Guru Bangsa Tjokroaminoto

11 May 2015    View : 8824    By : Niratisaya


Hijrah adalah pergerakan perubahan jiwa dari sekadar pion menjadi sosok yang berdikari dan mampu memimpin, dimulai dari diri sendiri—Tjokroaminoto mengenai paham hijrah dan perjalanan hidupnya.

 

Aloha, Artebianz!

Akhirnya, saya bisa mereview Guru Bangsa Tjokroaminoto. Walau lewat satu bulan dari premier. Sejak adaptasi kehidupan salah satu tokoh politik Indonesia ini digembar-gemborkan media, saya tertarik dan berniat untuk menontonnya. Alasan utama saya adalah saya tertarik pada kepribadian HOS Tjokroaminoto yang memberi ilmu dan membiarkan setiap muridnya berkembang sesuai pemahaman masing-masing. Apalagi setelah saya mengunjungi rumah beliau di Jalan Peneleh, Surabaya. Perkara Reza Rahardian yang dipilih untuk memerankan Tjokroaminoto, saya menganggapnya sebagai bonus; penyedap mata Tongue Out



Sekilas Cerita tentang Guru Bangsa Tjokroaminoto

Disclaimer: mungkin saya tidak menceritakan sinopsis secara utuh, karena saya terlambat sepuluh menit. Begitu masuk ke dalam teater, saya kebagian cerita mulai dari pernikahan Tjokroaminoto dengan perempuan yang dijodohkan dengannya: Soeharsikin (Putri Ayudya).

Meski tidak saling kenal, apalagi punya jalinan perasaan, pernikahan Tjokroaminoto dan Soeharsikin terbilang cukup ayem. Keduanya mampu saling mengimbangi. Khususnya Soeharsikin yang menganut paham tradisional mengenai peran perempuan dalam kehidupan masyarakat Jawa: manut (patuh) pada suami. Sampai satu ketika Tjokroaminoto mulai menyampaikan gagasan hijrah dalam hidupnya—bahwa kehidupan ini adalah pergerakan dari perubahan jiwa.

Gagasan hijrah muncul dalam benak Tjokroaminoto ketika ia melihat perlakuan pihak Belanda pada masyarakat Jawa (pribumi) yang merendahkan, bahkan cenderung memperlakukan pribumi layaknya kuman. Salah satunya adalah atasan Tjokroaminoto (nahasnya, saya lupa blas siapa nama si atasan ini) yang menekankan pentingnya kebersihan, khususnya ketika seorang pribumi menyajikan teh padanya. Dia, si atasan, sampai-sampai menyuruh bawahannya untuk memegang teko teh yang panas agar kuman di tangannya mati. Tanpa memedulikan ekspresi kesakitan bawahannya.

Guru Bangsa Tjokroaminoto

Tjokroaminoto yang melihat ini akhirnya terganggu. Dari tak mengacuhkan perintah atasannya untuk berhenti bekerja, Tjokroaminoto benar-benar memberontak dengan menyuruh pria yang membawa teh untuk pergi. Tentu saja, pemberontakan Tjokroaminoto tidak berakhir begitu saja. Para pembesar mulai mengawasi Tjokroaminoto, yang kemudian memutuskan untuk pindah—atau hijrah, sesuai dengan istilah yang sering didengungkan oleh Tjokroaminoto di sepanjang cerita. Dia pun meninggalkan istrinya yang tengah mengandung dan melaksanakan gagasan yang selama ini “mengganggunya”.

Maka, dimulailah perjalanan Tjokroaminoto. Dari kota kelahirannya, Probolinggo, Tjokroaminoto bergerak ke Semarang. Di kota yang terkenal dengan lumpianya itu, Tjokroaminoto bertemu dengan seorang pedagang Arab yang menyarankannya untuk pindah ke Surabaya. Sebuah kota yang dinilai tengah berkembang dan cocok untuk karakter Tjokroaminoto.

Di kota yang menjadi tempat berkumpulnya berbagai etnis (Jawa, Tionghoa, Belanda, Inggris, dan lain-lain) dan berisi berbagai karakter yang mencerminkan kepolosan sekaligus perubahan yang tengah terjadi pada Surabaya. Di sinilah, Tjokroaminoto dan paham hijrahnya berkembang. Dia bukan lagi menjadi pegawai, tetapi juga guru, pedagang, politikus sekaligus wakil rakyat—dalam arti sebenarnya.

