Penelusuran dan Napak Tilas Reruntuhan Situs Candi Pendharmaan Ken Angrok di Kabupaten Malang (Bagian 2)

17 Nov 2016    View : 7732    By : Kopi Soda


Bagian Pertama: Penelusuran dan Napak Tilas Reruntuhan Situs Candi Pendharmaan Ken Angrok di Kabupaten Malang


Tafsir “Situs Sokan Tegal Kagenengan” Sebagai Tempat Pen-dharma-an Ken Angrok Sebagai Buddha

Dalam Negarakretagama dikatakan bahwa Sri Rajasa atau Ken Angrok di-dharma-kan sebagai Buddha di “Usana”.

“Usana” ternyata bukanlah nama tempat melainkan kata yang berarti tadinya, sejak dahulu, pada waktu yang lalu, dari dahulu kala (Zoetmulder, 2011:1350). Sementara itu Suwardono (2014:214) menjelaskan konteks kata itu sebagai “di tempat itu juga”. Maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya usana itu berada di Kegenengan juga dan tidak berada tempat lain.

Kata-kata Kagenengan itu sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuna yaitu “tempat untuk berpegang” (Zoetmulder 2011:289). Menurut Suwardono (2013:253) bahwa “tempat untuk berpegang” dapat diartikan juga sebagai tempat berpedoman, pangkal, atau asal-usul yang dapat dikatakan tempat asal usul raja-raja Singhasari dan Majapahit. Sementara itu, dalam bahasa Jawa Baru kata “genengan”, menurut Poerwadarminta adalah bukit atau tanah yang tinggi (Suwardono, 2013:253).

Memang pada kenyataannya wilayah Dusun Genengan di Kecamatan Wagir tersebut memang berbukit-bukit.

Peta Desa Parangargo, Kecamatan Wagir, Kabupaten MalangGambar 04:  Peta Lokasi Situs Sokan Tegal Kagenengan
Sumber Gambar: Suwardono (2013)

Di dusun tersebut terdapat sebuah situs yang warga setempat menyebutnya sebagai situs “Sokan Tegal Genengan”. Secara administratif situs ini terdapat di antara Dukuh Durenan dan Dukuh Juwet Manting, Desa Parangargo. Sementara itu, Dukuh Genengan secara administratif berada di sebelah Dukuh Durenan dan Juwet Manting. Situs inilah yang dicatat oleh P.V. van Stein Callenfels tahun 1915 dan W.F. Stutterheim pada tahun 1930-an.

Hal ini diperkuat oleh keterangan penduduk senior setempat bahwa pada masa mudanya, beliau pernah melihat tinggalan berupa fragmen reruntuhan bangunan candi (Suwardono, 2013:243-244). Situs tersebut berada di dataran tinggi yang diapit oleh dua sungai atau jurang. Di utara dilewati oleh Sungai Wandung dan di selatan dilewati oleh Sungai Pancir. Karena itu daerah tersebut disebut “Sokan” oleh penduduk setempat.

Bukti arkeologis di situs Sokan adalah dengan ditemukannya pecahan batu bata berukuran besar atau pun fragmen batu, termasuk sebuah lingga kecil. Menurut masyarakat desa, di situs Sokan pernah ditemukan sejumlah peninggalan kuno, antara lain arca, guci, dan juga sebuah prasasti dari batu.

Sayang, keberadaan benda-benda tersebut sudah tidak diketahui lagi. Pada tahun 2000, sebenarnya masih terdapat sebuah fondasi lama yang terbuat dari batu candi (Sidomulyo, 2007:79).

Pada tahun 1960-an menurut keterangan penduduk setempat, di situs Sokan dahulu masih dijumpai bata-bata merah tebal dalam tanah membentuk semacam gundukan, sementara batu-batu candi yang berserakan banyak digunakan untuk pengeras jalan desa. Di pihak lain, pemilik lahan membuang benda-benda semacam itu ke Kali Wadung. Juga ditemukan sebagian fragmen arca-arca, fragmen keramik kuno, serta mata uang beberapa ikat.

Daerah “Sokan Tegal Genengan” melebar ke arah barat, sedangkan sebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai kecil yang oleh penduduk sekitar disebut Kali Pancir.

