Dari Hati Ke Hati: Sepiring Kupang Dan Ketangguhan Dalam Menjalani Kehidupan

02 May 2016    View : 3080    By : Niratisaya


Makanan. Salah satu hal yang krusial dalam hidup kita.

Makanan pula yang mempertemukan saya pada satu pengetahuan tentang hidup dan kehidupan, serta sosok yang menginspirasi saya tentang kegigihan hidup.

Di antara puluhan—atau mungkin ratusan—makanan cepat saji dan restoran yang mengutamakan makanan instan dan/atau kecepatan dalam menyajikan pengisi perut, saya menyadari bahwa semakin sedikit restoran yang mengedepankan kualitas rasa dan interaksi antara penjual makanan, makanan itu sendiri, dan pelanggan.

Kebutuhan dan situasi zaman sekarang ini menuntut kecepatan untuk semua hal. Dan, sebagai salah satu hal yang krusial dalam kehidupan, makanan (dan mereka yang terlibat di dalamnya) pun dituntut untuk mengimbangi kebutuhan zaman. Tubuh suburlah berbagai makanan siap saji, terpinggirkanlah makanan (dan penjualnya) tradisional.

Sejujurnya, sampai saya bertemu dan membaca sebuah artikel tentang kesejahteraan binatang ternak, saya tidak pernah berpikir jauh tentang apa yang saya masukkan ke dalam mulut. Saya hanya tahu kulit ayam goreng restoran siap saji A begitu renyah dan berbumbu dibanding restoran siap saji B. Namun, selesai membaca topik kesejahteraan binatang ternak, saya mulai berpikir ulang tentang apa yang saya masukkan ke dalam mulut dan perut.

Menurut artikel yang saya baca, sebuah daging yang berkualitas berasal dari binatang yang hidup bebas di padang rumput—dikeliling rerumputan hijau dan ditimpa matahari pagi. Bukannya berdesak-desakan di dalam kandang dan menikmati makanan berbahan kimia. Dengan cara demikian, binatang ternak akan menjadi bahagia--> dagingnya akan menjadi lebih enak--> mereka yang menyantap secara tidak langsung akan turut merasakan kebahagiaan.

Artikel kali ini memang tidak akan secara langsung membicarakan tentang kesejahteraan hewan ternak dan kaitannya dengan kesejahteraan pikiran kita.

Kali ini, saya akan membicarakan sebuah pertemuan yang bukan hanya mampu mengisi perut saya, tapi juga mendamaikan hati dan membawa inspirasi. Kala itu bagi saya, dan semoga di kesempatan ini juga buat kamu, Artebian.

 

 

Ibu Kupang: Makanan dan Pikiran Tenang vs Makanan dan Perut Kenyang

Beberapa hidup untuk makan.

Beberapa makan untuk hidup.

Dua kalimat itu pada dasarnya terdiri dari kata-kata dan susunan yang sama. Namun perbedaan predikat dan objek segera menarik garis batas yang jelas dan tegas. Di sini, saya tidak sedang mencari mana yang benar atau mana yang salah. Sebaliknya, saya sedang terduduk di meja kerja sembari memikirkan pertemuan rutin saya di akhir pekan dengan seorang perempuan tua—“Ibu Kupang”, demikian saya memanggilnya.

Sekilas, Artebian tidak akan menemukan hal yang istimewa dari wanita tua tersebut. Ia hanya salah satu dari sekian banyak penjual kupang yang tersebar di Surabaya.

Namun, kenyataan bahwa di antara para penjual kupang, yang berkeliling di kompleks rumah saya, hanya ia satu-satunya penjual yang rutin saya jumpai di akhir pekan adalah fakta yang tidak bisa dan tidak boleh saya lupakan.

Selama ini, saya hanya mengenal Ibu Kupang sebagai satu-satunya perempuan yang menjual kupang lezat dengan cita rasa yang tidak berubah—yang sering membeli sebotol air mineral di toko saya. Sampai suatu hari, rasa penasaran akhirnya menelan saya habis-habisan sewaktu saya melihatnya turun dari becak dengan tertatih-tatih.

Dengan usianya yang tergolong renta, pikiran pertama yang terlintas di benak saya adalah kenapa repot-repot seperti itu?

Maksud saya, di usia yang tidak lagi muda dan tampak tergolong dalam kelompok penduduk nonproduktif, seharusnya Ibu Kupang berada di rumah, duduk, dan menikmati masa tua.