Di sisi lain, Tjokroaminoto sebagai suami sekaligus ayah juga tampil ksatria. Dia menepati janjinya untuk selalu menyertakan Soeharsikin dalam hijrahnya. Meski tidak secara fisik, Tjokroaminoto menganut paham yang sama dengan sang istri untuk tidak menyertakan kekerasan—ke dalam rumah, praktik politik, maupun pendidikan yang diberikannya pada murid-muridnya.

Guru Bangsa Tjokroaminoto

Satu tindakan yang didasari niat yang baik tidak selalu membawa dampak yang baik pula. Demikian pula dengan usaha pendidikan (via politik dan sosial budaya) Tjokroaminoto. Para muridnya—Semaoen (Tanta Ginting), Muso (Ade Firman Hakim), Darsono (yang saya tidak tahu siapa aktor yang memerankannya), Agus Salim (Ibnu Jamil), dan Koesno/Soekarno (Deva Mahendra)—mengembangkan ilmu dan pemahaman politik Tjokroaminoto ke arah yang berbeda-beda.

Indonesia yang kala itu masih berupa rangkaian pulau dan beberapa suku yang terpecah-pecah serta tak memiliki nama mulai mencari jati dirinya, lewat masyarakatnya yang berjuang dan berkembang melawan penjajah sembari mengimbangkan diri terhadap perubahan yang terjadi. Serupa dengan Tjokroaminoto yang berusaha menyeimbangkan diri dengan perubahan dalam hidupnya serta hijrah yang tengah diwujudkannya.

Baca juga: Filosofi Kopi - Bukan Sekedar Adaptasi Dari Cerita Pendek



Orang-Orang di Sekitar Guru Besar Tjokroaminoto

Saya tidak akan banyak mengomentari akting Reza Rahardian di sini. Selain saya tidak lagi meragukan akting Rahardian yang selalu mampu menyampaikan karate tokoh yang diperankan, saya juga tidak terlalu banyak merasakan tantangan untuk peran Rahardian sebagai Tjokroaminoto.

Guru Bangsa Tjokroaminoto

Ya, Rahardian mampu menampilkan fisik seorang Tjokroaminoto lengkap dengan ekspresi wajah yang khas dan kumisnya yang melintang di atas bibir. Sementara untuk bahasa tubuh… saya tidak bisa banyak berkomentar. Kecuali mengatakan bahwa pembawaan Rahardian cukup selaras dengan Tjokroaminoto dalam bayangan saya. Sementara itu, bahasa Jawa yang dilontarkan Rahardian nyaris sempurna. Tapi—ah, izinkan saya untuk menyimpan bagian ini untuk kritik di bagian lain.


Soeharsikin

Sebaliknya, saya akan mengomentari tokoh-tokoh lain yang menjadi pendukung Tjokroaminoto. Dimulai dari sosok Soeharsikin, perempuan kuat sekaligus lembut yang dalam kehidupan Tjokroaminoto. Jujur, semula saya mengira Soeharsikin akan diperankan oleh Maia Estianti—karena foto yang pertama kali dipublikasikan adalah foto Rahardian lengkap dengan kostum dan kumis Tjokroaminoto dengan Estianti yang mengenakan kebaya. Tapi ternyata Soeharsikin diperankan oleh Putri Ayudya.

Guru Bangsa Tjokroaminoto

Sebagai sosok perempuan yang lembut sekaligus kuat dan keras kepala, saya merasa Ayudya mampu menyampaikan karakter Soeharsikin dengan baik. Meski saya jarang melihat Ayudya tampil, baik di layar teve maupun perak.

Yang saya suka dari Ayudya saat memerankan Soeharsikin adalah bagaimana dia menampilkan sosok perempuan penurut yang memiliki kekuatan dalam dirinya, tanpa merusak flow perkembangan karakter. Dan kesemuanya dikembangkan sesuai dengan karakter perempuan Jawa yang pendiam dan berdiri di belakang, serta dipadukan dengan perkembangan zaman.

