Me Before You - Jojo Moyes and a Bowl of Warm Love Story

01 Oct 2016    View : 6161    By : Niratisaya


“You need to widen your horizon, Clark. You only get one life. It’s actually your duty to live it as fully as possible.” Will Traynor.

Louisa and Will

 

Jojo Moyes adalah salah satu penulis kondang dan memiliki fanbase yang cukup besar. Mendengar dan membaca reputasi penulis Inggris ini, saya pun tergoda untuk membaca novelnya—yang ngomong-ngomong setebal 656 halaman dan masih belum saya selesaikan Tongue Out

Tetapi, setelah menonton versi filmnya dan membaca kritikan yang menganggap seri layar lebar dari Me Before You ini nggak sensitif dalam menangani masalah pelik berkaitan dengan topik euthanasia, saya jadi pun makin penasaran; bagaimana sebenarnya versi cetaknya?
Saya yakin dengan tebal halaman demikian, pasti ada yang terlewatkan. Termasuk kemungkinan menjadi penyebab ketidaksensitifan Me Before You versi film.

Namun, kabar yang menyebutkan kalau Moyes-lah yang menjadi penulis skenario untuk adaptasi dari novelnya ini membuat saya menggenapkan tekad dan berangkat menonton di bioskop yang berada di mal Marvel City, Surabaya.

 

 

A Glimpse of Me Before You

Diangkat dari novel karya Jojo Moyes dengan judul yang sama, Me Before You menceritakan tentang betapa cepat kehidupan seseorang berubah. Secepat seseorang membaliktangannya. Inilah yang terjadi kepada Will Traynor (Sam Claflin). Seorang bankir berusia 30an. Pada satu malam dia adalah seorang pria muda dengan semangat berpetualang yang tinggi, karir yang melejit bak roket, dan kekasih yang cantik. Tetapi pada malam berikutnya, Will kehilangan segalanya. Semua petualangan serunya bersama teman-teman dekatnya, karirnya sebagai bankir muda yang sukses, dan kekasihnya—Alicia (Vanessa Kirby). Yang lebih menyakitkan dari semuanya adalah kenyataan pahit bahwa Will selamanya akan terjebak di dalam kamarnya, di dalam tubuhnya yang nggak bisa dia gerakkan sama sekali.

Dua tahun kemudian, Will masih berada di kondisi yang sama dan nggak mengalami kemajuan. Dia masih membutuhkan bantuan orang sekitarnya untuk melakukan hal-hal kecil. Kenyataan ini membuatnya makin depresi. Imbasnya, mereka yang bekerja merawat Will pun ikut stres.

Will

Di sisi lain kota yang sama, seorang wanita muda berusia 26 tahun bekerja dengan bahagia di sebuah kedai kopi dan kue. Wanita itu bernama Louisa Clark (Emilia Clarke) dan sering mengenalkan dirinya dengan Lou. Tanpa diminta, Lou memberikan nasihat ekstra kepada para pelanggan di tempatnya bekerja, mengobrol dengan mereka, bahkan membungkus makanan salah seorang dari pelanggannya ketika si pelanggan mengatakan bahwa dia tak bisa menghabiskan makanannya.

Sayangnya, layanan ekstra dan senyum Louisa nggak bisa mencegahnya dari pemecatan. Satu hari, si pemilik menutup kedai miliknya lebih awal. Dia memulangkan Lou lebih awal dengan sebuah amplop berisi gaji terakhirnya.

Kabar ini membuat keluarga Louisa terpukul, terutama sang ayah (Bernard Clark yang diperankan Brendan Coyle) yang dengan terang-terangan mengatakan bahwa kondisi ekonomi keluarga Clark benar-benar buruk. Dia tidak memiliki pekerjaan, istrinya (Josie Clark yang diperankan Samantha Spiro) hanyalah ibu rumah tangga biasa, sang putri sulung dipecat, putri bungsunya (Katrina yang diperankan Jenna Coleman) hanya seorang pekerja di toko bunga dan terpaksa berhenti kuliah karena harus merawat putranya sebagai single parent.

