Embroideries: Menyusup Dalam Kehidupan Para Wanita Timur Tengah

14 Oct 2014    View : 9480    By : Nadia Sabila


Ditulis oleh  Marjane Satrapi
Penerjemah   Tanti Lesmana
Diterbitkan oleh   Gramedia Pustaka Utama
Terbit pada   Maret 2006
Genre  nonfiksi, novel grafik, komik, budaya, autobiografi
Jumlah halaman   136
Nomor ISBN   979-22-2007-0
Koleksi   Perpustakaan Pribadi
Rating   5/5



Wanita, diciptakan sebagai makhluk yang penuh perasaan, lembut, sensitif, dan tak jarang pula ekpresif. Wanita, di belahan dunia manapun pada dasarnya memiliki karakter yang sama, mereka penuh emosi, impulsif, dan kompleks. Tak terkecuali para wanita di negara Timur Tengah yang terkenal sangat protektif terhadap gerak wanita, salah satunya adalah Iran. Ya, buku berjudul asli Embroideries atau yang dialih bahasakan menjadi Bordir yang akan saya ulas ini, akan menyibak tabir tingkah polah, adat, kebiasaan, isu, hingga obrolan-obrolan intim khas wanita di Iran, buah karya Marjane Satrapi. Artebianz pernah dengar nama penulisnya?

Sekilas tentang Marjane Satrapi, wanita kelahiran Prancis yang berdarah Iran ini dikenal lewat novel yang selalu ditulis unik dalam bentuk grafis atau komikal. Yang paling terkenal adalah novel grafis berserinya, Persepolis. Bisa dikatakan lewat Persepoli-lah, Marji, panggilan akrab Marjane Satrapi, ini dikenal dunia. Persepolis sendiri mengisahkan masa remaja Marji selama di Iran setelah Revolusi Islam meletus di negara beribukota Teheran tersebut. Tak hanya novel grafis, Marjane Satrapi juga membuat beberapa film. Persepolis, tentu saja, tak luput untuk digubah menjadi bentuk film animasi dengan judul sama dan memenangi penghargaan salah satunya dari Academy Awards tahun 2007.

Kembali ke Embroideries, buku ini pun tak jauh-jauh dari budaya Iran. Bedanya, Embroideries lebih menekankan sisi feminisme. Disampaikan dengan cara yang ringan dan kekeluargaan, Embroideries mengantarkan pembacanya mengupas dan menyelami sisi-sisi sensistif wanita Timur Tengah yang mungkin tak kita sangka sebelumnya. Pada dasarnya, tak ada perbedaan yang terlalu signifikan. Wanita Iran juga senang mengobrol, bergunjing, bergosip, maupun mencurah isi hati. Topiknya tentu saja cinta, pria, serta kehidupan seks mereka bersama para pria. Dikemas dalam gaya bahasa dan penyampaian yang bersahabat, polos, lugas, dan humoris, sukses membuat pembacanya larut dalam obrolan para wanita yang terdiri dari beragam usia ini tanpa harus merasa tabu atau sungkan.

Baca juga: Intertwine - Takdir yang Berjalin



Rumpian Kala Minum Teh.…

Obrolan dimulai saat acara minum teh yang dipimpin oleh nyonya Satrapi, nenek Marjane bersama teman-teman nenek. Melalui sudut pandang Marjane yang dipanggil Marji dalam cerita ini, kita akan dihadapkan pada kisah-kisah percintaan dan seks yang mengharukan hingga konyol. Marji menjadi wanita yang termuda dalam acara minum teh di Embroideries.

rumpi
Hmm, sedikit ralat, mungkin kisah mengharukannya tertutup oleh gaya penyampaian cerita yang humoris sehingga kesedihan dan kekonyolan para tokoh-tokohnya pun pada akhirnya bisa ditertawakan bersama. Berikut ini beberapa topik obrolan dalam Embroideries yang paling epic menurut saya:

Palsukan Keperawanan dengan Silet....

