Me Sharing A Copy of My Mind

25 Feb 2016    View : 9094    By : Niratisaya


Salah satu film yang saya tunggu-tunggu sejak Joko Anwar berkoar-koar di Twitter: A Copy of My Mind.

However, saya nggak berencana menonton secepat ini—walau saya berniat untuk membuat ulasannya secepat mungkin. Jadi, butuh tekanan dari sana-sini sampai akhirnya saya memutuskan untuk angkat tangan dari pekerjaan dan mendinginkan otak dengan menonton film ini.

Meski mungkin A Copy of My Mind bukan tipe tontonan yang bakal Artebianz pilih untuk mendinginkan otak. Film ini nggak menawarkan guyonan atau tontonan romantis ala 5-ji Kara 9-ji Made, yang kalau diterjemahkan berjudul From 5 to 9—atau tontonan terbaru saya akhir-akhir ini: Cheese in the Trap.

Tapi, saya berpikir kalau memang harus keluar dan nonton sesuatu, kenapa nggak sekalian menonton apa yang perlu saya tonton dan bisa saya ulas. A side of my tendency to review and analyze what I’m watching. Berangkatlah saya ke salah satu mal terdekat dan menonton A Copy of My Mind.

Peringatan!

Mind you, Artebianz; A Copy of My Mind bukan tipe film yang bisa seenaknya kita tonton sambil mengajak anak yang di bawah umur atau kurang dewasa (dalam berpikir). Since there were some adult scenes in this movie. Though they were not as bad as Deadpool’s adult scenes.

Saya sendiri nggak terlalu mempermasalahkan hal ini, senyampang ada kaitan dengan cerita dan plot yang diberikan penulis naskah. Bukan sekadar alat untuk menarik penonton. Seperti kebanyakan film horor nasional.

So, was the adult scenes important and connected with the story? Hayuklah kita lanjut ke bagian berikut ulasan saya.

 

 

A Copy of My Mind – Kilasan Potret Kehidupan Perempuan di Tengah Kesibukan Kota

Film ini bercerita seputar kehidupan seorang pekerja salon kecantikan, Sari (Tara Basro) yang tinggal di sebuah kos-kosan sederhana dan memiliki impian yang simpel: punya teve layar datar dan home theater yang mengizinkan dia nonton semua film kesukaannya dengan kualitas memuaskan.

Walau… dia membeli film-film kesukaannya dalam bentuk bajakan.

Hobi dan standar Sari dalam menonton film kemudian mempertemukannya dengan Alek (Chicco Jerikho), seorang penerjemah sekaligus pemberi subtitle untuk film bajakan. Yang tentu saja lebih sering memberikan kualitas subtitle yang di bawah standar.


Kerja sama Alek dan Mbah Google

Pertemuan Sari dan Alek tentu saja dimulai di sebuah toko DVD bajakan tempat Sari biasa membeli film. Penggemar film monster itu mengeluhkan kualitas DVD yang dibelinya, tepatnya terjemahan film itu. Yang tentu saja langsung ditolak si pemilik toko. Tapi, dia memperkenalkan Sari dengan Alek yang kebetulan mampir ke toko DVD itu. Menurut si pemilik toko DVD, kalau Sari punya keluhan, dia bisa menyampaikannya pada Alek.

Sayangnya, perkenalan itu nggak membawa manfaat apa pun untuk Sari. Dia nggak mendapatkan ganti untuk filmnya. Sari pun diam-diam mengambil film dan meninggalkan toko DVD bajakan, tanpa menyadari kalau Alek (yang melihat tingkah Sari) mengikutinya.

Begitu berhasil menyusul Sari, Alek langsung meminta perempuan penggemar mi instan itu untuk membuka tasnya. Semula Sari menolak, sampai akhirnya Alek memberi ancaman kalau dia bakal berteriak dan memancing seluruh temannya yang ada di wilayah itu, lalu melaporkan Sari. Alek bakal menutup mulutnya asal Sari mau ikut ke rumahnya—yang tentu saja menyalakan lampu alarm di kepala saya.

Caution. Say no, Sari. Say big fat NO.

Tapi tentu saja Sari mengiyakan dan manut saja. Dia mengikuti Alek ke tempat kos-kosan Alek yang berada di kompleks tempat tinggal warga Tionghoa. Di sana, di lantai satu, selalu ada seorang wanita berumur yang biasa dipanggil Alek dengan “Budhe”. Nggak ada satu pun detail tentang si budhe ini, kecuali dari mulut Alek yang bercerita kalau dia kos gratis di rumah itu dengan syarat mau merawat Budhe. Walau yang sebenarnya dilakukan Alek hanya menyiapkan sarapan dan makan malam (dan segelas air putih), yang ngomong-ngomong dibelinya di warung.