Kemudian, sekitar timur laut dari Genengan terdapat Dukuh Ngreco. Di dukuh tersebut, dahulu terdapat banyak arca-arca yang kini sudah tidak dapat diketemukan lagi  (Suwardono, 2013:246). Tinggalan arkeologis yang tersisa saat ini yang mencolok hanya lumpang batu berukuran besar.

Pendukung sejarah situs ini ada di sekitar Desa Genengan, yang dapat dilacak dari toponimnya. Misalnya Dukuh Ngreco yang masuk Desa Sitirejo di timur laut Genengan (seperti yang sudah dibahas di atas), kemudian di sebelah timur Dukuh Ngreco terdapat sebuah dusun yang bernama “Temu”. Nama Temu disebut sebagai desa perdikan parahyangan di lereng timur Gunung Kawi, yang dalam Negarakretagama disebut “Patemon” (Radar Malang, 2014:34). 

Baca juga: Wisata Keluarga di Madiun

 

Saat penulis melakukan penelusuran bersama tim (09 Oktober 2016), di situs tersebut hanya dijumpai beberapa bongkah batu pecahan bata merah kuno dan sebuah fragmen bata merah kuno. Kondisi lereng di sebelah timur dikeruk warga untuk perluasan lahan. Hal ini menjadikan kondisi situs menggenaskan. Menurut keterangan warga sekitar yang senior, dahulu banyak ditemukan arca-arca berkepala gundul (mungkinkah arca Buddha?) yang banyak hilang akibat dibawa orang dan yang dirusak, dibuang ke sungai sekitar situs.

Fragmen-fragmen yang dibuang di sungai telah hilang akibat terbawa arus banjir. Mengingat data arkeologis catatan Belanda dan cerita lisan serta kesaksian penduduk sekitar akan banyaknya artefak di situs tersebut, bahkan juga pernah ditemukan prasasti yang telah dicuri warga, dapat dipastikan lokasi situs ini adalah dahulu suatu candi untuk pen-dharma-an tokoh penting.

Lantas siapa tokoh yang di-dharma-kan di situs ini?

Dalam kitab Negarakretagama, Pupuh XXXVII bait ke-3 dan ke-4, dikatakan bahwa terdapat bangunan pen-dharma-an Ken Angrok (Sri Rajasa) yang bersifat Buddha saat ditemui Prapanca dalam kondisi rusak dan longsor di beberapa sisi bangunannya. Kondisinya ini berbeda dengan bangunan pen-dharma-an yang bersifat Siwa.

Apakah tidak mungkin bahwa bangunan Buddha tempat pen-dharma-an Ken Angrok yang dimaksud Prapanca tersebut adalah situs Sokan Tegal Genengan ini? Hal itu bisa saja dikarenakan keadaan situs ini juga tidak bertentangan dengan pemberitaan Negarakretagama.                                          

Gunung Katu
Gambar 05:  Situasi Situs Sokan Tegal Kagenengan yang hampir tidak menyisakan artefak apa pun
akibat ulah vandalisme dari masa ke masa.

Sumber Gambar: Irman (09 Oktober 2016)

Baca juga: Peran Indonesia di Peristiwa-Peristiwa Dunia

 

 

Bukti-Bukti Penguat Mengenai Wilayah Wagir Sebagai Tempat Pendharmaan Ken Angrok

 

Sebagai penguat kedua teori tersebut akan dipaparkan argumen pendukung sebagai berikut, di Desa Parangargo terdapat situs berupa makam panjang (makam semu) yang berada di dekat lokasi situs Sokan. Warga menyebutnya dengan nama “makam Prabu Anglingdarma”.
Menurut cerita penduduk setempat wilayah Wagir dulunya merupakan keraton dari raja Anglingdarma yang bernama Keraton Malwapati, sedangkan di Gunung Katu adalah Keraton Malayakusuma dari raja raksasa yang bernama Prabu Kalawerdatu, musuh Prabu Anglingdarma. Dan masalah benar tidaknya merupakan tradisi lisan (Suwardono, 2013:254).

Dari tradisi lisan tersebut dapatlah ditafsirkan bahwa adanya dua keraton tersebut adalah ingatan kolektif warga Wagir pada masa lampau yang sudah samar akan adanya “dua candi besar” di wilayah mereka yang dianggap sebagai keraton, yang satu di Gunung Katu dan yang lain di Wagir (di wilayah Genengan) dikarenakan mereka tidak mengerti fungsi reruntuhan bangunan besar tersebut.