The Clarks

Louisa pun segera mencari pekerjaan. Tetapi nggak banyak pekerjaan yang cocok untuk Lou. Pertama, wanita muda itu punya selera berpakaian yang unik. Kedua, pengalaman Lou hanya sebagai pelayan kedai. Untunglah, pada kesempatan yang kesekian saat Lou kembali menyambangi semacam kantor lowongan pekerjaan, ada sebuah lowongan baru yang muncul. Pekerjaan itu nggak membutuhkan banyak keahlian khusus—hanya kepribadian ceria yang diutamakan, gaji yang ditawarkan cukup lumayan, dan berlokasi nggak jauh dari rumah Louisa. Yang harus dilakukan Lou hanya merawat seorang anggota keluarga yang lumpuh.

Saran pertama yang diterima oleh Louisa dari si pegawai kantor pusat lowongan pekerjaan adalah mengubah penampilannya saat wawancara.

Louisa pun meminjam pakaian sang ibu. Albeit she looked normal, but Louisa felt out of place in her mother’s clothes. Dan ini berpengaruh terhadap sikap Lou selama diwawancarai oleh sang pemilik rumah, Camillia Traynor (Janet McTeer), dan bertemu dengan suami Camillia, Stephen Traynor (Charles Dance)—yang semula dikira Lou sebagai pasien lumpuh yang harus dirawatnya. Dia menjadi gugup dan melempar komentar sembarangan demi menutupi ketidaknyamanannya. Apalagi ketika perlahan-lahan roknya robek dan memperlihatkan pahanya.

Louisa and Camilla

Namun, rupa-rupanya sikap canggung atau pakaian Louisa sama sekali nggak memengaruhi penilaian Camillia. Ia menerima Lou karena pembawaannya yang ceria.

Tentu saja, diterimanya Louisa sebagai perawat bukanlah akhir segalanya. Meski itu menyelesaikan masalah finansial di keluarga Clark. Ini karena Lou mendapati Will Traynor bukanlah seorang pasien yang mudah atau mau bekerja sama. Hari demi hari Louisa merasa keceriaannya disedot oleh sifat depresif Will. Pria itu begitu sarkastik dan menjadi semakin depresif manakala sang kekasih yang jarang mengunjunginya datang bersama sahabat Will untuk menyampaikan kabar rencana pernikahan mereka.

Berita itu menjadi pukulan bagi Will yang semenjak awal sama sekali nggak menerima kondisinya sebagai pria lumpuh. Dia menghancurkan foto-fotonya sebelum dia mengalami kecelakaan.

Louisa and Will

Namun Louisa nggak bisa mengundurkan diri dari pekerjaannya seperti sebelumnya sekarang. Nggak ketika masalahnya bukan lagi tentang finansial keluarganya, tapi juga tentang membantu Katrina, si adik, yang ingin berkuliah dan mewujudkan cita-citanya. Louisa sama sekali nggak pernah memikirkan masalah keuangan keluarganya. Tetapi, sikap sarkastik Will pada akhirnya membuat wanita muda itu mengaku dia menerima pekerjaan sebagai perawat Will, dan berusaha melakukan yang terbaik—meski Will berusaha membuatnya menyerah, karena dia benar-benar membutuhkan uang.

Sejak pengakuan Louisa itu, seakan ada unsaid understanding antara dirinya dan Will.

Will mulai membuka diri dengan menerima bantuan Louisa. Ini kentara ketika Will meminta Lou untuk mengambil salah satu koleksi DVD pria itu dan menonton bersama—alih-alih membuat secangkir teh atau membuatkan makanan. Lewat sebuah film Prancis dengan subtitle, Lou dan Will mulai menjalin komunikasi. Will, si mantan pecandu olah raga ekstrem yang selalu bersemangat dalam menjalani hidupnya, berusaha membuat Lou yang selalu memandang rendah dirinya untuk lebih berani dalam menjalani hidup. Keduanya pun saling bercerita tentang kehidupan masing-masing—terutama Louisa—dan menjadi dekat. Sekilas, Will seakan mencoba untuk melihat dan merasakan kembali kehidupan normal lewat sosok Lou yang chatty.