Hal ini terlihat jelas ketika Soeharsikin memprotes Semaoen yang berulang kali menyampaikan gagasan revolusi pada Tjokroaminoto. Bila sebelumnya Soeharsikin menerima semuanya (permasalahan financial dalam keluarganya, usaha batiknya yang merosot karena politik “sama rata sama rasa” suaminya yang membuat semua rakyat bisa membeli jenis batik, dan ketidakhadiran suaminya di rumah) dengan berdiam diri, tidak kali itu. Soeharsikin berbalik dan menyuruh—atau memerintahkan, yang tidak meminta—pada Semaoen untuk berhenti berkoar-koar mengenai revolusi dan tidak membawa kekerasan ke rumah.

Guru Bangsa Tjokroaminoto

Bila sebelumnya saya tertarik pada sosok Soeharsikin yang kuat dan membela suaminya di hadapan kedua orangtuanya ketika mereka meminta Soeharsikin untuk meninggalkan Tjokroaminoto, begitu melihat sisi dominan Soeharsikin tersebut saya kontan jatuh cinta. It all happened not in instant, Artebianz. Ayudya menyampaikan perlahan, dimulai dari perubahan ekspresi wajah, bahasa tubuh, baru ke pengucapan dan intonasi.

Baca juga: SUPERNOVA: Ksatria, Putri, Dan Bintang Jatuh Film - Filsafat Eksistensi


Agus Salim

Guru Bangsa Tjokroaminoto(diambil dari bintang.com)

Saya sempat tertarik dengan Ibnu Jamil dan aktingnya dan sebenarnya selain Rahardian, saya menanti-nanti bagaimana Jamil akan membawakan salah satu sosok politikus berpengaruh di Indonesia ini. Dan saya tidak kecewa. Jamil mampu membawakan sosok pemuda Minang dalam diri Agus Salim dengan baik. Setiap kali Jamil muncul, entah bersama Rahardian atau tokoh lain, saya kontan terlarut dalam cerita dan ikut deg-degan atau emosi.


Para Murid Tjokroaminoto

Dari semua murid yang Tjokroaminoto, sosok yang menarik perhatian saya adalah Semaoen, Muso, dan Darsono yang menjadi perwakilan sifat moderat Tjokroaminoto terhadap pemikiran dan perkembangan setiap muridnya atas ilmu-ilmu yang dibaginya.

Guru Bangsa Tjokroaminoto

Sementara untuk akting, saya merasa Ginting, Hakim, pemeran Darsono, memerankan perannya dengan baik. Saya dibuat geregetan dan marah dengan setiap tingkah polah mereka.

 

Tokoh Pendukung Tjokroaminoto Lainnya

-    Mangoensoemo, Bapak Mertua Tjokroaminoto (Sujiwo Tejo). Di antara semua tokoh yang ada, saya merasa Bapak Mertua Tjokroaminoto-lah yang benar-benar mewakili sosok lelaki Jawa.

Guru Bangsa Tjokroaminoto

Dia ditampilkan lengkap dengan perangai ala lelaki Jawa tradisional yang dominan dan cukup priyayi lengkap dengan latar gamelan lengkap saat dia nembang. Juga serapah ala Jawanya. Bapak Mertua Tjokroaminoto menjadi salah satu tokoh yang saya nanti kemunculannya. Sayangnya, mertua lelaki Tjokroaminoto ini tidak memiliki durasi penampilan yang lama.

-    Stella si gadis peranakan (Chealsea Islan). Awalnya saya cukup dibuat bingung dengan kemunculan sosok Stella dalam cerita. Pertama, dia tampil sebagai sosok gadis Belanda yang kepo dan hardcore fan untuk Tjokroaminoto. Kedua, intonasi pengucapan Islan membuat saya terkagok-kagok setiap kali sosok Stella muncul di layar.

Guru Bangsa Tjokroaminoto

Barulah di sepertiga terakhir dalam film saya ngeh, kenapa tokoh ini acapkali ditampilkan di beberapa scene yang terbilang cukup signifikan.

-    Para abdi dalem dalam keluarga Tjokroaminoto. Karena saya datang dengan pengharapan yang sama sekali nol, saya tidak terlalu terkejut, atau kecewa, saat mendapati Christine Hakim yang memerankan Mbok Tambeng, salah satu abdi dalem keluarga Tjokroaminoto, muncul di layar sebagai salah seorang pembantu keluarga Tjokroaminoto.