Tapi yah… ukuran laki-laki, bolehlah perhatian si Alek ini. Apalagi dia melakukannya dengan taat, setaat orang-orang dengan jidat hitam kalau pergi ke mesjid.

Dari perilaku Alek, bisa dibilang kalau dia punya perhatian pada satu orang, dia bakal benar-benar perhatian dengan orang itu. Lihat saja sikapnya pada si Budhe. Dan, Sari.

Iyeup, Artebianz. Seaneh-anehnya awal perkenalan Sari dan Alek, pada akhirnya mereka pacaran juga. Apalagi Alek jadi penyetok koleksi film bajakan Sari. Simbiosis mutualisme. Walau ada perbedaan antara mereka; Sari dengan impiannya (teve layar datar yang luar biasa besar dan home theater yang menggelegar), dan Alek dengan kepuasannya melewati satu hari tanpa ditangkap polisi (karena nggak punya KTP) atau diceramahi kiai (karena ambigu dalam beragama).

Impian Sari kemudian membuat perempuan itu pindah pekerjaan ke sebuah tempat spa yang lebih berkelas, yang tentu saja memberikan gaji yang lebih besar. Sayangnya, Sari punya sifat nggak sabaran. Alih-alih menjalani 2 minggu pelatihan, dia nekat meminta manajernya, Pak Bandi (Paul Agusta), agar memberinya pekerjaan sungguhan—dengan alasan dia sudah lama menjadi ahli facial (was facialist or facialer? Or it's simply beautician?).

Karena bukan pertama kalinya Sari bersikap seperti itu, akhirnya Pak Bandi pun memberi Sari pekerjaan. Weirdly, Pak Bandi mengirim Sari ke penjara. Tapi bukan sembarang penjara. Sebab tempat itu hanya dihuni oleh seorang tahanan yang bukan diasingkan karena berbahaya, punya sebuah kulkas, kamar mandi pribadi, tempat tidur, lemari yang penuh koleksi DVD, dan hanya Tuhan serta kru film A Copy of My Mind yang tahu apa lagi yang ada di sana.

Setelah serentetan pertanyaan yang diberikan oleh Nyonya Mirna (Maera Panigoro) Sang Klien Istimewa, Sari pun membersihkan dan memijat wajah Nyonya Mirna sembari membicarakan beberapa hal.

Dari asyik dan enggaknya Louis Vuitton dan Bottega, suasana politik di luar penjara, sampai satu dialog yang menarik tentang pergi haji—yang menurut saya menowel kebiasaan masyarakat kita. Well, sebagian besar masyarakat kita yang berlebihan duit.

Nyonya Mirna :  [Naik haji] bisalah diatur. Asal ada  duit. Terus di sana ada kan ya tukang tandu.
Sari :  Tapi kan itu buat orang tua dan cacat, Bu.
Nyonya Mirna :

 Tahu apa kamu? Apa kamu tahu kalau berapa juta orang yang ada di sana? Nggak bisa saya kalau harus berdesak-desakan sama mereka.

Namun, dasar Sari punya rasa penasaran dan ingin memiliki yang nggak bisa ditahan, dia langsung mencomot salah satu DVD koleksi Nyonya Mirna. Cerdasnya, dia mengambil cakram dan mengembalikan case-nya. Sehingga Nyonya Mirna, yang hanya mencurigai Sari sebagai wartawan atau mata-mata polisi (hmm … mungkin? *slow shrug*), melepas Sari begitu saja begitu dia nggak menemukan alat perekam atau kamera tersembunyi.

Tapi eng ing eng yang dibawa Sari bukan DVD tentang monster ala Piranha atau Anaconda, sebaliknya, DVD yang dibawanya adalah rekaman yang berisi percakapan Nyonya Mirna Sang Makelar perjanjian antara pengusaha dengan anggota DPR. Dan bukan sembarang anggota DPR karena salah satunya adalah pendukung calon presiden yang maju untuk pilpres (di dalam film).

Sari berusaha memperbaiki kesalahannya dengan berusaha ke penjara untuk menemui Nyonya Mirna, yang berakhir dengan kegagalan. Nggak menyerah, dia pun melapor pada Pak Bandi, yang malah dijawab dengan tendangan.