Kemungkinan tersebut sangatlah besar, sekaligus semakin memperkuat teori sebelumnya. Pendapat yang kedua, di timur Dusun Genengan, Desa Parangargo terdapat desa yang bernama Mendalanwangi. Mendalan berasal dari sebuah nama yaitu “Mandala-Wangi”.
Mandala merupakan sebuah tempat tinggal atau lingkungan kependetaan atau keagamaan (Zoetmulder, 2011:642), sedangkan kata “wangi” untuk menunjukkan bahwa lingkungan kependetaan tersebut merupakan lingkungan yang suci (Suwardono, 2013:250). Hal ini semakin membuktikan bahwa di dekat wilayah desa tersebut dahulu terdapat suatu ‘bangunan suci’ yang besar.                 

Sebagai penguat bukti kepurbakalaan di wilayah Mendalanwangi, pada hari Sabtu tanggal 30 Oktober 2015 ditemukan reruntuhan candi di tanah tempat pembuatan batu bata dan genting milik Mohammad Syahroni. Ada pun temuan artefak di tempat tersebut antara lain Arca Ganesha dengan panjang 43 cm, lebar bahwa 25 cm, dan tebal 22 cm dengan kondisi pondasi arca sebelah kiri sudah pecah. Kemudian selain temuan arca Ganesha ditemukan juga sebuah lingga, kepala ular dari batu, kepala ular dari tanah liat yang dibakar dan temuan batu-batu bata kuno berukuran besar yang banyak berserakan di tempat tsersebut (Harian Pagi Surya, 2015:17).

Jika dilihat dari kondisi temuan, maka bisa dikatakan bahwa lokasi tersebut dahulu adalah tempat suci atau ada sebuah candi bukur yaitu candi pemujaan kecil. Hal ini semakin menguatkan bahwa wilayah Mendalan dahulu terdapat mandala keagamaan yang kini menjadi nama desa tersebut.

Kemudian, argumen ketiga dan terakhir bahwa “Sokan” yang menjadi nama situs tersebut adalah suatu nama desa (wanua) kuno sebelum nama “Kagenengan” digunakan, dan desa ini termasuk desa penting di masanya. Hal ini dapat dibuktikan dari Prasasti Kubu-Kubu yang dikeluarkan pada tahun 827 Saka (17 Oktober 905 M).

Artefak
Gambar 06:  Temuan Artefak di Desa Mendalanwangi
Sumber Gambar: M. Dwi Cahyono (08 November 2015)

Dari 17 wanwa tpi siring, sekitar tujuh desa, dapat diidentifikasikan di Malang dan termasuk desa “Sokan”. Desa-desa tersebut antara lain:

a) Kubu-Kubu, diidentifikasikan sebagai Kebonagung sekarang, dengan pertimbangan perubahannya dari kata kubu+an=kubwan (kebon), atau bisa juga mempertimbangkan perubahannya menjadi “Kukubu”. Sebagaimana disebut dalam Prasasti Ukir Negara (Pamotoh) yang bertarikh 1194 M, yang terletak di Desa Kebonagung;

b) Batwan, suatu daerah yang kemungkinan besar berada di Batu. Kata Batwan berasal dari kata batu+an, sekarang terletak di Kota Batu(?);

c) Gadangan, berasal dari kata gadang+an berubah menjadi “gadang”. Sekarang terletak di Desa/Kelurahan Gadang, Kecamatan Sukun, Kota Malang;

d) Skarpandan, berasal dari kata skar+pandan menjadi Pandanrejo, terletak di Desa Pandanrejo di Kota Batu;

e) Himad, sekarang terletak di antara Singosari dan Pakis (Cahyono, 2011:65-67).

Beberapa hari yang lalu penulis dan tim berhasil mengidentifikasikan bahwa nama desa f) Panjara, menjadi Dusun/Kampung Panjura di Kelurahan Bandungrejosari, Kecamatan Sukun, Kota Malang.    

Lantas di manakah letak “Sokan” dalam prasasti Kubu-Kubu? Dalam prasasti tersebut terdapat nama g) Kasukhan, yang berasal dari katakasukhan”>Ka+Sukhan>Sokan, yang kini menjadi sebidang tanah tinggi yang diapit oleh dua sungai atau jurang (Sungai Wandung dan Sungai Pancir, pen) yang terletak pada Dusun Kagenengan (Genengan), Desa Parangargo, kecamatan Wagir, yang oleh penduduk sekitar disebut dengan “Sokan” dan terdapat reruntuhan candi di sana (Cahyono, 2011:66-67; Sidomulyo, 2007:79).