Will and Louisa

Namun, Lou nggak mengira di balik sikap sarkastik Will dan motivasi yang diberikannya kepada wanita muda itu tersembunyi sebuah rahasia gelap. Bahwa masa kontrak kerja Louisa di keluarga Traynor juga menjadi masa kontrak persetujuan Will untuk hidup. Will sudah membuat perjanjian dengan sang ayah untuk mengakhiri kehidupannya setelah masa enam bulan itu lewat.

Informasi itu sontak membuat Lou terkejut dan patah semangat. Louisa pun bertanya-tanya seputus asa apa Will sehingga dia sampai ingin mati? Apakah nggak ada sesuatu di dunia ini yang mampu membuat Will menemukan kembali semangat hidupnya?

Louisa and Will

Baca juga: Gelombang Ujian dan Bagaimana Kita Menghadapinya

 

 

Those Mes and Yous in Me Before You

 

1. Louisa Clark

Louisa adalah seorang gadis ceria seperti bunga matahari dengan selera pakaian yang mewakili kepribadiannya. Anehnya, kehidupan Louisa sama sekali nggak mewakili keeksentrikan pakaiannya. Alih-alih bekerja di bidang seni, wanita muda yang biasa dipanggil Lou oleh orang-orang terdekatnya ini justru berkubang di sebuah kedai kopi sebagai pelayan selama 6 tahun—hanya karena dia ingin memenangkan taruhan yang disodorkan Katrina, adiknya. Katrina menantang Lou untuk mendapatkan pekerjaan dalam 24 jam. Dan, Lou berhasil mendapatkan pekerjaannya. Bukan hanya itu, dia bekerja di sana sampai akhirnya si pemilik menutup usahanya.

Louisa

Lou pun akhirnya harus pontang-panting mencari pekerjaan yang sesuai dengannya. Pekerjaan yang nggak mengharuskannya berpikir banyak atau mematuhi serangkaian peraturan njelimet ala perusahaan. Sikap picky Lou itu membuat pegawai yang mencarikannya pekerjaan pusing, sampai akhirnya keluarga Traynor mengajukan lowongan pekerjaan untuk seorang perawat tanpa keterampilan khusus, atau pendidikan keperawatan itu sendiri. Mereka hanya membutuhkan seorang perawat yang ceria. Satu karakter yang bakal langsung dikenali siapa pun dari Lou dalam sekali pandang.

Bicara soal sosok Louisa, Moyes menggambarkannya sebagai stereotip anak pertama. Dia bersikap pasif terhadap sekitar, selalu mementingkan kepentingan keluarganya, dan diajarkan untuk mengalah kepada adiknya—lalu berikutnya, mengalah kepada Patrick (Matthew Lewis), kekasihnya. Meski itu berarti Lou harus melupakan impiannya sendiri dan siapa dirinya.

Sampai akhirnya dia bertemu dengan Will Traynor yang mendorong kesabaran Lou sampai batas, dan memaksa wanita itu mengaku bahwa dia bekerja di kediaman keluarga Traynor karena dia benar-benar membutuhkan uang. Pada saat yang bersamaan, Lou merendahkan harga dirinya di depan Will.

Will and Louisa

Will :
Spare me the cod psychology, just go and rage your grandma’s wardrobe or whatever it is you do when you’re not making tea.
(Will terlihat hendak memutar kursi rodanya untuk meninggalkan Louisa)
Louisa :
You don’t have to be an ass! Your friend deserved it. I’m just trying to do my job as best I can. So it would be really nice if you didn’t try and make my life as miserable as you apparently make everyone else’s.
Will : And what if I said I didn’t want you hear?
Louisa : I’m not employed by you. I’m employed by your mother, who unless she says she doesn’t want me here anymore I’m staying, not because I care about you or particularly enjoy your company but because I need the money! I really need the money.
Will : (Will menatap Louisa tanpa berkata-kata untuk beberapa saat)
Just put them in the drawer.

