Filosofi Pohon Pisang Pada Hubungan Ayah Dan Anak

02 Apr 2015    View : 8469    By : Amidah Budi Utami


Beberapa hari yang lalu saya diajak ketemuan oleh sepupu saya yang sedang ada keperluan di Surabaya. Saya tentu saja senang mendapat kabar tersebut. Sepupu saya ini cowok, umurnya beberapa tahun  di bawah saya. Saya sendiri selalu bangga dengannya karena dia tipe cowok yang berprestasi dan bisa diandalkan terutama di lingkungan keluarga. Namun dia tipe pendiam, tidak mudah untuk mengetahui apa yang dipikirkan atau dirasakannya. Meskipun saya adalah tempat curhat bagi semua sahabat, keluarga, dan orang-orang dekat lainnya, namun dia jarang sekali melakukan hal itu.

Malam itu kami ngobrol banyak sekali, mulai dari cerita tentang kesibukan masing-masing, kemungkinan membuka usaha, kabar orang-orang rumah (anggota keluarga lain), serta sedikit tentang persoalan asmara masing-masing. Mungkin ini pertama kalinya dia banyak membuka diri. Saya juga banyak mendapatkan input dari pengalamannya. Saya menemukan orang yang tepat untuk diajak diskusi tentang hidup dan kehidupan.

 

 

Dia Dan Impian Terpendamnya

Salah satu hal yang baru pertama saya ketahui tentang dia adalah impiannya yang terpendam. Dia punya impian untuk membesarkan kembali nama usaha yang didirikan oleh ayahnya. Ayahnya telah meninggal sejak sekitar 10 tahun yang lalu saat dia masih kelas 6 SD. Sejak ayahnya meninggal nama usaha keluarganya mulai berkurang gaungnya. Dia merasa berkewajiban untuk membesarkan kembali nama usaha keluarganya. Harapannya, dia bisa membuat usaha itu lebih besar dari zaman ayahnya dulu. Kata orang apalah arti sebuah nama. Namun menurutnya hal itu penting. Menurutnya hal itu adalah kebanggaannya pada keluarga dan juga kewajibannya sebagai penerus keluarga.

Saya adalah salah satu orang yang mengenalnya dan juga mengenal ayahnya. Saya selalu bisa melihat sosok ayahnya dalam dirinya. Secara fisik memang tidak, dia lebih meniru fisik ibunya yang cantik, alhasil dia tumbuh jadi cowok ganteng. Namun secara karakter dia mirip ayahnya. Saya tahu ayahnya dan ibunya adalah orang-orang pekerja keras. Mereka bisa kerja dari pagi hingga pagi lagi. Dulu hampir setiap hari keluar kota. Namun saya juga melihat hasil yang nyata dari kerja keras tersebut.

Baca juga: Takdir Dan Pertanda-Pertanda

 

 

Filosofi Pohon Pisang

Impian sepupu saya mengingatkan pada filosofi pohon pisang. Saya teringat pohon pisang yang banyak tumbuh di pekarangan. Pohon pisang selalu tumbuh merumpun. Di bagian akar induk selalu bisa tumbuh tunas baru.

filosofi pohon pisangFoto diambil dari yesikaholmes.wordpress.com

Pohon pisang termasuk salah satu tumbuhan yang tidak berumur lama dan hanya berbuah sekali saja. Biasanya setelah berbuah pohon pisang akan mati. Namun dia (si pohon pisang) tidak perlu bersedih, karena akan selalu ada tunas baru yang akan tumbuh persis di sebelah pohon induk yang telah mati. Ketika induk pisang mati bukan berarti dia tidak berbekas dan dilupakan dunia. Induk pisang telah menyiapkan generasi penerusnya. Tunas pisang tumbuh tepat di sebelah induknya menandakan hubungan yang sangat erat antara gererasi sebelumnya dengan generasi penerusnya, tidak seperti jenis-jenis pohon lainnya. Sifat tunasnya pun akan sama persis seperti sifat induknya.

