Attack on Titan (進撃の巨人 - Shingeki no Kyojin)

22 Sep 2015    View : 13223    By : Niratisaya


Shikishima: “The true enemy is safety. What do you call animals that live inside fences in fear of wolves?”

Eren: “Cattle.”

Shikishima: “And what are you?”

Eren: “I’m…. I’m not!”

Shikishima: “Then fly…. You can only gain by letting go.”


Attack on Titan

Bagaimana seandainya manusia, salah satu predator teratas di bumi ini, memiliki predator yang dengan mudah memberangus populasi manusia dan peradabannya? Khayalan “bagaimana seandainya” ini adalah salah satu tema film musim panas di Jepang yang diadaptasi dari serial komik terlaris di Negeri Sakura itu: Attack on Titan (進撃の巨人 - Shingeki no Kyojin).

Live action—istilah yang sering digunakan untuk seri komik Jepang (manga) atau anime yang dijadikan film—Attack on Titan ini membuat heboh dunia. Khususnya para penggemar fanatik seri ini. Pertama, karena ekspektasi mereka yang tinggi terhadap para sineas yang menggarap film ini. Kedua, perubahan cerita yang dilakukan oleh penulis skenario. Ketiga, yang juga imbas dari faktor nomor dua, digantinya salah satu tokoh favorit berpengaruh dalam cerita dengan satu tokoh original. Jadilah, dunia maya, khususnya pojok pecinta Attack on Titan, heboh.

Saya sendiri?

Well…. Ada yang harus saya akui di sini Artebianz; saya baru mengenal Attack on Titan. Sebenarnya saya sudah lama mendengar tentang animenya dari channel Fine Brothers di YouTube. Dan sebagai pecinta cerita fantasy, dark, dan gory, saya langsung kecantol pada seri yang lahir dari tangan dingin Hajime Isayama. Yang juga menjadi pencipta seri HunterXHunter. Tapi pada akhirnya saya tidak bisa setia menikmati Attack on Titan. Too many things on my plate and I have to digest this series slowly.

Tentu saja, pengalaman minim saya ini akan berpengaruh pada review saya kali ini. Yang akan lebih terfokus pada film dan sedikit pengetahuan saya atas latar belakang cerita Eren Jaeger, para tokoh lainnya, dan (tentu saja) the titans.

 

Spoiler Alert:

Untuk Artebianz yang belum nonton Attack on Titan, bisa jadi saat saya merangkum dan mengulas film ini, tanpa sadar atau dengan terpaksa (mungkin Laughing) saya akan mengobral cerita dan twist seru Attack on Titan.

So, consider that you’re warned ya, Artebianz.

Baca juga: Maleficent - Dekonstruksi Cinta Sejati dan Dongeng Putri Tidur

 

 

Guliran Cerita Attack on Titan

Lebih dari seratus tahun yang lalu, tanpa diketahui bagaimana dan apa penyebabnya, titan-titan bermunculan. Menyerang manusia dan memakan mereka, sekaligus memporakporandakan peradaban—mengembalikan manusia pada posisi nol dan mereka harus memulai segalanya sekali lagi. Para manusia yang selamat pun mendirikan tiga lapis tembok demi mencegah serangan dari titan dan menjaga keselamatan umat manusia yang tersisa. Ada tembok terluar yang berguna sebagai pelindung, tembok tengah, serta tembok inti yang mengelilingi tempat tinggal para pejabat dan orang-orang kaya. Perlahan, kehidupan yang damai pun kembali tercipta.

source: shingekinokyojin.wikia.com

Atau, sekilas tampak demikian.

Tahun demi tahun berlalu, dengan kemampuannya beradaptasi, manusia pun kembali menciptakan peradabannya di tengah kesulitan hidup. Di salah satu sudut kota yang kumuh, tampak kesibukan keluarga yang berdagang minyak. Seorang pria mulai membicarakan sebuah kabar yang baru beredar, tapi sering mereka dengar; seorang pemuda bernama Eren Jaiger (Haruma Miura), tokoh utama cerita ini, dipecat dari pekerjaannya. Untuk kesekian kalinya. Sementara si pria menganggapnya, seorang pemuda justru tampak terkejut. Dia adalah Armin Arlert (Kanata Hongo) salah seorang sahabat Eren. Dan rupanya, si pria adalah ayahnya.

