Gapura Wringin Lawang, Mojokerto: Gerbang dari Masa Kini ke Masa Lalu

14 Jan 2015    View : 12216    By : Niratisaya


Siapa yang tidak tahu Kerajaan Majapahit? Saya yakin Artebianz sudah mengenal kerajaan yang diperkirakan berdiri tahun 1293 Masehi ini, entah lewat pelajaran sejarah di sekolah atau berita. Majapahit termasuk salah satu kerajaan terkenal di Indonesia. Mulai dari segi pertahanan sampai arsitektur. Beberapa saat yang lalu saya berkesempatan untuk melakukan tur, meski belum semua, candi-candi di daerah Mojokerto (pusat dari Kerajaan Majapahit). Dimulai dari Gapura Wringin Lawang.

Wringin Lawang

Berbeda dengan candi-candi di Mojokerto lainnya, yang harus masuk ke jalan kecil dan terkadang bisa menyesatkan, untuk mencapai Gapura Wringin Lawang sangat mudah. Dari Surabaya Artebianz bisa lewat bypass Mojokerto menuju ke Jombang. Sebelum terminal lama Mojokerto, Artebianz akan melihat keterangan di sebelah kiri. Atau, kalau Artebianz berangkat lewat arah sebaliknya—dari Kediri atau Kertosono—menuju Surabaya, Artebianz pertama-tama akan melewati Pasar Mojoagung, terminal lama Mojokerto, dan perempatan yang "didiami" banyak peninggalan Majapahit sebelum melihat keterangan yang sudah disediakan Pemerintah Kota Mojokerto di sebelah kanan.

Namun hati-hati, Artebianz. Setelah melewati terminal lama Mojokerto, kurangi kecepatan. Atau bisa-bisa keterangan itu tidak akan terlihat.

Sekadar curhat, Artebianz, dulu papan keterangan semacam ini kurang jelas. Hanya sebuah papan biasa yang tidak menunjukkan kalau di tempat itu ada peninggalan bersejarah.

Wringin Lawang

Nah, kenapa saya memilih Gapura Wringin Lawang sebagai tujuan pertama saya? Selain karena mudah dijangkau (dengan mobil, bus, atau sepeda motor), Gapura Wringin Lawang adalah gerbang masuk menuju kerajaan yang menikmati kejayaannya di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Saya kira itulah alasan utama kenapa situs ini diberi nama "lawang" yang berasal dari bahasa Jawa dan memiliki arti pintu. Sedangkan "wringin" berarti beringin. Juga jawaban mengapa situs ini berbentuk seperti gapura. Dan mengapa saya harus mengunjunginya terlebih dulu.

Dari cerita penduduk, saya tahu kalau dulu di belakang situs cagar budaya ini ada dua buah pohon beringin. Seperti di Keraton Solo. Namun, kini hanya tinggal satu.

Baca juga: Candi Minak Jinggo - Candi Kecil nan Istimewa di Trowulan

 

 

Gapura Wringin Lawang Gerbang Menuju Masa Lalu

Masuk ke daerah Wringin Lawang, pertama-tama Artebianz akan disambut deretan rumah penduduk di depan gerbang situs cagar ini.

Sekali lagi, tidak seperti kebanyakan situs cagar budaya yang penuh sesak dengan pengunjung, Gapura Wringin Lawang terbilang sepi. Artebianz bisa memarkirkan kendaraan di tanah lapang sebelah kiri. Dan... sebelum menjelajah gerbang Kerajaan Majapahit ini, Artebianz harus melapor dulu pada petugas. Jadi, jangan main nyelonong saja, ya Smile

Taman Wringin LawangPohon maja di Wringin Lawang

Begitu masuk ke kawasan Gapura Wringin Lawang, saya segera disambut angin sejuk dan hawa yang sedikit berbeda. Taman luas yang mengapit gapura seolah mengundang saya untuk rehat sejenak dari kesibukan kota. Menikmati udara bersih dan desau angin yang berhembus dari ladang padi. Keasrian dan ketenangan Wringin Lawang bisa jadi dikarenakan situs ini tidak terlalu banyak dilirik pengunjung, sehingga tidak terlalu banyak kegaduhan dan penjual yang ramai menjajakan dagangan mereka. Walau masih ada yang selfie, salah satunya sayaLaughing

Dari buku yang saya baca, "Bukan Jelajah Biasa" yang ditulis oleh Silvia Galikano, Wringin Lawang adalah gerbang Kerajaan Majapahit yang berdekatan dengan sungai. Sementara gerbang kedua terletak berseberangan, di sekitar lokasi Candi Brahu. Karena itu tidaklah mengherankan jika di belakang situs ini terbentang luas sawah.

WringinPohon beringin di Wringin Lawang

Oh ya, Artebianz, menurut penjaga Gapura Wringin Lawang, rekonstruksi situs yang arsitekturnya mirip candi di Bali ini belumlah utuh. Penjaga situs cagar budaya tersebut mengatakan bagian atas gapura belumlah selesai. Namun dihentikan, karena takut kalau nanti roboh. Dari Om Wiki, saya dapat info kalau Gapura Wringin Lawang terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter.

kaget
Woaaah!

Seperti apa ya, Artebianz, arsitek-arsitek Kerajaan Majapahit dulu? Sampai-sampai bisa membangun gapura setinggi itu. Tanpa semen dan rangka besi pula!

Baca juga: Patirthan Candi Kidal Yang Tersembunyi



Gapura Wringin Lawang Sekarang

Bila dulu situs bergaya bentar ini digunakan sebagai gerbang, kini Gapura Wringin Lawang dijadikan salah satu tempat pertunjukan seni daerah. Kalau Artebianz sempat mengunjungi Gapura Wringin Lawang, di sebelah kiri tempat parkir Anda akan menemukan sebuah panggung. Kadang-kadang ada juga calon pengantin yang foto pre-wedding di sini. Sewaktu mengunjungi situs ini, saya ketemu satu Smile

Lumayan juga sih, daripada situs ini dibiarkan begitu saja dan hanya jadi objek selfie.

Taman Wringin Lawang

Demikianlah, petualangan pertama saya Artebianz. Tunggu cerita pengalaman petualangan saya di daerah situs-situs cagar budaya di Indonesia yang berikutnya, ya!

Baca juga: Dieng: Sebentuk Nirwana di Indonesia - Edisi Setyaki dan Pesona Alam Dieng





Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Wisata Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Menikah - Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Masyarakat


Dimas-Lissa: Pudarkan Kapitalisasi Pendidikan Lewat Sekolah Gratis Ngelmu Pring


Jodoh Pilihan Hati - Kiat Menjemput Jodoh


The Voices - Komedi Kelam tentang Suara-Suara di Kepala Kita


Menuju Senja - Payung Teduh


Soto Khas Lamongan Di Pandean, Ngoro


Oost Koffie & Thee - Rumah Kopi dan Teh yang Menawarkan Lebih Dari Kenyamanan


Pantai Pelang


Literasi Oktober: GRI Regional Surabaya - Menimbang Buku dalam Resensi


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Lima)


Kabut Rindu


Halusinasi