Alih-alih merendahkan Louisa, Will yang semula terkejut sama sekali nggak marah. Ia terlihat merenungi apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan Louisa. Ketika Will berkata "Just put them in the drawer", saat itulah saya merasa pria yang sebelumnya seorang dare devil ini mulai menerima Louisa. Atau paling nggak dia menghargai usaha Lou memperbaiki pigora-pigora foto lama Will.

Keesokan harinya, Lou dan Will mulai berinteraksi dengan sebuah film Prancis ber-subtitle. Sejak film Prancis tersebut, Will perlahan mendidik dan memperluas wawasan Louisa mengenai dunia—subsequently, her own world. Siapa Louisa sebenarnya, apa yang sejatinya diinginkan wanita muda itu, dan di mana seharusnya dia berada.

Louisa's Fashion

Will
Where did you pick up your exotic tastes?
Louisa
:
What do you mean by that?
Will :
Well it can’t be from around here.
Louisa : Why not?
Will :

Because this is the kind of place people come to when they got tired of actually living.
People here think excitement is a new “Please Be Quiet” sign going up in the library. You should be out there claiming the world as your own! Showing your leprechaun shoes to dodgy men.

Louisa : I like my life.
Will : You like everything.
Louisa : I’m happy here.
Will : Well, you shouldn’t be.
Louisa : I was supposed to leave. I, uh, had a place at Manchester.
Will : What were you going to study?
Louisa : Fashion.
Will : Hm. So why didn’t you go?
Louisa : (merundukkan kepala)

Louisa and Will

Mulanya Will memperhatikan gaya pakaian Louisa yang mencolok, mulai dari warna sampai motifnya. Will seolah menangkap bahwa meski Lou mengenakan pakaian yang mencolok dan tampak ceria, ada sesuatu yang disembunyikan wanita muda itu dari dunia. Stealthily, Will uncovered Louisa's hidden longing and desire in life.

Sebagai gantinya, Louisa menyibak tabir kesendirian Will. Langkah pertama dan sederhana Louisa adalah mencukur jenggot dan kumis Will, kemudian memotong rambut pria itu.

Will and Louisa

 

2. Will Traynor

Sebelum mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh dari leher hingga ujung kaki, Will adalah seorang pria yang bisa dibilang sempurna. Dia terlahir di keluarga terpandang, punya pekerjaan yang mapan, dan kekasih yang rupawan. Namun, begitu dia mengalami kecelakaan dan sama sekali nggak mengalami kemajuan setelah dua tahun, Will mulai kehilangan kepercayaan diri. Terutama ketika satu per satu orang terdekatnya mulai menjauhinya—Alicia, kekasih Will, baru mengunjungi pria itu saat dia akan menikah dengan teman dekat Will, Rupert (Ben Lloyd-Hughes). Bisa dipastikan kedatangan Alicia dan Rupert memberi pukulan terakhir bagi harga diri Will.

Will sontak menghancurkan semua foto yang memajang gambar dirinya, Alicia, dan teman-temannya dengan menabrak meja.

Louisa and Will

Namun, kali itu nggak seperti biasanya. Keinginan Will untuk menutup diri dengan membuat jengkel siapa pun di sekitarnya bertabrakan dengan keinginan Louisa yang ingin bekerja dengan baik—menyenangkan ibu Will agar dia nggak kehilangan pekerjaannya, dan pada akhirnya bisa menghidupi keluarganya yang mengandalkan Lou sebagai pencari nafkah.

Kejujuran Louisa dan ekspresi tulus wanita itu pun membuat Will merenungi tindakannya dan sikapnya selama ini.

Perlahan, Will pun menyambut kehadiran Louisa dan nggak lagi menganggapnya sebagai wanita yang setiap hari menjarah isi lemari neneknya dan hanya memiliki keahlian membuat teh. Will mulai menganggap Lou sebagai salah satu teman mengobrol yang menyenangkan. Sebelum akhirnya dia mulai kembali belajar tersenyum dan melihat dunia lewat optimisme Louisa. Sampai akhirnya, Louisa mendengar satu kabar yang menguji optimismenya yang selalu dianggap Will nggak memiliki batasan; Will ingin mengakhiri hidupnya setelah masa kerja Louisa selesai.