Dari omelan orangtua Armin, bisa dipastikan kalau itu bukan pertama kalinya Eren kehilangan pekerjaannya. Namun, tak pelak berita ini memuat Armin khawatir. Dia pun pamit keluar. Tapi, sang ayah tahu betul apa yang ada di kepala anaknya. Ia pun memperingatkan Armin agar tidak mengajak Eren bekerja di tempat mereka. Ia menegaskan kalau mereka nggak punya pekerjaan untuk diberikan pada pemuda amat mencintai predikat penganggurannya itu.

Armin and the boy

Di tengah perjalanan, seorang bocah mencegat Armin sambil membawa sebuah mainan yang mengeluarkan suara berisik. Si bocah mengeluhkan mainan pemberian Armin yang terus saja berbunyi. Dasar berhati lembut, Armin pun menyanggupi permintaan bocah itu, yang menyuruh Armin agar jangan lama-lama. Somehow… I feel a bad omen here, Artebianz. Dan insting saya itu berdenging semakin kencang sewaktu Armin secara tidak sengaja menubruk seorang kakek-kakek bungkuk yang membungkus tubuhnya dengan kain kumal. Bukannya penampilan Armin, dan sebagian besar penduduk, bisa dibilang rapi jali, sih….

Paman lusuh

Armin kemudian meneruskan perjalanannya dan mampir ke sebuah pabrik kain. Di sana, dia mencari seorang sahabatnya yang lain: Mikasa Ackerman (Kiko Mizuhara), cewek yang juga dekat dengan Eren—semacam hubungan tanpa status kalau di Indonesia. Hafal dengan tabiat Eren, Mikasa pun mengajak Armin ke sebuah bukit. Benar saja, mereka berdua menemukan Eren yang berdiri bak pahlawan di atas bangkai rudal(?).

Dan entah kenapa di kepala saya bergaung very typical… very very typical ya, Mr. Director saat melihat pemandangan Eren ini. But I do like the humor when Eren fell after he teased his friends. Tampak natural banget.

Eren and the bomb

Mikasa spontan menghampiri Eren dan mengkhawatirkan keadaan pemuda itu, sedangkan Armin sontak mengomeli sahabatnya itu. Dia takut kalau-kalau rudal itu masih aktif dan akan meledak. Tapi, Eren bersikap tak acuh. Dengan gamblang dia bahkan mengatakan kalau dia nggak peduli seandainya rudal itu meledak dan menghabisi mereka semua. Yang sungguh terasa aneh karena Eren bicara di depan dua sahabatnya—yang mencarinya dia karena mereka mengkhawatirkannya.

Tapi, seolah tidak mendengar apa-apa, Armin dan Mikasa mulai mengomeli Eren yang cuma bisa bertahan sebulan di pekerjaannya. Yang menurut Eren lebih baik. Ia bertahan lebih lama di sana dibanding pekerjaannya sebagai petugas keamanan. Armin yang digadang-gadang sebagai pewaris usaha suling minyak ayahnya pun bertanya, apa yang sebenarnya ingin dilakukan Eren—apa cita-citanya?

Eren balik melempar pertanyaan Armin, apa dia bahagia hanya menjadi penerus ayahnya?

Armin mendadak terdiam, sebelum kemudian dia meraih sesuatu dari dalam tasnya dan mengeluarkan mainan milik si bocah. Dengan senyum polos, Armin membuat “pengakuan dosa” pada kedua sahabatnya; dia ingin membuat lebih banyak mainan dan benda-benda semacam itu. Eren memperingatkan Armin agar berhati-hati dan nggak tertangkap, kalau dia memang niat mewujudkan keinginannya. Kelihatannya, membuat benda penemuan adalah sebuah kejahatan di dunia Attack on Titan.

Armin lantas melempar pertanyaan pada Mikasa, apa cita-cita gadis itu. Dari caranya mencuri pandang kea rah Eren dan senyum malu-malunya, tanpa perlu mendengar penjelasan Mikasa, penonton pun tahu apa yang ingin dilakukannya. Or simply what she wants for her life.

Mikasa and Eren

Eren yang sama sekali tidak sensitif, malah membuang muka. Ia menoleh ke belakang, ke arah tembok inti yang berisi gedung-gedung tinggi dan para penduduk kaya, lalu bertanya sekali lagi, apa Armin dan Mikasa merasa bahagia dengan kehidupan mereka saat ini?