“Kau masih ingat Nahid?” demikian nenek Marji membuka percakapan. Obrolan pertama membahas kisah cinta seorang wanita bernama Nahid, kawan lama nenek Marji, yang sudah meninggal dunia. Awalnya, nenek Marji menarik ulur keingintahuan teman-temannya mengenai kisah cinta Nahid dengan alasan bahwa tak baik membicarakan orang yang sudah meninggal. Namun akhirnya, iktikad untuk tak membocorkan kisah rahasia itu pun tak tertahan (ah, wanita). Dikisahkan saat sama-sama berusia 18 tahun, mendiang Nahid curhat kepada Nenek Marji (yang saat itu bahkan sudah menceraikan suami pertamanya). Di zaman itu, hampir semua pernikahan adalah hasil dari perjodohan orang tua. Nahid, mengadu pada nenek Narji bahwa ia ketakutan menjelang tiga minggu pernikahannya.

embro_scene_silet2

Tapi, bukan pernikahan itu yang menakuti Nahid, melainkan, karena Nahid sudah tak perawan lagi akibat telah melakukan hubungan dengan kekasih yang ia cintai. Layaknya budaya timur, apalagi pada zaman dulu, keperawanan seorang wanita sangat dijunjung tinggi sebelum ia resmi menikah. Nahid sangat khawatir, jika suaminya nanti menyadari bahwa ia sudah tak perawan. Bisa-bisa laki-laki itu akan mengadu pada ayah Nahid dan bukan tak mungkin Nahid akan mendapat murka ayahnya karena dianggap telah mempermalukan keluarga.

Nenek Marji akhirnya tergerak hatinya untuk menyelamatkan muka sahabatnya itu. Ide konyol pun muncul. Nenek Marji memberikan silet kepada Nahid agar Nahid bisa menggores kulitnya sendiri sehingga bisa sedikit mengeluarkan darah saat malam pertama. Darah keperawanan “palsu” itu nantinya akan membuat suami Nahid merasa jantan dan Nahid pun akan dianggap masih perawan.

Tak disangka-sangka, “misi suci” itu harus gagal karena kepanikan. Bukannya menggores kulitnya sendiri, Nahid malah menggores testis suaminya. Tapi setelah itu, laki-laki malang tersebut tak meributkan soal ketidakperawanan Nahid, karena dirinya sendiri telah kehilangan kejantanannya karena silet itu. Hadirin dalam jamuan minum teh tersebut pun tertawa terbahak-bahak.

Baca juga: OPERATION: Break the Casanova's Heart - Jangan Main Hati!

Gadis Kecil Menikahi Seorang Kakek Demi Gengsi Keluarga....

Obrolan mereka terus bergulir, masih seputar pernikahan yang tak diidamkan. Kali ini cerita salah seorang kerabat bernama Parvine yang dipaksa menikah oleh orang tuanya saat dirinya berusia 13 tahun. Calon suaminya, berusia 69 tahun! Tentu saja kakek tua itu bukan orang sembarangan. Jenderal Mafaherolmalouk, mengidamkan seorang istri yang belia dan orangtua Parvine pada saat itu bersedia merelakan putri kecilnya demi memiliki menantu seorang jenderal.

Kisah tentang pernikahan beda usia yang terpaut jauh pun juga datang dari kerabat Ibu Marji (yang juga menjadi peserta jamuan teh tersebut). Suatu hari, Taji, nama ibu Marji dalam novel itu, didatangi oleh temannya yang bernama Parvaneh. Parvaneh datang dengan bersemangat sambil mengabarkan undangan bahwa ia akan menikahkan putrinya yang berusia 18 tahun dengan seorang pria berusia 41 tahun.

Alasannya? Lagi-lagi gengsi. Putri Parvaneh yang bernama Bahar akan menikah dengan pria multijutawan asal London, Inggris. Pernikahan itu terkesan dipaksakan, karena pada saat Taji menghadiri resepsi pernikahan itu, Bahar duduk bersanding dengan sebingkai foto pria bule. Pria itu sendiri bahkan tak menghadiri pernikahannya dengan putri Parvaneh! Sekali lagi, hanya demi harta. Dan tentu saja, pernikahan Putri Parvaneh pun tak bahagia. Belakangan, Putri Parvaneh menyadari bahwa suami “bule”nya itu adalah seorang homoseksual yang sama sekali tak tertarik pada wanita.