Sembari membawa piring (dan rasa penasaran plus setumpuk pertanyaan), saya pun menghampiri wanita yang setiap hari duduk di dekat pilar gapura tak jauh dari rumah saya. Setelah memesan, seporsi kupang dan tiga tusuk sate kerang yang berbonus lento, saya pun bertanya dengan hati-hati, berapa usia Ibu Kupang.

Tersenyum, memamerkan giginya yang tak lagi lengkap, Ibu Kupang menjawab 82 tahun.

Saya tergugu dan kembali bertanya, “Nggak capek Bu, bawa dagangan segitu beratnya? Rumah Ibu di mana?”

“Di Tanggulangin, Mbak,” jawab Ibu Kupang.

“Sidoarjo?!” Saya terpana mendengar jawaban Ibu Kupang.

Ibu Kupang tergelak dan tertawa, memamerkan deretan giginya yang tak lagi lengkap. “Lha, memangnya ada lagi Tanggulangin yang lain, Mbak?”

Dan, dimulailah percakapan saya dengan Ibu Kupang yang kemudian menguak sebuah perjalanan kehidupannya yang bisa kita jadikan sumber inspirasi dan kekuatan.

Ibu Kupang

Sudah empat puluh tahun Ibu Kupang menjual yang sama. Pada kurun waktu itu pula, ia menyusuri rute jalan yang sama dengan berjalan kaki—dari Tanggulangin, Sidoarjo, menuju Kembang Kuning, Surabaya. Yang rupanya berjarak tiga puluh empat kilometer.

Perbedaannya kini hanyalah dari tahun ke tahun, jarak 34 kilometer Sidoarjo-Surabaya yang ia tempuh perlahan mulai menyusut. Tujuh hari yang dihabiskannya menjajakan remis berbumbu petis dan jeruk nipis turut berkurang.

Namun, pengalaman puluhan tahun yang ia jalani dan cecap tidak juga hilang. Demikian pula semangat Ibu Kupang. Ia masih berjualan. Meski kini harus menggunakan bantuan bemo dan becak agar tetap bisa berjualan, dan hanya di akhir pekan, Ibu Kupang tetap menjajakan dagangannya di usia yang tak lagi muda.

“Apa Ibu nggak punya anak?” tanya saya sewaktu Ibu Kupang tengah menuangkan kuah ke atas lontong dan kupang dalam piring saya.

“Ya, punya, Mbak. Tapi sudah terbiasa bekerja dan bergerak, nggak enak rasanya kalau cuma diam. Monggo,” balas Ibu Kupang seraya menyerahkan kupang pesanan saya.
Ada yang terasa mengganjal di hati saya sewaktu mendengar ucapan Ibu Kupang. Namun saya memilih untuk mengendapkan ganjalan itu dan segera membawa pulang piring saya yang sudah berisi lontong kupang.

Tangulangin, Sidoarjo. Mendengar dua kata itu, Artebianz tentu bisa dengan mudah mengasosiasikan tempat tinggal Ibu Kupang dengan salah satu “tempat wisata” yang terkenal di Sidoarjo: LuSi. Alias Lumpur Sidoarjo.

Ya, rumah Ibu Kupang adalah salah satu rumah yang lelap dalam dekapan lumpur Sidoarjo. Meski kini ia telah berhasil mendapatkan kembali sebuah rumah sebagai tempat bernaung, tak jauh dari rumah lamanya, tapi sedikit banyak tenggelamnya rumah yang ia tinggali tentu membawa kenangan buruk bagi Ibu Kupang. Seandainya saya menjadi si ibu dengan usia yang sedemikian renta, mungkin saya akan memilih untuk ikut anak dan momong putu (mengasuh cucu). Ketimbang meneruskan pekerjaan yang bisa dibilang nggak menghasilkan apa-apa.

Kenapa saya berkata demikian?

Pasalnya, Artebian, dari percakapan singkat saya dengan Ibu Kupang, saya mendapatkan cerita bahwa ia berangkat dari rumahnya dengan kendaraan umum. Kalau sedang beruntung, kendaraan dengan dominasi warna kuning itu akan mengantarnya sampai ke beberapa meter tempat Ibu Kupang biasa berdagang. Kalau tidak, ia terpaksa harus memanggil becak.

Namun, yang terburuk adalah dia harus memanggul panci besar berisi kupang dan kuahnya, beserta lontong-lontong dan bumbu-bumbu pelengkap. Belum lagi tangannya harus membawa tumpukan piring dalam ember.