Eren merasa ada banyak hal yang mereka lewatkan saat mereka terus diam di tempat dan sekadar menjalani hidup. Ia lantas mengajak Armin dan Mikasa untuk melihat tembok terluar—untuk mengintip kehidupan di luar tembok yang mungkin saja tidak semengerikan apa yang diceritakan orang-orang tua. Bahwa mungkin saja era titan sudah berakhir dan mereka bisa memulai hidup yang lebih baik di sana. Membayangkan kehidupannya yang dihabiskan di dalam tembok tanpa tahu apa sebenarnya yang terjadi di luar sana, menumbuhkan pemberontakan dalam diri Eren.

Trio Attack

Eren menyamakan dirinya dengan bangkai rudal. Ia pun melampiaskan amarahnya dengan menendang rudal, membuat kerangka besi itu bergetar dan tanpa sengaja memperlihatkan gambar laut pada tiga sahabat tersebut. Mereka pun membayangkan seperti apa luas laut, membandingkannya dengan mata air dan tertegun ketiga menyadari bahwa laut bisa jadi seribu kali lipat lebih luas.

Suara burung yang tengah melintas di langit menarik perhatian Mikasa. Gadis itu lalu membandingkan dirinya dengan burung yang bisa jadi sudah pernah melihat laut. Ucapan Mikasa pun mulai menyulut semangat Eren. Ia kembali mengajak teman-temannya ke tembok terluar. Dua lawan satu, akhirnya Eren, Armin, dan Mikasa pun berangkat.

Eren dan kawan-kawan berhasil menembus barikade dan berdiri berhadap-hadapan dengan tembok terluar. Tembok itu terlihat begitu tinggi dan tua dengan bangkai helikopter tersangkut di salah satu sisinya.

Attack on Titan: Tembok terluar

Angin yang berembus kencang membuat Mikasa bersin, Eren pun spontas melepas syal merahnya dan memasangkannya di leher gadis itu, sambil mengajak teman-temannya berjalan lebih dekat. Tapi Mikasa menolak, demikian juga dengan Armin. Mereka takut jika titan yang hidup di luar tembok akan menangkap mereka.

Armin mengingatkan Eren bahwa di luar hanya akan ada titan. Eren yang keras kepala tentu saja menyangkal dan bertanya, apa dalam seratus tahun terakhir ini mereka melihat titan? Eren tidak habis pikir bagaimana Armin bisa memercayai sesuatu yang belum pernah ia lihat dengan matanya  sendiri. Eren merasa lelah terus terkungkung di dalam tembok dan ingin keluar. Ia percaya bahwa di luar sana ada surga yang disembunyikan oleh pemerintah.

Attack on Titan: Eren

Tapi sebelum bisa melangkah jauh, sekelompok tentara memergoki Eren dan kawan-kawan. Mereka pun terlibat perkelahian, sampai akhirnya salah seorang tentara lain yang lebih senior menghentikannya. Pria itu bernama Souda (Pierre Taki).

Attack on Titan: Souda

Melihat Eren bersama Mikasa, Souda menggoda pemuda itu. Dia bertanya apakah dia nekat mendatangi tembok terluar ini untuk pamer keberanian pada Mikasa. Eren menolak mentah-mentah. Ia menjawab bahwa ia benci setengah mati pada tembok yang jadi penghalang antara penduduk dengan dunia luar. Souda, yang tampak mengenal Eren dengan baik, mengerti apa yang ada di benak pemuda itu. Ia memberi tahu Eren bahwa pihak militer sedang mencari anggota baru. Sekaligus kabar bahwa pemerintah akhirnya berencana untuk memeriksa keadaan di luar tembok.

Armin sontak menentang ide itu, sementara Eren sama sekali tidak memercayainya. Souda berusaha meyakinkan Eren, yang punya keahlian berkelahi. Kalau bisa membereskan bocah bengal dengan menjadikannya sebagai tentara, sekaligus mewujudkan keinginan si bocah, kenapa tidak?

Ya kan, Om Souda?

Bayangan tanah baru dan kehidupan yang lebih bebas bermain di benak Souda, Eren, Mikasa, dan Armin. Tapi, sebelum Eren sempat menjawab atau Mikasa mengutarakan pendapatnya, tiba-tiba saja bumi berguncang dan bebatuan jatuh dari tembok.