Karena Sari menonton DVD itu di rumah Alek, rumah kos Sari sedang direnovasi selama dua minggu, laki-laki itu pun ikut terjun ke dalam masalah Sari. Mulai dari menyuruh Sari untuk nggak kerja dan keluar dari rumah kosnya, sampai menjawab telepon dari suruhan Pak Bandi—yang saya curiga secara nggak langsung kacung Nyonya Mirna. Salah satu preman/kacung itu diperankan oleh Ario Bayu.

Bola salju masalah dalam A Copy of My Mind pun meluncur semakin kencang ketika Alek nekat ke tempat kos Sari, dan tertangkap oleh para begundal sewaan Nyonya Mirna. Para begundal itu berusaha menghubungi Sari untuk melakukan pertukaran. Nahasnya, ponsel Sari disembunyikan Alek. Niat baik Alek pun berbalik. Atau memang itu tujuannya?

Apa yang terjadi pada Alek?

You got to watch this movie to know the exact answer and experience the same “merinding disko” feeling, yang saya rasakan sewaktu menonton di bioskop.

Baca juga: Siti - Perempuan dan Dalamnya Hati

 

 

A Copy of My Mind – Para Tokoh dan Karaktersisasi Mereka

Sari dan Alek

Our perfect couple. Gimana nggak, Artebianz; yang satu penikmat film bajakan, yang lain penerjemah untuk subtitle film bajakan. Klop.

Tapi bukan itu saja yang membuat pasangan ini klop. Satu poin lain yang membuat pasangan ini a match made in heaven adalah mereka saling melengkapi kesepian. Sari dengan sifat dan sikapnya yang acuh terhadap sekitar—bahkan pada dirinya sendiri. Karena serius, saya hanya melihat dia makan mi instan di setiap kesempatan.

Bisa jadi, sikap Sari ini adalah simbol ketidakpeduliannya pada lingkungan dan dirinya. Dia hanya berinteraksi dan berkomunikasi demi mempertahankan keberadaannya di lingkungan tempat tinggalnya (Salon Yellow dan tempat kos), seperti dia makan hanya demi mengisi lapar—tanpa memedulikan apakah asupan yang dia masukkan ke dalam mulut bergizi atau nggak. Yang dia pedulikan adalah perutnya terisi dan dia tetap hidup.
Sampai dia bertemu dengan Alek.

Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, Alek adalah seorang penerjemah untuk subtitle film bajakan. Tapi, sepertinya, ini bukan pekerjaan tunggalnya. Dari percakapan yang saya tangkap, dia juga seorang joki balap motor. Yang kemudian nggak dilakukannya lagi karena simpel: bayarannya terlalu sedikit.

Ngekos di lingkungan Tionghoa dan tinggal bersama seorang wanita bernama Budhe, yang sepertinya nggak punya hubungan darah dengannya, Alek bebas melakukan apa pun dan menjadi apa pun. Termasuk membiarkan siapa pun membajak kamarnya. Seperti bos yang selalu memberinya pekerjaan, dan Sari.

Selain praktis, sifat lain Alek adalah mudah terikat pada sesuatu atau seseorang. Misalnya saja dalam hal ini keterikatannya dengan tempat kosnya dan Budhe. Walau laki-laki, dibanding Sari, Alek lebih rajin. Dia membeli makanannya (menilai dari bagaimana dia selalu membelikan Budhe nasi dan nggak pernah terlihat masak mi). Tapi, di sisi lain, Alek juga punya sifat cuek.

Sari :  Agamanya apa? Ada?
Alek :  Mungkin.
Sari :  Emang di KTP tulisannya apa?
Alek :  KTP gue nggak punya.

Meski terkesan nggak sopan dan nggak bisa dipercaya, tapi sosok Alek yang jujur dan nggak malu mengakui kebenaran tentang dirinya adalah salah satu karakter baiknya. Membuat siapa pun harus melihat Alek sebagaimana apa adanya keberadaan laki-laki itu di hadapannya. Toh sekarang ini agama dan keterangan di secarik kartu identitas nggak benar-benar bisa menjamin jati diri dan eksistensi seseorang di dunia ini.