Berdasarkan identifikasi tersebut dapat diketahui bahwa nama desa (wanua) kuno Kasukhan adalah nama sekitar abad ke 9 dari desa (wanua) “Kagenengan”. Nama Kagenengan mulai digunakan sekitar abad ke-12, ketika Ken Angrok atau Sri Rajasa di-dharmakan. Sekarang toponimi nama Kasukhan tersebut tertinggal pada sebuah situs bernama Sokan Tegal Genengan, yang dahulunya digunakan sebagai candi pen-dharma-an Sri Rajasa.

Dan memang tidak salah alasan Ken Angrok atau Sri Rajasa di-dharma-kan di sana, mempertimbangkan Sokan sejak dahulu adalah desa kuno yang sudah ada, setidaknya pada abad ke-9 M, dan semakain ramai ketika berubah namanya menjadi “Kagenengan” pada sekitar abad ke-12 M. Hal ini sekaligus membuka tabir kesejarahan Kecamatan Wagir pada masa lampau.   

Baca juga: Wisata Elegan di Kampung Labasan, Sleman

 

 

Wagir Sebagai Suatu Wilayah Kuno yang Istimewa di Masa Lampau

Kemudian, untuk menutup tafsir ini dan sebagai penguat tafsir pen-dharmaan Ken Angrok di Gunung Katu dan di Sokan Tegal Genengan. Dapatlah kiranya kita melihat toponimi kata “wagir” tempat kecamatan lokasi kedua situs itu berada. Menurut Suwardono (2013:252)  kata “wagir” berasal dari kata “wara” dan “giri”; wara berarti “yang terbaik”; “yang utama”; “yang terunggul”, sedangkan giri yang berarti “gunung” atau “bukit”. Jadi, Wagir dapat diartikan sebagai “bukit yang terbaik/yang utama/yang terunggul diantara bukit-bukit”.

Tafsir ini lebih dapat diterima daripada tafsir Wojowasito (1978:15) yang mengatakan Wagir berasal dari kata ”warigadya”. Wagirgadya adalah salah satu nama wuku yang berjumlah 30 yang dikenal oleh masyarakat Jawa. Atau nama ini diambil dari nama “wariga”, jabatan dalam hierarki Jawa kuno yang berhubungan dengan ilmu perbintangan. Kiranya perubahan bunyi dari warigadiya atau wariga menjadi wagir terlalu dipaksakan (Suwardono, 2013:250-251).

Jika pendapat pertama dapat disetujui maka ada dua alasan kuat mengapa daerah tersebut dinamakan “Wagir”. Pertama, daerah tersebut pada masa prasejarah/aksara dipilih oleh sekelompok masyarakat untuk untuk menetap. Bisa jadi kelompok tersebut memandang daerah tersebut “yang terbaik dan terunggul” dalam uji kelayakan yang bertahap sebagai wilayah untuk menetap. Daerah tersebut cocok digunakan untuk tempat tinggal, bercocok tanam, berladang dan berinteraksi sosial (Suwardono, 2013:252).

Hal ini bisa saja terjadi dikarenakan pada awalnya sebuah komunitas masyarakat di suatu desa yang ramai, tidaklah terbentuk secara tiba-tiba, melainkan melalui proses yang cukup panjang. Awalnya komunitas masyarakat kecil di wilayah mengelolah tanah pertanian di sana dan ternyata hasilnya tanah pertanian tersebut semakin subur dan mengundang masyarakat lain untuk datang dan ikut menetap. Dengan demikian semakin ramai dan menjadi besarlah desa tersebut (Asyari, 1993:98).

Begitupun di Wagir. Temuan artefak megalitikum seperti di situs Watu Tumpuk dekat Coban Glothak, kemudian batu gores, lumpang batu dan batu dakon yang terdapat di Dusun Kagenengan (Jati dan Wahyudi, 2015:120) semakin memperkuat bahwa di Wagir dahulu juga terdapat sekelompok masyarakat prasejarah/aksara yang kemudian menetap dan membuat permukiman, hingga terus berkembang hingga ke masa Hindu-Buddha.