Baca juga: The Voices - Komedi Kelam tentang Suara-Suara di Kepala Kita


Eyangnya Titan

Awalnya Eren dan kawan-kawan menyangka itu adalah gempa bumi, tapi mereka salah. Guncangan itu ternyata diakibatkan oleh salah satu titan yang mendadak muncul. Si titan menendang-nendang tembok terluar. Dan sial bagi Eren dan kawan-kawan, itu adalah titan jenis kolosal. Titan yang terbesar.

www.forbes.com

Kemunculan si titan ini dengan efektif mengakhiri percakapan keempat orang tersebut. Sementara Eren dan kawan-kawan lari ke kota, Souda mempersiapan meriam untuk menghabisi titan kolosal itu. Too bad, pada saat itu lubang sudah tercipta di tembok terluar dan para titan yang lebih kecil masuk ke dalam.

Titans' heavenCiluk....

Rupanya bukan surga atau kebebasan yang menunggu Eren di luar, tapi para titan yang kelaparan.

Titans' heaven Ba!

Souda dan para tentara kembali menembakkan meriam ke arah para titan. Tapi peluru-peluru meriam itu sama sekali tidak berpengaruh pada para titan. Walhasil, kota pinggiran yang tadinya ramai dengan penduduk yang berbelanja, berubah jadi riuh dengan jerit ketakutan. Para penduduk berlarian ke lorong-lorong dan bangunan terdekat untuk menyelamatkan diri.

dinner time

And the bad omen number one was proved, para bocah menangis dan mainan-mainan terlempar, terinjak-injak para penduduk yang berusaha menyelamatkan diri.

Di antara kerumunan itu, tampak Eren yang menggandeng Mikasa. Mereka terpisah dari Armin. Keduanya bergegas ke pemukiman penduduk guna mencari tempat sembunyi. Nahas, mereka justru melihat ayah Armin menjadi santapan titan.

Keduanya lantas berlari menuju bangunan terdekat, yang ternyata adalah sebuah gereja. Namun, langkah Eren dan Mikasa terhenti ketika mereka mendengar suara lemah seorang ibu yang berjuang masuk ke dalam gereja sambil menggendong bayinya di antara para penduduk lainnya.

Bayinya, Bang?Bayinya, Bang?

Mikasa yang iba pun berniat menolong si ibu. Eren segera meraih tangan si ibu begitu membaca gelagat Mikasa. Sayangnya, si bayi malah terjatuh. Melihat itu, Mikasa segera menghampiri si bayi yang tergeletak di tanah, yang malah membuat dirinya semakin jauh terpisah dari Eren. Pemuda itu dan si ibu terdorong para penduduk dan masuk ke dalam gereja. Detik berikutnya, gereja pun ditutup.

Sadar benar di dalam gereja kecil itu tidak ada Mikasa, Eren segera meminta agar pintu kembali dibuka agar ia bisa menolong Mikasa—anehnya, si ibu yang berhasil masuk bersama Eren tidak mencari anaknya. Bayinya apa kabar, Buk?

Tentu saja, para penduduk yang ketakutan menolak ide Eren. Mereka bahkan melemparkan tatapan tajam saat Eren menghina mereka dengan mengatakan kalau mereka egois dan hanya peduli pada diri mereka sendiri.

Mikasa and the laughing titan

Sementara itu, di luar sana, Mikasa duduk di antara para penduduk yang berlarian berusaha menyelamatkan diri. Tubuh gadis itu gemetaran. Dengan erat ia merangkul si bayi sambil menoleh ke arah Eren, sementara tak jauh dari sana seorang titan berjalan mendekat. Mikasa terlalu takut untuk berteriak, juga terlalu takut untuk bergerak.

Bahkan sewaktu si titan dengan wajah penuh tertawa berjalan menghampirinya.
Sadar apa yang akan terjadi, Eren berusaha keluar dan berteriak—tapi terlambat. Sebelum ia berhasil melakukan sesuatu, sebuah debuman keras mengempaskan Eren dan saat dia bangkit Mikasa dan si bayi sudah menghilang, berganti dengan genangan darah yang membasahi tanah di depan gereja.

Eren memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari ke arah Mikasa, tepatnya bekas tempat Mikasa berada, tapi dia nggak menemukan apa pun. Belum tuntas kesedihan Eren, pada saat ia berbalik, sekumpulan titan membuka atap gereja dan melahap semua yang ada di sana. Meninggalkan Eren sendiri di tengah kota yang porak poranda.