Louisa

Will selalu dihantui oleh masa lalunya yang demikian cemerlang. Dia bahkan berusaha membunuh dirinya, Louisa melihat luka sayatan di pergelangan tangan Will. Ini karena pria itu merasa nggak akan ada lagi yang bisa dilakukannya dengan tubuh yang lumpuh total. Namun, kehadiran Louisa yang blakblakan dan seenak hatinya melakukan apa pun yang diinginkannya, mulai mengubah pandangan Will terhadap hidup dan dunia. Dengan pakaian anehnya dan energinya yang berlimpah, Lou berhasil membuat Will tersenyum bahkan menonton konser musik klasik.

Will and Louisa

Nggak hanya itu, Lou berhasil membuat Will berinisiatif mendatangi pesta pernikahan Alicia dan Rupert dan mengiakan ajakan Louisa berlibur ke Mauritania.

Louisa and Will

Sayangnya, segala warna yang dihadirkan Louisa dan cinta berikut perhatian yang dilimpahkan wanita muda itu nggak berhasil membuat Will mengubah keputusannya. Tekad Will sudah bulat, walau di sisi lain demikian pula cinta pria itu kepada Louisa.

Will : I have to tell you something. 
Louisa
I know. I know about Switzerland, I have known for months. Listen, I know this is not how you would have chosen it, but I can make you happy.
Will : No.
Louisa : What? 
Will : No, Clarke. This could be a good life, but it’s not my life, it’s not even close. You never saw be before. I loved my life. I really loved it. I can’t be the kind of man who just accepts this.
Louisa : You’re not giving it a chance, you’re not giving me a chance. I have become a whole new person these last six months because of you.
Will : I know and thats why I can’t have you tied to me. I don’t want you to miss all the things that someone else can give you. And selfishly I don’t what you to look at me one day and feel event the tiniest bit of regret or pity.
Louisa : I would never think that!
Will : You don’t know that. I can’t watch you wondering around the annex in your crazy dresses. Or see you naked and not be able to…. Oh, Clarke if you have any idea what I want to do to you right now. I can’t live like this.

Cinta membuat Will bersedia menceritakan keinginannya untuk menjalani euthanasia di Swiss kepada Louisa. Namun, nggak seperti kepercayaan Louisa yang yakin Will akan mengubah keputusannya setelah dia berhasil menunjukkan bahwa pria itu masih bisa menikmati hidupnya, meski dalam keadaan lumpuh. Sayangnya, Lou nggak menduga bahwa Will juga punya agenda tersembunyi untuk dirinya: mengubah Louisa menjadi lebih percaya diri. Sementara itu, Will merelakan dirinya keluar dari kamarnya dan berbaring atau duduk di sebelah Louisa, demi melihat wanita yang dicintainya tersenyum dan menikmati hidupnya. Meski sebelumnya Will nggak ingin ada orang yang melihatnya dengan pandangan iba.

Louisa and Will

Tetapi, itu nggak membuat Will melupakan keadaannya sekarang ini—atau harga dirinya sebagai seorang laki-laki yang ingin mencintai wanita pujaannya dengan sepenuh hati.

 

3. The Clarks

Keluarga Clark terdiri dari orangtua Louisa (Bernard dan Josie), Katrina dan Thomas—putranya, dan sang kakek. Sebelum Louisa bekerja di sebagai perawat Will, nggak seorang pun di rumahnya yang menganggap serius Louisa. Bernard dan Josie, entah sengaja atau nggak sengaja, membandingkan Louisa dan Trina (panggilan Katrina) dengan menyebut putri bungsunya sebagai "the brain in the house", sedangkan Lou yang nggak terlalu menonjol kecerdasannya 'hanya' dilihat sebagai anak ceria dan baik hati.

Perubahan dalam keluarga Clark setelah Louisa bertemu dengan Will nggak terlalu terasa menurut saya. Hubungan Katrina dan Lou memang sempat menegang ketika Trina mengatakan keinginannya untuk kembali berkuliah, sementara Lou baru saja curhat mengenai Will dan tingkah antiknya yang membuat Lou nggak kuat kerja di keluarga Traynor.