Pada masa Hindu-Buddha nama kuno Desa Wagir adalah “Kasukhan” yang disebut pada Prasasti Kubu-Kubu sekitar abad ke-9 M. Kemudian, sekitar abad ke-12 M, Kasukhan berubah nama atau dikenal menjadi “Kagenengan”, sesuai dengan informasi yang terdapat pada Kitab Pararaton, Kitab Negarakretagama, dan Prasasti Mula-Malurung sebagai pen-dharma-an pendiri Dinasti Rajasa.

Menariknya kisah varian cerita panji yang berjudul “Panji Margasmara” juga bersetting di “Kagenengan”. Berikut kisah singkatnya yang dituturkan oleh Hadi Sidomulyo (2014) dan dikutip oleh Henri Nurcahyo (2015:119-120); cerita Panji Margasmara bercerita mengenai jalinan cinta antara Panji Margasmara dengan putri cantik Arya Singhasari bernama Ken Candrasari. Panji sendiri adalah putra Arya Gegelang yang pernah menikah dengan putri seorang patih di Majapahit, tetapi istrinya meninggal dunia dua bulan kemudian.

Dalam keadaan amat sedih Panji berangkat dari rumahnya dan menuju Singhasari, bertemu dengan Ken Candrasari, keduanya jatuh cinta. Namun ternyata Ken Candrasari sudah bertunangan dengan Jaran Warida, putra pendeta sepuh di “Kagenengan (tempat pen-dharma-an Sri Rajasa atau Ken Angrok).

Hubungan gelap ini akhirnya terbongkar, dan adipati Singhasari memerintahkan agar putrinya segera menikah dengan Jaran Warida. Namun Ken Candrasari bersikeras menolak, bahkan mengancam bunuh diri. Ketika ada kesempatan, Ken Candrasari melarikan diri bersama Panji. Mereka kemudian menyisir pantai dari Malang Selatan hingga ke Blitar dan tiba di Rabut Palah (Candi Penataran). Panji bertemu ibunya, Ken Bayan, yang berjanji akan mengantar Ken Candrasari ke Singhasari dan melamar pada orangtuanya atas nama putranya. Akhirnya Panji dan Candrasari menikah, Jaran Warida patah hati dan mengungsi ke pegunungan.

Panji kembali ke Majapahit dan diangkat menjadi Patih Amangkubumi menggantikan mertuanya (yang pertama). Sementara itu, Jaran Warida turun gunung dan menikah dengan Ken Bajrawati, seorang putri seorang demang di Majapahit. Cerita berakhir dengan perkawinan abtara keturunan pasangan Panji Margaswara-Ken Candrasari dan Jaran Warida-Ken Brajawati.

Pada pendapat kedua kenapa daerah ini dinamakan “Wagir” adalah berkenaan dengan dipilihnya tempat tersebut (Kagenengan) sebagai tempat pen-dharma-an Raja Singhasari pertama sekaligus pendiri Dinasti Rajasa leluhur raja-raja Singhasari-Majapahit yaitu Ken Angrok atau Sri Ranggah Rajasa Amurwabhumi atau Sang Girinatha (Suwardono, 2013:252).

Seperti pembahasan di awal bahwa Ken Angrok berdasarkan tafsir di-dharma-kan di Gunung Katu sebagai Siwa dan di situs Sokan Tegal Genengan sebagai Buddha. Dapat dipahami bisa jadi nama Wagir (Wara Giri; gunung yang terpilih dan unggul) merujuk pada Gunung Katu yang dahulu disakralkan oleh penduduk setempat karena gunung tersebut merupakan anak dari Gunung Kawi.

Gunung Kawi adalah sebuah gunung yang disucikan dalam mitologi Jawa Kuna sebagai rompalan gunung Meru dari India (Jambudwipa) dalam Kitab Tantu Panggelaran, yang di Pararaton disebut sebagai “Rabut Katu”. Situs tersebut lantas dipilih sebagai tempat pen-dharma-an Sri Rajasa atau Ken Angrok sebagai Siwa. Maka, wajarlah gunung yang mencolok keistimewaannya ini disebut “gunung yang unggul (Wara-Giri disingkat Wagir)” serta menjadi nama kecamatan yang menanungi desa-desa di sekelilingnya.