Eren and the empty town

Baca juga: The Grand Budapest Hotel - Mereka Yang Layak Disebut "The Best Partners In Crime"

 

 

Ceracau Saya Mengenai Attack on Titan


Komik dan Anime versus Film

Layaknya seorang penggemar sejati, saya mau nggak mau membandingkan versi live action Attack on Titan dengan versi komik dan animenya. Terutama mengenai plot dan cerita yang disusun oleh Yūsuke Watanabe dan Tomohiro Machiyama. Baik dalam versi komik maupun animenya diceritakan Eren Jaeger kehilangan ibunya akibat titan. Ia melihat salah satu titan melahap ibunya dan inilah yang membuat pemuda ini bak pemuda kesetanan, yang selalu berusaha menghabisi titan di mana pun dan kapan pun dia melihatnya.

Siapa pun yang melihat keluarganya meninggal dengan cara seperti itu, tentu saja akan memiliki masalah psikologi. Hence, sifat Eren yang semaunya sendiri, nyaris liar, dan nekat itu bisa dimaklumi.

Tapi, di versi filmnya, efek aspek psikologi itu sedikit berkurang manakala cerita diubah—si titan bukan melahap ibu Eren, tapi Mikasa.

Tentu, masih ada efek samping akibat hal itu, tapi kedahsyatannya tidak akan sama. Apalagi orangtua yang dilihat Eren dihabisi titan bukanlah ibunya, tapi ayah Armin yang nggak terlalu menaruh perhatian pada Eren. Mungkin efeknya akan berbeda seandainya ayah Armin menganggap Eren sebagai anaknya dan langsung memarahi Eren sewaktu mendengar pemuda itu lagi-lagi dipecat dari pekerjaannya. Kemudian, dia melihat Mikasa nggak berdaya di depan titan. And boom! Kena deh psychotic Eren.

But yeah… dengan perubahan cerita yang demikian, saya nggak bisa memandang Eren sebagai pemuda dengan masalah psikologi setiap kali melihatnya berapi-api. Sebaliknya, saya cuma melihatnya sebagai pemuda yang suka cari gara-gara dan berusaha melampiaskan rasa bersalahnya atas kematian gebetan yang nggak dia akui—yang terakhir ini terasa shoujo manga banget.

Eren versus ErenEren versus Eren

Tapi saya angkat topi atas pemilihan semua aktor. Walau mengerutkan dahi sewaktu menyadari perubahan cerita dan plot film yang dirilis 1 Agustus ini, harus saya akui; saya amat menyukai aspek yang satu ini—the actors, of course. Setiap aktor menempatkan diri dan merupakan sosok mereka sesuai dengan karakter masing-masing tokoh dengan baik. Bahkan dengan cerita yang nggak semenarik versi aslinya, saya tetap terseret mengikuti permainan peran Haruma Miura, Kiko Mizuhara, Kanata Hongo, dan para aktor lainnya. Apalagi Hange Zoe, yang cenderung dipanggil Han(s) atau Henji, yang diceritakan sebagai karakter ambigu—tanpa penjelasan pasti apa jenis kelaminnya. Meski di film Hange diperankan oleh seorang aktor wanita: Satomi Ishihara.

Satomi as Hange

And I love how wacky and zany Satomi was as she plays Hange.

Hange ZoeThat expression and body language! Bravo Satomi Ishihara!

And Sasha (Nanami Sakuraba) and her hilarious-gluttonous self.

Shasha

Baca juga: Stand By Me Doraemon


Levi versus Shikishima dan Sosok Mikasa

I’ll take Levi any day.

Bukannya saya ngefans berat pada Levi Ackerman, tapi struktur cerita dan karakter Levi dalam Attack on Titan sudah oke (banget). Sementara Shikishima… well…. I can’t feel the same.

Yes, Shikishima adalah salah satu tokoh yang karakternya kuat—dan yang saya maksud bukan sifatnya. Jadi sudah semestinya dia kelihatan kece setiap kali membawa ODMG (Omni-Directional Mobility Gear), atau sewaktu dia melompat-lompat di udara.

Pertama, tokoh Shikishima dengan sengaja diciptakan sebagai sosok pembasmi titan yang paling wahid. Kedua, sifat dingin dan cool-nya yang bikin misterius. Sifat-sifat itu membuat Shikishima sedikit mirip Levi—atau malah diambil dari karakter Levi, lalu kenapa nggak sekalian memunculkan Levi?