Itu baru berangkatnya, Artebian. Untuk pulang, terkadang Ibu Kupang harus kembali dengan berjalan kaki—tak peduli apakah dagangannya sudah tandas atau hanya berhasil menarik satu-dua perut. Dengan beban yang sama, di kepala dan di tangan.

Alih-alih merasa lelah dan memasang ekspresi maysgul, Ibu Kupang selalu menawarkan senyumannya. Bahkan ketika seorang pembeli dengan lancangnya membayar standar satu porsi lontong kupang, sementara ia meminta ekstra bumbu dan puluhan cabai.

Apakah kita menjumpai hal semacam ini di restoran cepat saji?

Saya rasa, kita bisa menghitung dengan satu tangan kesempatan semacam itu. Atau asal kita punya uang.

Baca juga: Rujak Cingur Ala Bu Dah

 

 

Ibu Kupang Dan Sosok Tangguh Wanita Tanggul

Dari cerita Ibu Kupang, saya pun membandingkannya dengan kehidupan anak-anak muda Indonesia zaman sekarang. Mulai dari mereka yang saya kenal via interaksi di toko orangtua saya, hingga yang saya tangkap dari pengamatan saya di setiap tempat yang saya kunjungi.

Tentu mustahil dan ngaco rasanya kalau saya menyuruh anak-anak sekarang harus hidup seperti Ibu Kupang. Tidak. Saya tidak menyarankan demikian, Artebian.

Pada satu sisi, saya menyadari kehidupan sekarang menuntut kita untuk menanggapi dengan cepat segala yang ada di sekitar kita. Namun, pada sisi lain, saya melihat bahwa segala tuntutan kecepatan dan percepatan dalam kehidupan ini membuat jiwa generasi muda—generasi kita—Artebian memiliki emosi yang rentan dan tidak sabaran, mudah menelan segala apa yang ada di sekitarnya (informasi—masih ingat balada nge-like dan ng-amin-in di FB?—dan makanan) tanpa berpikir panjang, dan terpengaruh oleh hal-hal populer.

Walhasil, ketimbang menemukan generasi muda penampilan yang bergas dan penuh semangat, saya lebih sering melihat mereka mengeluh dan gampang menyerah.
Oleh karena itu, lewat artikel kali ini saya ingin menggarisbawahi semangat hidup Ibu Kupang dan semangat yang membawanya terus melangkah sejauh 68 km dalam satu hari, selama 40 tahun. Sambil tersenyum. Ia menjalani kehidupannya dengan apa adanya, menyesuaikan diri dengan situasinya ketika keadaan berubah total—bahkan bisa dibilang menjungkirbalikkan kehidupannya (rumah yang tenggelam dalam lumpur).

Saya ingin agar kita kembali melihat generasi di atas kita dan kesederhanaan mereka dalam mengarungi kehidupan, sehingga tidak mudah mengeluh untuk hal-hal sepele dan berkubang di dalam duka.

Ini kehidupan, Artebian. Dan era globalisasi tidak hanya terbuka bagi penduduk dunia, tapi juga menghilangkan batas dan jarak negara. Jangan sampai mental kita melemah dan berikutnya, jati diri serta semangat kita ikut punah.

Masa semangat kita yang masih muda—yang masih seujung kuku pengalaman dan kesempatan hidup ini—dikalahkan oleh perempuan tua?

Shame on us, Artebian.

 

 

N

Baca juga: Kenikmatan Sederhana dalam Semangkuk Mi Ayam Seorang Pedagang Kaki Lima, Surabaya

 


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Meragajiwa Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Raga Senja Berjiwa Fajar: Sebuah Renungan Kemerdekaan Untuk Pemuda


Memahami Esensi Bersyukur dalam Tuhan, Maaf, Kami Belum Bersyukur


Bukit Pawuluhan: Bukan Bukit Biasa


Bangkok Knockout: Permainan Maut antara Hidup dan Mati


Indah Kurnia, Memimpin Tanpa Kehilangan Identitas Sebagai Wanita


Mirota dan Segala yang Berbau Jawa


Lembah Rolak


Oma Lena - Part 2


Blinded by Love - Karena Cinta Sungguh Membutakan


Literasi Desember: Literaturia, Budaya Berpikir Kritis, dan Literasi Media (Bag. 1)


Lepas (Tak) Bebas


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Lima)