Dalam Kitab Tantu Panggelaran sendiri, Rabut Katu disebut juga dengan “katu-katu”, yaitu tempat tinggal “Sang Kumara”, seorang yang diubah menjadi perempuan oleh Bathara Guru dan menyusu kepada istri Bathara Guru yaitu Bathari Uma. Berikut cuplikan teks terjemahan Tantu Panggelaran tersebut dalam bahasa Indonesia:           

“.... Adapun Sang Kumara, dia bercerita kepada Bathara Guru. Dia merasa sangat bersalah (berutang). Katanya “Ah, saya sungguh-sungguh ingin mengikuti Sang Bathara (ih, katuhon ring tumut ring bhatara)”.

Lalu “Katukatu”-lah namanya. Ini karena Sang Kumara tinggal di Katukatu. Adalah sungguh besar (berat) kemalangan yang diderita oleh Sang Katukatu. Ceritanya oleh Bathara Guru dia diubah menjadi perempuan. Sang Kumara ingin menyusu kepada Bathari Uma. Setelah kenyang (puas) menyusu, dia kembali kepada Bathara Guru. Dia ingin menyusu lagi. Dia terpaksa datang kembali pada Bathari. Tahulah Bathari Uma akan kedatangan Sang Kumara.

Gemaslah (jengkellah) Sang Bathari. Tahulah Sang Kumara. Diikutilah (dibuntutillah) sang Bathara. Jadilah dia pohon kalpataru. Diperahlah susu Bathari. Pohon kalpataru tampak mencucurkan darah (mengeluarkan getah) lalu dihiruplah oleh Sang Kumara. Rasanya, seperti susu Sang Bathari. Akhirnya tahulah Sang Kumara, Bathari Uma menjadi kayu. Akhirnya disadaplah sang kalpataru...” (Nurharjarini dan Suyami, 1999:85).

Di sisi lain Wagir (dalam hal ini Desa Kagenengan) pernah juga dikunjungi oleh Bujangga Manik atau Prabu Jaya Pakuan, seorang resi Hindu, dari Kerajaan Sunda yang melancong ke Jawa Timur. Perjalanan tersebut diabadikan ke dalam Naskah Bujangga Manik, yang ditulis sekitar akhir 1400-an atau sekitar awal 1500-an.

Berikut salah satu cuplikan naskah yang menggambarkan perjalanan Bujangga Manik ke Desa Kagenengan:

“... Samu(ng)kur aing ti inya, sacu(n)duk aing ka Kukub, datang aing ka Kasturi, cu(n)duk ka Sagara Dalem, ngalalar ka ‘Kagenengan’, sumengka ka Gunung Kawi, disorang kiduleunana....”

Artinya: “... Setelah berangkat dari sana, tibalah aku di Kukub, aku pergi ke Kasturi, tiba di Sagara Dalem, berjalan melalui ‘Kagenengan’, mendaki Gunung Kawi, yang kulewati dari sisi selatan ...” (Antik, 2013 diakses 31/01/2016: 16:11 WIB).

 PetaGambar 07:  Peta Rute Kunjungan Bujangga Manik di Dearah Malang
Sumber Gambar: Moch. Antik (02 Juni 2015)

 

Menurut Hadi Sidomulyo (2007:103) daerah yang dimaksud dengan “Sagara Dalem” dalam teks naskah Bujangga Manik tersebut kini adalah sebuah dusun bernama Segaran di Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji. Di desa tersebut terdapat tinggalan kepurbakalaan berupa sebaran batu bata di Punden Mbah Cengkaruk dan kumpulan batu candi di selatan Dusun Watudakon sebelah selatan Dusun Segaran, dengan artefak utamanya berupa batu yang mirip permainan dakon, mungkin dapat dihubungkan dengan ritual keagamaan tertentu pada masa lalu.

Menariknya, Dusun Segara Dalem terletak sekitar 4 km di sebelah tenggara Dusun Kagenengan, Desa Parangargo, Kecamatan Wagir. Hal ini semakin membuktikan bahwa ‘Sagara Dalem’ dan ‘Kagenengan’ dalam teks naskah Bujangga Manik tersebut adalah Dusun Segaran dan Dusun Kagenengan yang ada di wilayah Malang saat ini.

 ArtefakGambar 08:  Artefak Batu Dakon di Dusun Watu Dakon Sekitar 400 m dari Dusun Segaran
Sumber Gambar: Moch. Antik (17 Juli 2016)

Baca juga: Lava Tour Gunung Merapi

 

 

Penelusuran dan Napak Tilas Reruntuhan Situs Candi Pendharmaan Ken Angrok di Kabupaten Malang: Penutup

Sayang sekali situs-situs pen-dharma-an Ken Angrok yang bisa menjadi identitas Malang Raya, khususnya Kecamatan Wagir, rusak berat dan hampir saja lenyap. Maka diharapkan kepada pembaca sekalian untuk menimbulkan kesadaran dalam diri guna menjaga serta melestarikan sisa-sisa bangunan cagar budaya tersebut.