Anyhow, saya lebih nyaman dengan Levi dan sifat-sifat antiknya, termasuk sifatnya terkenal superbersih. Saya merasa Levi lebih “manusiawi” secara cerita ketimbang Shikishima—yang seorang top slayer, selalu memasang senyum tak acuh dan dingin, dan… punya keterikatan aneh dengan Mikasa.

Yang membuat saya agak ilfil pada kapten yang satu ini.

Ngomong-ngomong tentang Mikasa, sejujurnya saya bingung dengan tokoh yang satu ini. Oke, ini mungkin efek setelah saya menonton dan tersepona pada sosok tokoh Attack on Titan yang satu ini. Saya suka pada sosok Mikasa yang dingin dan digambarkan sebagai superwoman, yang mampu membasmi titan sama hebatnya seperti Levi. Satu-satunya kelemahan Mikasa, dalam anime dan komik, adalah Eren. Mikasa yang terbiasa memasang wajah tembok alias tanpa ekspresi bisa langsung tersentuh emosinya begitu ada hal yang melibatkan Eren. Misalnya saja sewaktu Eren tertelan oleh salah satu titan.

Mikasa Anime version

Reaksi yang sama memang ditampilkan oleh Mikasa dalam versi live action. Meski sekejap, tapi penonton bisa melihat mata Mikasa yang berkaca-kaca sewaktu dia mendengar Eren sudah jadi santapan titan.

Mikasa on Eren's death

Walau toh, sebelumnya Mikasa tampak dingin dan cuek bebek pada Eren sewaktu mereka berbicara empat mata. And I'm trying to understand why; bisa jadi Mikasa kecewa pada Eren yang membiarkannya di luar gereja—dan dia trauma dengan kenyataan bahwa nggak ada seorang pun yang bisa menyelamatkan dirinya, kecuali dia sendiri. Cumaaan… kenapa sewaktu Shikishima muncul dan berada di dekatnya, Mikasa jadi ngeper macam tikus yang ketemu ular?!

Kenapa?!!

Oke, mungkin saja Shikishima yang menyelamatkan Mikasa dan laki-laki itu melihat gadis itu dalam keadaan paling lemah—keadaan yang membuat Mikasa benar-benar merindukan Eren dan berharap cowok itu ada di sana. Tapi yang ada malah laki-laki berkumis dengan ucapan yang dingin dan sikap yang bikin merinding. Bisa jadi, Shikishima membisiki Mikasa beberapa hal—apa itu? Saya nggak tahu pasti. Pada titik ini, saya masih bisa “memaafkan” perkembangan karakter Mikasa yang jadi seolah punya kepribadian bipolar: dingin-misterius, lalu mencicit bak tikus.

Yang saya nggak bisa mengerti adalah kenapa ada banyak misteri perkembangan tokoh?! Kenapa Mikasa nggak dibiarkan tampil sebagai sosok yang tak acuh, dingin, dan berjarak saja? Bukannya begitu saja sudah cukup? Dan dia nggak perlu bersikap seperti macan atau hewan sirkus yang sudah dilatih dengan siksaan dan bersikap timid setiap kali pawangnya (baca: Shikishima) muncul.

 

The Titans on Live Action

Walau mendapat kritik untuk kualitas computer graphic-nya, tapi saya malah nggak merasa terlalu terganggu. Well… ini mungkin karena banyak kritikus yang membandingkan Attack on Titan dengan film-film garapan sineas Hollywood. Sementara saya? Saya membandingkannya dengan sineas Indonesia. Hahahay….

Tapi harus saya katakan, meski dengan dana terbatas dan penampilan titan yang mirip imajinasi Isayama, rasanya justru para titan di film Attack on Titan adalah pemeran-pemeran terbaik bersama para bintang-bintang utama.

the titansThe titans. Bukan grup band itu lho, ya!

Baca juga: Life After Beth - Kehidupan Setelah Kematian

 

 

I Wish Attack on Titan Would be….