Guru Bangsa Tjokroaminotodiambil dari setiabhaktiwanita.com

Saya justru tertarik pada sosok Abdi Dalem Kedua (saya tidak tahu namanya dan tidak menemukannya di Google, Artebianz) yang sering ditampilkan mengenakan kemben dan cerewet—atau kritis?—dengan segala kejadian yang ada di sekitarnya. Kehadiran sosok Mbok Kedua ini tak ubahnya seperti pencuri perhatian (scene stealer) yang membuat saya sontak memfokuskan perhatian padanya.

-    Penjual kursi dan pembuat papan nama. Satu lagi tokoh yang tampil tanpa nama. Saya mengenalnya hanya sebagai penjual kursi yang awalnya muncul sebagai penjual kursi keliling dan kebetulan hadir di salah satu pidato politik Tjokroaminoto.

Guru Bangsa Tjokroaminoto

Tokoh Penjual Kursi di mata sama seperti toko Mbok Kedua yang menjadi wakil penggambaran keadaan masyarakat, reaksi sekitar Tjokroaminoto terhadap perubahan yang terjadi, dan kepolosan masyarakat awam. Di film yang berdurasi kurang lebih 160 menit ini, saya merasa kehadiran tokoh-tokoh ini terasa seperti angin segar.

Termasuk penampilan Cak Kartolo yang jadi cameo di Guru Bangsa Tjokroaminoto.

Guru Bangsa Tjokroaminotodiambil dari setiabhaktiwanita.com

Baca juga: Malam Minggu Miko Movie - Mockumentary Kegalauan Kaum Muda Indonesia

 

 

Guru Bangsa Tjokroaminoto di Mata Saya

Untuk sebuah film biopic saya bisa mengatakan Guru Bangsa Tjokroaminoto tampil dengan keakuratan yang mendekati sempurna. Betapa tidak, Artebianz, Garin Nugroho selaku sutradara mampu menghadirkan kembali suasana Indonesia tempo doeloe lewa perkakas rumah tangga, lengkap dengan barang pecah belahnya, serta kesibukan ala ibu-ibu zaman dulu—cue to Soeharsikin dan kegiatannya mengisi kapuk untuk bantal. Demikian juga dengan alat transportasinya. Dan di sini saya tidak hanya membicarakan mobil, Artebianz. Tetapi juga kereta api yang didominasi kayu dan trem kota Surabaya, yang isunya akan dihidupkan kembali oleh Bu Risma.Guru Bangsa Tjokroaminoto

Segala detail ini membuat saya mengacungkan semua jempol untuk Nugroho.

Tapi dalam Guru Bangsa Tjokroaminoto juga terdapat beberapa hal yang membuat saya kagok plus kaget. Saya tidak tahu bagaimana kehidupan zaman pra-kemerdekaan, tentu saja, sehingga saya tidak terlalu paham dengan lagu-lagu di zaman itu. Tapi itu tak menghentikan imajinasi saya.

Dalam benak saya, saya membayangkan lagu-lagu Belanda akan bertebaran—paling tidak satu atau dua di dalam film Guru Bangsa Tjokroaminoto, entah lewat radio atau pertunjukan. Dan bukan hanya lagu kebangsaan Belanda. Saya justru menemukan beberapa lagu Inggris, yang salah satunya dinyanyikan oleh Maia Estianti, ibu Soeharsikin, dengan fasih dan lancarnya sambil memainkan piano. Keterkejutan saya semakin makjleb ketika Soeharsikin turun bernyanyi bersama ibunya.

Rasa kagok yang sama kembali muncul ketika Tjokroaminoto bernyanyi dan berdansa bersama keluarganya.

Guru Bangsa Tjokroaminoto

Ya, Tjokroaminoto memang sempat menyanyikan tembang Jawa di salah satu scene.

Ya, film ini memang semestinya menonjolkan ke-Indonesia-an agar lebih general.

Tapi, sebagai film pra-kemerdekaan yang mestinya menggambarkan setiap individual dengan kebudayaan masing-masing (lewat dialek, pakaian, lagu, dan lain-lain), adegan bernyanyi dan berdansa itu tidak ada.

Tapi… mungkin ini juga salah satu siasat Nugroho untuk menyampaikan pesan tersembunyinya. (Kalau Artebianz juga menonton Guru Bangsa Tjokroaminoto dan menangkap pesan Nugroho dari scene bernyanyi ini, boleh berbagi di sini dengan saya).