Tugas perlindungan benda cagar budaya sebenarnya ada dalam tanggung jawab pemerinta. Hal ini sebenarnya sudah diatur dalam pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya (Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 130 Tahun 2010) bahwa: “Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah mempunyai tugas melakukan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya.” Berkaitan dengan hal tersebut, jadi pemerintah daerah mempunyai tugas dan kepentingan di bidang arkeologi juga harus berwawasan pelindungan terhadap cagar budaya, agar kelestarian sumber daya arkeologi tersebut selalu terjaga dan dapat diwariskan kepada generasi mendatang.

Mengacu pada pandangan R. Soekmono bahwa pengertian pelestarian benda cagar budaya mengandung dua aspek, yaitu: (1) mencegah secara fisik tentang kerusakan atau pemusnahan benda cagar budaya serta mengupayakan agar benda cagar budaya tetap eksis dari bahaya kepunahan, dan (2) mempertahankan serta mengupayakan agar nilai-nilai budaya positif yang terkandung di dalam benda cagar budaya dapat dikembangkan, bahkan diwariskan secara terus-menerus dalam rangka upaya memperkuat jati diri bangsa (Suprapta, 1996:86).

Namun kita sebagai warga negara yang baik hendaknya jangan berpangku tangan saja dalam menyerahkan tugas tersebut ke tangan pemerintah, kita juga harus aktif dalam menjaga dan melestarikan benda cagar budaya tersebut sebagai warisan kebesaran budaya bangsa.

Gunung Katu

Bentuk pelestarian dan penyelamatan situs itu sendiri dapat dilakukan swadaya terlebih dahulu, jika pemerintah setempat enggan segera turun tangan. Misalnya di situs Gunung Katu dapat dilestarikan dengan menjaga kebersihan tempat tersebut, kemudian dapat dijadikan sarana bagi pelajar untuk berolah raga mendaki gunung dan diberikan materi di atas situs sembari beristirahat, dan yang terpenting penanaman kembali tanaman “Katu/Katuk (sauropus androgynus)” di wilayah tersebut. Hal ini karena sudah hampir sulit ditemui tanaman katu di gunung tersebut.

Tindakan ini akan menjadi upaya pelestarian toponimi Gunung Katu itu sendiri dan juga menjadi sarana penghijauan lingkungan yang selaras dengan budaya dan alam. Kemudian untuk situs Sokan Tegal Genengan ada baiknya dibuatkan cungkup kecil untuk menyelamatkan sisa-sisa fragmen bata merah kuno, tembikar, batu andesit dan artefak lainnya. Kemudian cungkup tersebut diberi papan nama, papan petunjuk, mading sederhana, dan diktat mengenai keterangan kesejarahan situs tersebut. Serta di sekitar cungkup ditanami bunga tanjung nagasari (mimusops elengi), sesuai keterangan dari teks Negarakretagama agar lestari.

Semoga hal ini dapat terwujud secepatnya!

Baca juga: Sejarah Dukuh Kemuning, Malang, dan Kepurbakalaannya

 

 

 

Sumber header: kayuhanku.blogspot.com


Tag :


Kopi Soda

Devan Firmansyah a.k.a Kopi Soda adalah seorang calon ahli sejarah dan guru sejarah, antropologi, dan sosiologi.

Profil Selengkapnya >>

Wisata Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Berhenti Belajar! Mari Mulai Berpikir dan Menciptakan


Prisca Primasari - Menulis Adalah Memberi Kado Pada Diri Sendiri


SeoulMate - Menemukan Belahan Jiwa di Seoul


Goblin: The Lonely and Great God


Adele's Hello - Apa Kabar Masa Lalu?


Baegopa Malang - Ada Harga Ada Rasa


my Kopi-O! Salah Satu Spot Nongkrong dan Ngobrol Asyik


Gili Labak - Surga Tersembunyi Di Pulau Garam


The Backstage Surabaya (Bagian 1) : How To Start A StartUp


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Lima)


Twist and Shout (Part 2)


Hujan Sepasar Kata