 


Paul Agusta

Pak Bandi

Kesan pertama saya tentang manajer Sari di salon eksklusif ini adalah sifatnya yang flamboyan dan sikapnya yang radha gemulai. Tapi rupa-rupanya ini adalah tipuan. Sebab, pada kenyataannya Pak Bandi bisa begitu tegas dalam sikapnya yang flamboyan. Ini terlihat pada bagaimana dia berulang kali menegaskan dan menempatkan Sari pada posisinya sebagai seorang trainee.

Sampai satu ketika dia bosan pada Sari yang terus-menerus berkata ingin langsung menangani klien. Dan, kesalahan Bandi adalah dia menyerahkan klien terpenting salonnya ke tangan seorang trainee, yang belum dia kenal benar sifatnya.

Well, sebagai manajer sedikit banyak Bandi seharusnya mengenal karakter para pegawai salonnya, kan?

 


Maera Panigoro

Nyonya Mirna

Salah satu karakter unik sekaligus mainstream yang memotret sosok makelar politik dan bisnis di Indonesia: wanita matang dengan kecenderungan gaya hidup mundane ala para sosialita.

Tapi, itu bukan berarti tokoh Nyonya Mirna hanya sekadar tempelan. Meski nggak tampil lama, seperti Budhe, Nyonya Mirna adalah salah satu tokoh yang penting—dialah cincin tuas yang ditarik Sari dan meledakkan semua konflik yang dibangun perlahan dalam cerita A Copy of My Mind.

 

And one interesting character: Budhe (yang sayangnya nggak ada foto, baik di ponsel atau di internet Frown)

Meski sebenarnya Ario Bayu yang sering disebutkan di artikel tentang film yang mencuri perhatian insan perfilman Busan, Korea Selatan, jatuh hati—menurut saya, Budhe juga layak disebutkan.

Sebenarnya nggak banyak yang dilakukan oleh Budhe sejak awal. Dia hanya duduk diam di depan televisi yang selalu menyala. Tapi jangan dikira dia hanya salah satu CD cakram yang ditempelkan Alek dan Sari di dinding. Sebaliknya, Budhe penyebab antiklimaks dalam A Copy of My Mind sewaktu dia menyerahkan ponsel jadul Sari dan menunjukkan SMS kiriman preman suruhan Nyonya Mirna. Agak-agak mirip sosok Blind Al dalam film Deadpool. Hanya bedanya Budhe nggak buta, cuma bisu.

Hmm… mungkin? Secara Budhe nggak pernah mematahkan satu dua kata dari suaranya.

Baca juga: Filosofi Kopi - Bukan Sekedar Adaptasi Dari Cerita Pendek

 

 

A Copy of My Mind dan Segala Printilannya

Salah satu hal terhebat akhir-akhir ini adalah media. Dengan bantuan media, nggak ada satu pun yang nggak bisa dilakukan seseorang. Salah satunya mempromosikan barang dagangannya. Riuh ramainya netizen Indonesia yang membicarakan A Copy of My Mind nggak langsung membuat saya jatuh hati. Sebaliknya, saya malah semakin berhati-hati dan harap-harap cemas tentang kualitas film garapan Joko Anwar ini.

Tapi, fakta bahwa 6 dari 20 film yang disutradarai Joko Anwar membuat saya jatuh membuat saya memutuskan untuk menonton A Copy of My Mind. Jujur, saya agak “injit-injit semut” setiap kali tertarik pada film Indonesia. But luckily, A Copy of My Mind is as awesome as I imagine it is. Here are some of the reasons why I think its awe-worthy:

1. Angle kamera dan setting A Copy of My Mind

Kebanyakan adegan film yang mendapat kucuran dana 10 ribu dolar AS (sekitar 150 juta rupiah) ini mengambil tempat di lokasi-lokasi yang cenderung ramai. Seperti kios DVD bajakan dan jalanan Jakarta—yang masih macet di tahun 2016 ini. Keputusan ini membuat Joko Anwar dan kru mesti mengambil gambar dengan kamera tersembunyi. Selain demi mendapatkan ekspresi candid dari semua yang ada di sekitar lokasi, saya yakin, Joko Anwar nggak pengin di salah satu frame ada yang seperti ini:

Hasilnya, film A Copy of My Mind terkesan autentik dan raw seperti semangat para kru yang menggodoknya.

Tentu saja, nggak semua adegan diambil dengan kamera tersembunyi. Beberapa dilakukan secara normal. Misalnya, di gang tempat pembuatan DVD bajakan. Tapi setiap shoot diambil sambil mempertahankan tone yang sama: raw dan fresh. Termasuk adegan di kamar kos Alek dan Sari yang bikin keringatan—literally and figuratively.