Sedangkan dari perkembangan plot, bisa dibilang Guru Bangsa Tjokroaminoto nyaris datar. Beberapa kali memang ada intrik dan ketegangan yang terjadi, misalnya ketika Semaoen mulai mengembangkan sayapnya dan menawarkan revolusi politik dalam paham evolusi yang dianut oleh Tjokroaminoto. Atau ketika terjadi peperangan. Sayangnya, intrik ini hanya muncul sesekali dan tidak pernah berkulminasi dan menjadi klimaks yang menegangkan.Guru Bangsa TjokroaminotoSebagai gantinya, klimaks tampil dalam kehidupan pribadi Tjokroaminoto. Yang menurut saya tidak memberikan atau tidak menampilkan impact yang besar di dalam cerita. Klimaks personal Tjokroaminoto muncul seperti ombak laut yang menggerakkan kapal, tapi tidak terlalu memberikan empasan yang berarti.

Mungkin kisah Tjokroaminoto akan lebih epic lagi kalau digarap sebagai sinetron sejarah yang mengulas abis sejarah HOS Tjokroaminoto. Sehingga bisa menceritakan secara utuh sejarah bangsa Indonesia, termasuk politik divide et impera Belanda yang imbasnya masih terasa sampai sekarang.

Guru Bangsa Tjokroaminoto

"Karena kalau kaum Cina dan Jawa bersatu, maka subur tanah ini."

Kalau Korea Selatan punya drama seri sejarah (Queen Seon Deok, Jewel in Palace, Hwajeong, dan lain-lain), kenapa Indonesia tidak?

Baca juga: The Imitation Game - Menginspirasi Banyak Orang Tentang Makna Perbedaan



Akhir Kata Guru Bangsa Tjokroaminoto

Untuk ukuran sebuah film yang cukup epic dan setting sempurna saya sempat membayangkan ending yang grandiose pula. Akan tetapi, Guru Bangsa Tjokroaminoto memilih ending yang berbeda—mengikuti tema awal yang didengung-dengungkan (hijrah)—film ini pada akhirnya menampilkan sebuah perjalanan panjang seorang tokoh politik berpengaruh di Indonesia dan perkembangan negara ini. Yang bisa dibilang masih cukup panjang.

Di samping itu, entah kenapa, saya membanding-bandingkan para tokoh politik dalam Guru Bangsa Tjokroaminoto dengan para tokoh politik yang ada.

Setiap zaman memiliki keindahan masing-masing. Sekarang kita punya internet yang mendukung kekuatan rakyat, dan dulu leluhur kita punya para pemikir yang mau memikirkan mereka.

Guru Bangsa Tjokroaminoto

Genre  Biografi
Pemeran Reza Rahardian, Putri Ayudya, Tanta Ginting, Ade Firman Hakim, Ibnu Jamil, Deva Mahendra, Alex Komang, Alex Abbad, Christine Hakim, Didi Petet, Chelsea Islan, Egi Fedly, Sujiwo Tejo, Christoffer Nelwan, Arjan Onderdenwijngaard
Sutradara Garin Nugroho
Penulis Skenario Ari Syarif, Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe Letto), Erik Supit
Produser Christine Hakim, Didi Petet, Dewi Umaya, Sabrang Mowo Damar Panuluh, dan Ari Syarif

 

 

Rating

Rating

 

 


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Review Film Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Raga Senja Berjiwa Fajar: Sebuah Renungan Kemerdekaan Untuk Pemuda


Bicara Tentang Orizuka - Menulis Adalah Passion, Bukan Occupation


Khokkiri Layaknya Dark Chocolate yang Menawarkan Kisah Manis Sekaligus Gelap dan Pahit


Bangkok Knockout: Permainan Maut antara Hidup dan Mati


Sugar - Maroon 5: Kejutan Manis Di Pesta Pernikahan


Goyang Kaki Dan Goyang Lidah Di Lontong Kikil Bu Dahlia


Perpustakaan Bank Indonesia, Surabaya - Perpustakaan Umum Senyaman Perpustakaan Pribadi


Wisata Madiun Bersama Keluarga


Majapahit Travel Fair 2016


My Toilet Prince - Pintu Pertama


Oma Lena - Part 4 (TAMAT)


Aku Berjalan (Dan Dua Puisi Lainnya)