga-bunga saat Ramadhina menjabarkan kehidupan Kara dan Kalle sepeninggal Eliot, lengkap dengan duka dan luka membiru mereka. Tapi, perempuan yang dua kali menjadi nominator Khatulistiwa Literary Award ini menempatkan setiap diksi yang sudah dia pilih dengan baik. Di setiap lekuk, sudut, dan pojok cerita yang disusunnya. Sehingga dengan mudah pembaca larut dalam kisah Kara dan Kalle.

Saya sering tersenyum dan dengan mudah membayangkan sosok Kara saat menemukan istilah “awan gemuk kusam” di halaman 83. Kara menggunakannya untuk menggambarkan mendung. Atau waktu Kara dengan sengaja menjadikan ucapannya mubazir dengan menambahkan kata “sangat” tiga kali, tiap kali dia merasa teramat senang, atau teramat sedih.

Setelah membaca bagian sebelumnya, Artebianz bisa melihat betapa berbedanya karakter Kara dan Kalle. Namun, Ramadhina berhasil membuat Kara dan Kalle saling membuka diri dan menyembuhkan, sehingga mereka bisa saling memahami. Tentu saja nggak mudah mencapai pemahaman di antara keduanya. Bahkan, dibutuhkan nyaris separuh buku untuk sampai di titik itu. Dalam kasus Glaze, di halaman 157:

“Kalle.” Dia memanggilku lagi. “Apa kau merindukan Eliot?”

Sejujurnya? Tidak.

Seakan-akan, Kara bisa membaca pikiranku. Perempuan itu memberengut mendapati aku bungkam. “Tapi, kau kakaknya. Saat Eliot masih hidup, kau juga tidak pernah datang. Kenapa?”

Ck. Aku tidak perlu menjelaskan mengapa.

Saya suka ketika Kara yang ekspresif dan bergerak acak seperti bola pantul bisa membaca dan berkomunikasi dengan Kalle, tanpa memerlukan kata. Kara cukup diam, sambil mengamati ekspresi Kalle—saya rasa, dan dia sanggup membaca pikiran lelaki itu.

Baca juga: Happy—Bukan, Tapi Happen Ending

 

Di satu sisi, saya menyukai pace bercerita Ramadhina untuk Glaze yang pelan, khas cerita-cerita slice-of-life. Namun, di sisi lain, kelemahan gaya bercerita lambat ini saya sempat merasa bosan di awal cerita.

Buuuut!! If you’re reading Glaze right now—hold your finger and don’t close the book yet! As the slow pace that Ramadhina set since the beginning of the story won’t be useless. Sebab, Artebianz bisa menikmati interaksi Kara dan Kalle yang kadang petty and funny.

Gaya bercerita pelan Ramadhina ini juga sempat saya rasakan di Interlude. Namun, entah mengapa, saya merasa nyaman saat membaca Glaze hingga di halaman terakhirnya.

Walau saya juga sempat mengernyit saat membaca kalimat di halaman 153-154 ini:

Aku menikmati memperhatikan ekspresi sedih yang muncul di wajahnya sewaktu aku—secara sengaja—mengaduk kumpulan tomat, zaitun, paprika, dan sayur-sayuran yang dia tata secara susah payah.

Di luar itu, saya benar-benar menikmati Glaze!

Artebianz yang penasaran dengan rating membaca saya untuk cerita galeri patah hati Kara dan Kalle ini, kamu bisa menilliknya di sini. Kalau pengin pesan, hubungi @alifya_bookstore.

Yang sudah membaca Glaze, bagaimana pengalaman bacamu? Scroll your mouse and share your reading experience on the column bellow.

Baca juga: Mimpi Retak dan Angan-Angan di Biru Langit

 

 

 

Sincerely your book curator,
N


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Review Buku Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Om Telolet Om, Memanfaatkan Isu Viral Untuk Kemaslahatan Umum


H.O.S Tjokroaminoto: Priyayi dengan Profesi Teknisi Sekaligus Politisi yang Berjiwa Pendidik


Doodle Land, A Coloring Book for Grown-Up Children


Stand By Me Doraemon


Anti-Hero - Menjadi Pahlawan dengan Tidak Menjadi Pahlawan


Dari Surga Belanja Menjadi Surga Makanan, Kedai Tunjungan City


Omnivoro Ciputra World, Fusion Cafe untuk Para Omnivora


House Of Sampoerna: Sebuah Album Kenangan Kota Surabaya


The Backstage Surabaya (Bagian 2) : Mindset Seorang Founder StartUp


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Pertama)


Oma Lena - Part 4 (TAMAT)


Kerinduan yang Patah