Penonton pun bisa merasakan tone film ini sewaktu sekaligus mewakili potret kehidupan masyarakat Jakarta yang kontradiktif. Selalu gemerlap, penuh warna, dan ramai—tapi juga kelam, suram, dan sunyi.

Salah satu adegan favorit saya adalah gang tempat pembuatan DVD bajakan, yang hanya muat untuk dua orang, itu pun mereka harus berjalan berdempetan. Ini mengingatkan saya pada kehidupan Jakarta secara figuratif, yang mengharuskan penduduknya untuk terus berjalan sambil melawan rasa kesepian.

Yang lain adalah bagian akhir yang memiliki warna berbeda dan sempat menipu saya.

 

2. Plot dan Cerita A Copy of My Mind

Ide cerita A Copy of My Mind bisa dibilang brilian. Maksud saya, siapa yang menyangka dua orang yang sama sekali nggak ada sangkut pautnya dengan dunia politik, malah menjadi terlibat di dalamnya. Bahkan menjadi salah satu bara. Nggak heran tim produksi film A Copy of My Mind mendapatkan dana  10.000 dolar dari Asian Project Market di Festival Film Busan 2014. Kemudian mencuri perhatian pecinta film di Contemporary World Cinema section of the 2015 di Toronto International Film Festival, Busan International Film Festival, dan Venice International Film Festival.

Despite the very natural acting, pada awal film saya dibuat bingung dengan cerita dan perkembangan plot saya harus mengakui agak bosan dan bertanya-tanya….
Kenapa ada adegan seorang perempuan yang berjalan menembus keramaian, duduk dan mendengarkan bullshit dari seorang pegawai toko elektronik, pulang untuk mendapati dia harus segera mencari tempat tinggal sementara karena tempat kosnya akan direnovasi, kemudian memasak mi instan.

Semua hal itu adalah hal-hal natural yang kita lihat setiap hari, bahkan mungkin kita sendiri yang mengalaminya. Tapi ini adalah salah satu teknik yang saya sebut "build it then blow it", karena nyatanya Joko Anwar menyimpan hook dan jab-nya di beberapa adegan terakhir. Yang lalu membuat saya dan perasaan saya tercabik-cabik. And as I rewind each and every scene in A Copy of My Mind, I have to go to the corner and mend my heart, once again.

Now, please excuse me, Artebianz.

 

3. Akting dan Dialog A Copy of My Mind

Dibalut dengan sampul sepasang kekasih yang berbaring di sebuah kamar dengan deretan cakram CD, yang menguarkan aura mellow dan 80an, siapa sangka A Copy of My Mind justru bersih dari adegan percintaan dengan kalimat manis dan dialog romantis. Alih-alih, penonton malah disuguhi rutinitas dan ekspresi datar nan polos seorang gadis bernama Sari, serta laki-laki serbapraktis bernama Alek. Walhasil, saya mampu berkonsentrasi pada cerita yang disuguhkan. Nggak seperti film tentang bulan yang terbelah Undecided

Ekspresi dan reaksi tokoh di film benar-benar natural, sampai-sampai saya langsung masuk ke dalam cerita. Saya suka bagaimana Tara Basro sebagai Sari tampil nyaris polos tanpa riasan, untuk menunjukkan karakternya yang sebenarnya nggak terlalu tertarik pada kecantikan—dia hanya membutuhkannya sebagai pekerjaan. Dan Tara Basro menambahkan karakter pada tokohnya dengan memasang ekspresi nyaris dingin dan tak acuh. Sesuai sosoknya yang tinggal sendiri dan hanya bisa mengandalkan dirinya untuk mewujudkan segala impiannya.

Ekspresi dingin dan sikap defensif Sari perlahan berubah ketika dia bertemu dengan Alek. Perubahan ini nggak terjadi seketika, tapi  perlahan, setelah keduanya menjalin hubungan. Meski demikian, perubahan ini nggak terlalu merubah karakter atau ekspresi kedua karakter utama. Sari tetap seorang movie freak dan punya kebiasaan mencomot film yang menarik perhatiannya dengan ekspresi acuh, Alek tetap seorang penerjemah yang menggunakan bantuan Mbah Google demi membeli nasi sesuap. Well, dua suap kalau kita menghitung Budhe juga.