Saya melihat hubungan yang sangat erat antara sepupu saya dan ayahnya layaknya hubungan tunas pisang dan induknya. Walaupun ayahnya telah lama meninggal tapi sosok ayahnya tidak pernah hilang darinya. Dia tahu apa yang seharusnya dia lakukan sebagai generasi penerus ayahnya. Walaupun ayahnya tidak pernah meminta atau berpesan apa pun padanya. Walaupun ayahnya hanya punya sedikit waktu bersamanya, ketika dia masih kecil dan belum tahu banyak tentang kehidupan.

hubungan ayah dan anakFoto diambil dari www.lovethispic.com


Di sini saya ingin menyampaikan sebuah perenungan, mungkin nasib bisa berbuat sekehendaknya. Nasib bisa saja mengambil Ayah kita, ibu kita, harta kita, bahkan diri kita sendiri. Nasib bisa saja menjatuhkan kita di posisi paling bawah dalam hidup. Nasib juga bisa menempatkan kita pada posisi yang tidak seharusnya. Namun jangan pernah lupa siapa diri kita.



Siapa Diri Kita?

Dulu saya tidak pernah memikirkan hal ini, namun setelah lulus kuliah saya baru bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin saya jalani. Saya ingin mencari kesejatian diri saya. Dulu waktu remaja, saya mengidolakan orang-orang hebat, seperti kakak kelas saya yang ganteng dan jenius, penulis paling populer di dunia, atau bintang film terkenal. Namun semakin dewasa umur, saya malah tidak lagi mengidolakan orang-orang hebat di luar sana.

Idola nomor satu saya adalah ibu saya, idola nomor dua saya adalah nenek saya. Saya melihat cerminan diri saya pada mereka. Kami hanya beda zaman yang artinya beda kehidupan. Saya mengidolakan ibu saya yang selalu gigih, disiplin waktu, sanggup bangkit dari cobaan terbesar dalam hidupnya serta taat beribadah. Mengenai idola kedua, sang nenek, saya belum pernah melihat beliau seumur hidup. Beliau telah meninggal sebelum saya lahir. Namun melalui cerita dari ibu saya dan saudara-saudara yang lebih tua, saya mengetahui siapa nenek. Beliau adalah seorang yang mahir berinvestasi, tentunya cara-cara berinvestasi pada masanya.

Dengan berakar pada ibu dan nenek, saya semakin percaya diri untuk melangkah menjalani kesejatian saya. Bukan berarti saya menjadi mereka. Tidak. Saya menjadi diri saya yang lebih percaya diri untuk melangkah. Saya ingin menjadi manusia terbaik versi saya. Mungkin saja suatu saat generasi penerus saya ingin bercermin pada saya, maka saya ingin menjadi cermin terbaik untuknya.  

Baca juga: Mengasah Rasa Lewat Kehidupan dan Gelombang Ujian

 




Amidah Budi Utami

Amidah Budi Utami adalah seorang perempuan yang bekerja di bidang IT dan menyukai seni, sastra, fotografi, dan jalan-jalan.

Profil Selengkapnya >>

Meragajiwa Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Ayah Dan Hari Ayah


Dimas-Lissa: Pudarkan Kapitalisasi Pendidikan Lewat Sekolah Gratis Ngelmu Pring


Memahami Esensi Bersyukur dalam Tuhan, Maaf, Kami Belum Bersyukur


Art Idol


Keep Being You - Isyana Sarasvati


Bubur Turki Kayseri: Bubur Ayam Versi Spicey


Kedai Es Krim Zangrandi - Sejak 1930


Patirthan Candi Kidal Yang Tersembunyi


Literasi Oktober: GRI Regional Surabaya - Menimbang Buku dalam Resensi


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Ketiga)


Ode Untuk Si Bungsu


Dua Windu Lalu, Lewat Hening Malam