Lou and Trina

Namun nggak lama, hubungan Trina dan Lou kembali normal seperti sedia kala.

Sementara itu, untuk orangtua Louisa, orangtua Will memberi jabatan untuk Bernard sebagai kepala penjaga kastil milik keluarga Traynor. Tentu kejadian ini menjadi perubahan yang signifikan dalam kehidupan keluarga Clark, terutama ketika Bernard nggak lagi mengandalkan Louisa sebagai pencari nafkah.

Di sisi lain, saya agak merasa "it's too good to be true". Ya, keluarga Traynor memang kaya raya. Ya, memang bisa jadi orangtua Will mau menuruti permintaan putra mereka untuk menjadikan ayah Lou sebagai penjaga kastil—apalagi Louisa cukup dekat dengan keluarga Traynor. Tetapi, saya tetap nggak bisa menghilangkan perasaan kalau dari titik itu, Me Before You jadi agak ke-cinderella-cinderella-an.

The Clarks

Untung saja, Lou nggak diceritakan sebagai pembantu di keluarga Traynor. Dengan kastil dan nama keluarga yang terkenal di kotanya, saya mau nggak mau menyamakan Will dengan sosok pangeran dalam dongeng.

Ngomong-ngomong di salah satu adegan pada babak terakhir film Me Before You, Bernard, yang sebelumnya selalu diceritakan menuntut Louisa untuk mendapatkan pekerjaan dan menjadi pencari nafkah utama di keluarga Clark, mendadak berubah menjadi ayah yang bijak. Secara otomatis, saya melihat perubahan Bernard ini berkaitan dengan pengaruh keluarga Traynor. Khususnya uang dan nama baik keluarga itu. Yang lagi-lagi meninggalkan kesan negatif di mata saya untuk cerita dan sosok ayah Louisa ini.

 

4. The Traynors

Keluarga Traynor awalnya digambarkan sebagai sebuah keluarga aristokrat yang memandang sebelah mata mereka yang nggak sederajat. Ini pendapat saya setelah melihat Camilla Traynor muncul dan mewawancarai Louisa.

Steven and Camilla

Atau ketika Camilla dan Steven berdebat mengenai Will yang ingin pergi ke Swiss dan menjalani euthanasia.

Camilla He gave me six months. We can still persuade him.
Steven : And you think the pretty waitress is going to do that?

Dari percakapan orangtua Will, kita bisa melihat Artebianz bahwa:

1. Steven masih memandang rendah Louisa dan menganggapnya sebagai pelayan cafe, alih-alih pekerja di rumahnya yang merawat putranya.

2. Camilla, meski mulai menghargai Louisa, tapi masih menganggap wanita muda itu sebagai alat untuk membujuk Will. Nggak hanya itu, pilihan kata Camilla juga menunjukkan bahwa dia nggak memedulikan suaminya dan menganggap waktu enam bulan yang diberikan Will adalah untuk dirinya. Hanya dia yang bisa dan boleh menanggapi keinginan Will—yakni dengan membujuknya. Ketimbang menghormati dan melaksanakan keinginan putranya itu seperti yang dilakukan oleh suaminya, Steven.

Lucunya, pada bagian membujuk Will, Camilla menggunakan kata "we". Mengisyaratkan bahwa dia menginginkan seseorang dan semua orang menuruti kenginannya.

 

5. Patrick

Cerita cinta nggak akan seru kalau nggak ada pesaing cinta. Dan dalam Me Before You, ada Patrick, kekasih Louisa yang berprofesi sebagai pelatih dan motivator. Patrick selalu berpikiran positif yang selalu berhasil menyaingi level optimisme Louisa.

Namun, saya merasa baik Patrick maupun Louisa nggak saling mencintai. Mereka hanya menjalin hubungan karena nggak ingin kesepian (Louisa) dan ingin membuktikan kehebatan diri (Patrick). Sementara itu, nggak ada satu pun dalam diri Lou dan Pat yang bisa dibilang romantis. Misalnya saja sewaktu mereka memutuskan untuk pergi berlibur bersama.