Salah satu wujud kealamian akting Tara Basro dan Chicco Jerikho adalah interaksi mereka sewaktu keduanya mengunjungi kamar kos Sari. Di sana Sari mengingatkan Alek untuk melepas sepatu saat di mereka di kamarnya. Sederhana, tapi interaksi mereka yang sama seperti interaksi sepasang kekasih di dunia nyata patut diacungi jempol.

Beberapa dialog yang membuat saya jatuh hati pada pasangan ini adalah….

1. Sari dan Alek: Nggak punya telepon

Sari :  Nomor telepon kamu berapa?
Alek :  Nggak punya telepon.
Sari :  Terus kalau mau ngehubungin kamu gimana?
Alek :  Emang kamu hubungin aku lagi?

Don't you love the simple yet realistic converstation, Artebianz? Smile

 

2. Nyonya Mirna: Tuhan dan manusia

Terkadang orang solat kalau lagi butuh sama Yang Punya.

 JLEBBB!

Semua keindahan dan kealamian cerita A Copy of My Mind nggak akan berjalan mulus tanpa penulis naskah yang ciamik dan para aktor yang berdedikasi. Psst... konon, kru dan pemain hanya menghabiskan 8 hari untuk syuting film ini lho, Artebianz.

Let’s give big applause to Joko Anwar and the cast members!

Baca juga: Malam Minggu Miko Movie - Mockumentary Kegalauan Kaum Muda Indonesia

 

 

A Copy of My Mind All in All – Do I Have Wrinkle(s) and Frown?

Of course I do.

Despite the beauty of the picture, acting, and story, there are some questions that popped in my head.

1. Kenapa Budhe nggak pernah beranjak dari kursinya?

Atau paling nggak diperlihatkan demikian, jadi saya nggak bertanya-tanya, bagaimana teko air Budhe selalu penuh?  Secara Budhe hanya duduk dan nonton. Dia bahkan nggak jawab salam Alek atau bicara pada Sari saat menyerahkan ponselnya.

Atau… paling nggak perlihatkan Alek mengisinya. Atau Sari, secara di bagian terakhir Sarilah yang melayani Budhe.

OCD? Naaah, I’m just that curious. And fussy.

2.    Masih tentang Budhe, bagaimana dia bisa menemukan ponsel Sari?

Secara Alek menyembunyikannya dengan baik dan nggak ada di dalam kamarnya. Well, not technically.

Selain dua hal itu, saya nggak punya kerutan dan kernyitan yang dalam. Saya bahkan menyukai background suara CD yang dicetak sewaktu Sari berjalan menyusuri gang sempit.

All in all, A Copy of My Mind is my cup of tea. Yes, finally I found it in Indonesian movie.

Thank you Joko Anwar, for tearing my heart and mind with a copy of yours.

Baca juga: Guru Bangsa Tjokroaminoto

 

 

Profil A Copy of My Mind dan Rating Film

Disutradarai oleh Joko Anwar
Naskah ditulis oleh Joko Anwar
Diproduseri oleh

Kristi Anne   
Joko Anwar  
Uwie Balfas  
Tia Hasibuan
Myung-Kyoon Im    
Tae-sung Jeong
Kini S. Kim
Wendy Lona
Sung-joo Moon
Annisa Mulyani

Dibintangi oleh

Tara Basro
Chicco Jerikho
Maera Panigoro
Paul Agusta
Ario Bayu

Didistribusikan oleh

CJ Entertainment
Lo-Fi Flicks

Bahasa Indonesia dengan subtitle Inggris
Durasi 116 menit
Negara Indonesia
Anggaran 50 juta

 

 

 Rating Film

 

 

 

Your fellow movie cruncher,

N

 


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Review Film Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Ayah Dan Hari Ayah


Edwin Ruser dan KoreanUpdates - Menghidupkan Mimpi Lewat Passion


The Geography Of Bliss - Penggerutu yang Mencari Kebahagiaan


Art Idol


Kun Anta - Humood Al Khuder: Jadilah Diri Sendiri


Icip-Icip Seblak Zoss, Lebih Dari Sekadar Joss


Kopi Luwak - Nongkrong Aman Sambil Berbagi Kopi dan Gelak


Wisata Religi: Makam Maulana Sayyid Ismail Janti, Jogoroto, Jombang


Literasi Oktober: Goodreads Surabaya, Faisal Oddang, dan Puya ke Puya


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Ketiga)


Cita-Cita Dirgantara


Kata-Kata Itu Telah Hilang Saat Kami Lahir