Saya juga sama sekali nggak terlalu mempersoalkan tentang tone dan hal-hal sinematografis lainnya, karena menurut saya Shinji Higuchi sebagai sutradara dan timnya sudah melakukan pekerjaan ini dengan baik. Tapi, saya punya keluhan yang lain. Thus, I wish Attack on Titan would be:

1. Lebih padat ceritanya

Salah satu pelajaran dari menulis skenario film adalah pada menit kesepuluh, penonton sudah harus terpancang perhatiannya pada film. Sementara di film Attack on Titan, saya baru tertarik dan fokus nonton pada menit ke-12:26. Tepatnya sewaktu tembok berguncang karena tendangan titan. Seandainya awal cerita dibuat lebih padat dengan mengurangi bagian “lamunan tentang laut”, atau meringkas adegan omelan orangtua Armin dan menjadikannya jadi Armin yang melompat meninggalkan pekerjaannya sewaktu mendengar Eren lagi-lagi dipecat….

2. Kenapa terlambat lari? Mana reaksinya?!

Satu hal yang saya herankan adalah sewaktu titan kolosal menendang-nendang tembok terluar, Eren, Armin, Mikasa, dan Souda malah tetap terpaku beberapa saat di depan tembok. Adegan ini mungkin mirip dengan adegan Mikasa dan titan yang akan menelannya, tapi situasinya berbeda. Amat berbeda. Sebab, saat itu Mikasa sendirian dengan titan yang berjarak beberapa langkah doang. Sementara di adegan di menit ketiga belas ini, setelah sempat merenungi kebenaran soal mitos titan, mereka masih sempat termangu di depan tembok. Dan baru lari setelah Souda memberi aba-aba, itu pun setelah tembok berhasil dijebol.


Run Forest, run!

Oke, mungkin bagian ini untuk menekankan efek suspense dan bikin penonton thrilled. Tapi tolong, jangan mengorbankan para tokoh utama dan mendorong mereka ke batas antara bodoh dan idiot, hanya demi menciptakan ketegangan.

Which somehow reminds me to a lot of sinetron. Apa sineas Jepang kena demam sinetron dan mencontek bagian ini? Tolong, saya mohon, jangan.

Tapi yah… mereka berhasil membuat saya menyumpah dan mengutuk—yang artinya saya larut dalam film.

 

 

Akhir Kata untuk Attack on Titan

Meski dibuat tercenung beberapa kali karena harus beberapa kali mengingatkan bahwa ini adalah film dengan pengembangan ceritanya sendiri, tapi secara keseluruhan saya bisa mengatakan “saya menikmati Attack on Titan versi live action”. Murni karena akting para aktor yang okeh (despite the not-so-well-formed-story), karena computer graphic-nya yang meski terbatas tapi tetap menghibur dan membuat tegang—mungkin ini juga karena efek suara (tendangan si titan kolosal, suara-suara para titan yang mengerang, tangisan si bayi titan dan bagaimana mulutnya robek hampir ke telinga), juga karena setting yang dibuat mendekati imajinasi Isayama.

Attack on Titan: settingTotalitasnya nyaris menyamai Game of Throne, ya?

Menonton Attack on Titan dan rahasia keber-ada-an titan, membuat saya teringat pada salah satu ilmu Jawa: memayu hayuning buwana pangruwating diyu. Bahwa untuk merawat dan mempercantik dunia (mikro dan makro), seorang manusia harus bisa meruwat (menekan nafsu dan keinginan) yang tak ubahnya sekuat dan sebesar raksasa dalam dirinya. I might talk about this more on meragajiwa Smile

Untuk sementara ini, sekian review film Attack on Titan dari saya. Kalau Artebianz punya pendapat sama atau berbeda—monggo dibagi di sini Laughing

Shikishima

"Be careful when you fight the monsters, least you become one." Shikishima.

Eren

Baca juga: Warm Bodies - Menggali Kehidupan dari Kematian

 


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Review Film Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Ayah Dan Hari Ayah


Kuntum-Kuntum Surga - Para Wanita Mulia


Kampung Labasan Sleman: Wisata Desa Elegan dan Tak Kampungan


Teacher's Diary (Khid Thueng Withaya) (2014): Penghargaan Guru di Thailand


Bicara Tentang Orizuka - Menulis Adalah Passion, Bukan Occupation


Marugame Udon - Delicacy in Simplicity


Zein's Cafe - Ngupi Cantik Tanpa Jadi Pelit


Your Dream (Not?) Comes True


How Deep Is Your Love - Calvin Harris: Dalamnya Cinta Lewat Deep House Music


Tea Tasting Bersama Havelteh


Aku Tak Ingin Lomba Balap Karung, Bu.


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Tujuh)