Patrick and Louisa

Patrick Listen, about the holiday....
Louisa :

Yeah?

(Louisa meletakkan gelas minumannya)

Patrick : How do you fancy....
Louisa : (Louisa memukul meja seperti sedang memukul drum)
Patrick : Norway?
Louisa :

Norway?

(Louisa memasang ekspresi aneh)

Wow....

Patrick : (Patrick tersenyum lebar)
Louisa :

(Louisa segera memasang senyum yang sama lebarnya seperti Patrick)

Okay! Woo!

Patrick and Louisa

Patrick yang menjadi pegawai terbaik dua tahun berturut-turut naga-naganya nggak menganggap liburan bersama Louisa sebagai satu momen khusus, yang mestinya dihabiskan berdua saja. Dia menganggapnya sebagai liburan yang bisa dimanfaatkannya untuk mengejar target-targetnya. Seperti dia selalu berusaha memanfaatkan tiap waktu luangnya untuk berolahraga, alias menjaga bentuk tubuhnya yang kemudian akan berpengaruh terhadap citra dirinya.

Sikap Patrick yang berusaha untuk menjadi yang terbaik ini, akhirnya membuat Louisa sebagai pihak yang nggak berdaya dalam hubungan mereka. Lou selalu berusaha untuk menampakkan senyum ketika Patrick tersenyum dan nggak bisa mengatakan dengan tegas kalau dia menginginkan liburan dalam arti sebenarnya dengan Patrick. Bukan sekadar pengisi waktu luang setelah Patrick dan teman-temannya menyelesaikan triathlon.

Selain itu, berbagai ekspresi yang mewakili percakapan Lou dan Patrick mengisyaratkan bahwa ada banyak kata dan emosi yang nggak bisa diucapkan Louisa. Misalnya seperti kata "putus". Lou mungkin saja takut dia nggak akan mendapatkan kekasih 'sehebat' Patrick, menimbang dia selalu dianggap sebagai sosok yang nggak berarti di keluarganya. Nggak seperti Katrina.

Patrick and Louisa

Namun, kalau Artebianz mengamati baik-baik, sebenarnya Patrick-lah yang membutuhkan Louisa. Despite love wasn't the reason at all, yet still apparently Louisa is the very person who made Patrick ticking. Kehidupan Lou yang menyedihkan dan nggak berarti menjadi 'sumber inspirasi' bagi Patrick untuk terus memacu diri, in my humble opinion. Patrick baru merasa terancam ketika muncul Will dengan kursi rodanya, alih-alih kuda putih, yang mencuri Louisa dan perhatiannya dari Patrick.

Baca juga: Sebuah Wajah, Sebuah Rasa

 

 

Me Before You, After It All....

Me Before You adalah salah satu film yang cukup mengesankan bagi saya. Yah, walaupun cerita romance dalam film garapan Thea Sharrock ini masih mengandung klise yang sama seperti film-film romance yang mungkin sudah Artebianz tonton. Kamu juga mungkin bisa menebak alur ceritanya, Artebianz. Namun, jika kita melihat ke dalam film ini, tanpa melirik atau membandingkannya dengan film romance—atau sick-literature lainnya, kita akan melihat bagaimana Sharrock dan tim di belakang layar Me Before You cukup jeli dalam menggambarkan kisah cinta Louisa dan Will. Bisa dikatakan sejeli Moyes yang memilih nama Louisa (yang berarti gadis yang tegar dan optimis) dan Will (yang berarti keinginan).

Pembrokeshire

Misalnya saja dari segi pemilihan setting. Sharrock menggunakan Pembrokshire, Wales, yang dikenal nggak terlalu indah atau glamor sebagai setting Me Before You. Namun, pemilihan warna dan tone film yang cerah saat di luar kediaman keluarga Traynor membuat film yang berdurasi nyaris dua jam ini nggak terlalu gloomy. Pilihan Sharrock itu bahkan semakin kuat kesan hangat Me Before You. Atau sedih, ketika penonton diajak melihat dunia dari kacamata Will.