Baca juga: Dunia Cecilia - Dialog Bumi dan Surga

 

Superioritas Wanita di Tengah Dusta dan Kemelut Kehidupan....

Seperti membordir kain, berbagai kemelut kehidupan dirangkai dengan apik dalam sebuah jalinan obrolan yang mengalir dan lepas oleh Marjane Sartrapi. Pada dasarnya, Embroideries menguraikan bagaimana wanita-wanita dewasa di Iran memahami lawan jenis, menjaga kehormatan keluarga, dan melakukan sesuatu yang tak jarang konyol demi memuaskan suami mereka masing-masing.

“Cinta adalah lawan dari akal sehat” demikian ucapan salah satu tokoh dalam buku ini. Sekilas, obrolan para wanita ini mengesampingkan cinta, tapi tak sepenuhnya. Ada pula tokoh yang memulai pernikahannya atas dasar cinta. Namun sayang, cinta tulus mereka berakhir dengan dusta dari pihak pria. Beberapa dari wanita tersebut merasa disanjung dan penuh cinta pada awal perkenalan dengan pria mereka. Mereka merasa tersanjung dan dicintai saat pertama kalinya, namun pada akhirnya sang pria hanya mengincar harta keluarga mereka saja.

embro_scene

Sudah kodrat jika wanita senang dikagumi dan tampil cantik, terutama di hadapan para pria. Dalam Embroideries ini, ada pula karakter wanita “cerdik” yang memutar otak mereka agar suami mereka tak berpaling saat raga wanita telah menua. Salah satu tokoh ada yang melakukan operasi plastik untuk transplantasi payudara sehingga suaminya tetap tergila-tergila.

Dari buku ini, bisa disimpulkan bahwa wanita Iran sesungguhnya sangat naïf. Ada dua sifat inti wanita yang diceritakan di sini: wanita lugu atau wanita yang superior. Wanita Iran yang telah berumur dan telah menikah lebih dari satu kali diceritakan lebih “tahan banting”. Mereka berupaya untuk menjadi pribadi feminin yang superior dan mendominasi kaum pria (suami mereka).

Bordir di sini juga menjadi bahasa figur untuk keperawanan. Di akhir cerita, jelas bahwa wanita Iran seperti wanita dengan budaya Timur pada umumnya, sangat menjunjung tinggi keperawanan. Keperawanan adalah milik mereka yang paling pantas dibayar mahal. Tak semua beruntung melepaskan milik mereka yang paling berharga itu dengan pria yang tepat. Ingin rasanya membordir kembali benang yang tak ternilai harganya itu jika ternyata harus direnggut oleh orang yang salah. Namun tak dapat dipungkiri, inilah hidup. Seperti kalimat penutup yang diucapkan oleh nenek Marji:

“Kadang kau yang menunggangi kuda, kadang kuda yang menunggangimu.”

 

 

 

Salam,

Nadia Sabila

 

 




Nadia Sabila

Nadia Sabila adalah seorang jurnalis yang menggandrungi travelling dan makanan pedas.

Profil Selengkapnya >>

Review Buku Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Mengasah Rasa Lewat Kehidupan dan Gelombang Ujian


Hujan dan Pelangi


Teluk Hijau Banyuwangi


Orange Marmalade: Saat Cinta Tidak Memandang Dunia (2015)


Prisca Primasari - Menulis Adalah Memberi Kado Pada Diri Sendiri


Nikmatnya Sop Buntut di


Coffee Bean & Tea Leaf Surabaya Town Square


Pengelanaan Sempurna


Reason - Eva Celia: Sebuah Penemuan Jati Diri


Adiwarna 2017: Karyakarsa - Eksposisi Daya Cipta dan Rasa DKV UK Petra


(K)Aku


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Empat)