Will

Atau dari segi sinematografi. Salah satu adegan yang saya suka adalah ketika sebuah daun maple berwarna hijau gugur dan melayang jatuh. Perlahan daun itu berubah menjadi merah sebelum akhirnya berubah kecokelatan saat menyentuh sekumpulan daun lainnya. Lalu, setting beralih ke Paris, tempat Will menginginkan Louisa berada walau tanpa dirinya.

The End

Sharrock dan tim editing Me Before You tampak memahami naskah dan hubungan Lou-Will, sehingga mereka bisa memperhatikan detail sekecil itu untuk menggambarkan hasil akhir keputusan Will. Meski saya nggak pengin membaca lebih jauh saat daun maple yang kecokelatan itu ditendang seorang anak-anak dan jadi hancur berantakanFrown

The End

Namun, sebagai salah satu penonton yang ceriwis, saya masih memiliki kerutan dan kernyitan untuk Me Before You. Khususnya untuk Will dan wardrobe Louisa.

Rasanya aneh saat mendengar Will memotivasi Louisa bahkan mendorong wanita muda itu untuk hidup sepenuhnya, mendorong dirinya tanpa berusaha berhenti di satu titik, dan memperluas wawasannya. Sementara itu, Will sendiri sejak awal kukuh memilih satu pilihan. Whatever happen to "push yourself and don't settle, mate?". Tetapi yah... bisa jadi pilihan Will itu sebagai bukti kalau dia nggak menetap di satu titik dan terus bergerak.

Iya kan, Artebianz?Undecided

Untuk wardrobe Louisa.... Saya bertanya-tanya, apa seorang benar-benar harus tampil payah seperti seekor itik buruk rupa, sebelum akhirnya bertemu dengan sang pangeran dan berubah menjadi angsa?

Mind you, Artebianz, I love every bit detail of Louisa's fashion. Escpecially her colorful shoes. Tetapi, saya selalu mengerutkan dahi di paruh pertama film Me Before You saat melihat pakaian Louisa, apalagi ketika dia bekerja. Kaus dengan warna mencolok dan celana yang mirip celana piama, atau celana yang biasa dipakai ahjumma di drama Korea. Yaiks!

Louisa and Will

Saya tahu, terkadang film dan mereka yang terlibat di dalamnya suka melebih-lebihkan sesuatu, agar bisa menarik perhatian penonton—atau menonjolkan perbedaan-perbedaan. However, I just wished that they didn't make Louisa looked like an old rug in the first half of the movie.

Untung saja, akting dan interaksi Khalisi dan Finnick benar-benar klop. Emilia Clark dan Sam Claflin membuat saya percaya bahwa mereka bukan sedang memerankan Louisa dan Will, tapi mereka adalah Louisa dan Will.

Louisa and Will

"Live boldly, Clark. Push yourself. Don’t settle. Wear those stripy legs with pride. Knowing you still have possibilities is a luxury...." Will Traynor

 

 

How many popcorns I would give to Me Before You? This much!

Rating Film

Baca juga: Energi Kehidupan dan Kuatnya Kemauan



Your fellow movie cruncher,

N


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Review Film Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Om Telolet Om, Memanfaatkan Isu Viral Untuk Kemaslahatan Umum


Mendung Pekat dan Indahnya Pelangi dalam Apa Pun Selain Hujan


Taman Nasional Baluran - Afrika-nya Indonesia


Pee Mak Phra Khanong (พี่มาก..พระโขนง): Cinta Tanpa Batas


Lalu Abdul Fatah - Profesi, Delusi, dan Identitas Diri


Berkuliner Ala Foodtruck Fiesta di Graha Fairground Surabaya Barat


Pandu Pustaka: Perpustakaan Keteladanan Di Pekalongan


Oma Lena - Part 3


5 Lagu Indonesia Tahun 90-an Mengesankan Versi Artebia


Literasi Februari: GRI Regional Surabaya dan Adham Fusama (Editor)


Narasi Rindu


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Empat)