Twist and Shout (Part 3-Final)

31 Jan 2015    View : 2796    By : Niratisaya


Cerita Sebelumnya: Twist and Shout (Part 2)

 

Aku menutup buku diktat kuliah dan menoleh ke arah jendela kamarku yang mengarah ke halaman depan. Tersaji di hadapanku pemandangan kelam malam yang tampak makin legam, meski remang cahaya lampu menyumbangkan terangnya. Dan pagi hanya tinggal menunggu datangnya matahari.

Namun, hingga detik ini aku belum juga melihatnya. Aku bahkan tak mendengar deru halus suara napasnya yang hanya muncul ketika ia tidur.

Kali ini ke mana lagi dia pergi? Batinku sambil menutup kelambu.

Sudah dua bulan ini Noel kembali tinggal bersamaku di rumah peninggalan Ibu. Akan tetapi dua bulan ini juga ia sering sekali terlambat pulang—atau bahkan tidak pulang sama sekali. Urusan pekerjaan. Itu selalu yang ia katakan.

Dan yang selalu kuragukan.

Aku mematikan lampu dan beranjak meninggalkan meja belajarku. Diberati rasa lelah dan kantuk, aku berjalan perlahan menuju ranjangku yang dibelikan oleh Noel begitu ia tahu kasur yang kutiduri sudah lapuk. Aku lalu merebahkan badan, melesapkan tubuhku ke atas tempat tidur sembari menebarkan jala khayalku. Kubayangkan harum tubuh Noel, hangat dekapnya, dan rasa aman yang selalu diberikannya untukku.

Akan tetapi, kini aku tak lagi bisa menerbangkan anganku. Sebab semua mendadak terasa berbeda. Rangkuman kedua lengan Noel tak lagi terasa hangat. Harum tubuhnya tak lagi semerbak. Bahkan, kebersamaan dengannya tidak lagi membuatku merasa aman. Apa lagi nyaman.

Setiap detik yang kami habiskan berdua membuat anganku retak. Setiap hela napas yang kubagi bersamanya membuat impianku koyak. Terburai. Berceceran memenuhi lantai imajiku, ketika aku mulai membuka mata dan menyadari kenyataan yang terhampar di hadapanku. Yang sama sekali bukan sesuatu yang kuharapkan dari Noel saat ia kembali tinggal bersamaku di rumah Ibu.

Pukul lima pagi. Seperti hari-hari yang lalu, aku mendengarnya melangkah memutar kunci dan melangkah masuk.

Kutinggalkan kehangatan ranjang pemberian Noel dan berderap menyambutnya.

“Apa kamu nggak bisa pulang lebih awal, Noel?”

“Pekerjaanku nggak mengizinkan aku pulang awal,” jawab Noel sambil berjalan menuju dapur.

Aku mengikutinya. Namun, langkahku terhenti saat kakiku mencapai ambang pintu yang memisahkan dapur dengan ruang tengah.

Noel menoleh ke arahku. Dengan ekspresi datar ia berkata, “Jangan pasang wajah memberengut seperti cewek yang lagi PMS begitu. Nggak cocok. Kamu bukan cewek, ingat itu.”

Aku tak memedulikan ucapannya. Aku terbiasa dengan sikapnya yang acuh tak acuh dan kata-katanya yang kasar. Namun aku tak pernah bisa membiasakan diriku dengan sengatan parfum feminin yang menguar dari kulitnya.

“Apa yang kamu lakukan bukan pekerjaan,” kataku.

“Aku kerja sepuluh jam sehari.” Noel berbalik arah. Ia berjalan menghampiriku dan menatapku lurus di mata. “Aku membiayai hidup kita.”

“Tapi apa yang kamu lakukan itu bukan pekerjaan.” Aku mengulangi ucapanku dengan nada lebih tegas dan lebih tinggi.

“Kamu butuh uang. Aku suka bersenang-senang. Dan pekerjaanku ini memberikan keduanya. Jadi tutup mulut dan selesaikan saja kuliahmu,” ucap Noel sambil berjalan selangkah ke arahku. “Tapi bukan begitu—”

“Lalu?” Noel memotong ucapanku. “Apa kamu mau cari uang sendiri?” Ia mendengus. “Apa kamu bica cari uang sendiri? Apa kamu bisa menutupi semua kebutuhan kita?”

Aku terdiam. Aku sadar, bila sekali lagi aku menyahuti Noel dengan jawaban serupa, aku akan terdengar seperti video yang terus-menerus mengalami buffering. Akan tetapi, aku juga tak ingin Noel meneruskan pekerjaannya.

“Ta-tapi kamu juga mestinya berhenti menjual diri, Noel. Meskipun demi aku, tapi nggak seharusnya kamu menjual diri. A-aku benci itu!”

Bukan hanya harum tubuhnya berganti dengan wangi perempuan-perempuan jalang yang berganti-ganti tiap malam, tetapi Noel juga tak pernah lagi hadir di meja makan. Atau duduk bersantai di depan teve. Perempuan-perempuan jalang itu seakan mencuri Noel dari diriku.

“Hahaha!” Noel tertawa, kemudian menatapku tajam. “Siapa bilang aku melakukannya demi kamu? Apa kamu nggak dengar? Aku suka bersenang-senang. Jangan mengira semua orang melakukan sesuatu demi dirimu. Kebetulan saja kita tinggal di rumah yang sama dan kamu punya kemampuan nol untuk hidup. Yang kulakukan nggak jauh beda dengan apa yang dulu kita lakukan pada Noir: memelihara kehidupan yang terlanjur hidup.”

Begitu menyelesaikan kalimatnya, Noel lantas berbalik dan bergerak menuju lemari es. Ia mengeluarkan botol kaca yang berisi cairan bening. Dengan tatapan lembut dia menuangkannya. Senyumannya pun hilang, lenyap di dalam sesapan cairan itu.

Aku hanya mampu berdiri, menatap iri cairan yang dia sesap, sementara realita dalam khayalku makin koyak akibat kata-kata yang dilontarkan Noel.

Baca juga: Kerinduan yang Patah

 

Kami memang tak sama. Dia lahir dan besar seperti keinginan Ibu; aku lahir dan besar atas keinginanku sendiri. Tak pernah ada yang memintaku lahir. Tak ada yang memintaku tumbuh dan berkembang. Tak ada yang memintaku untuk menjadi seperti sekarang.

Aku lahir di remang malam, maka aku tumbuh di remang dunia.

Hentakan musik menghilang. Lagu yang diputar di kelab tempatku bekerja pun beralih pada judul lain yang berubah menjadi pelan. Pelukan perempuan yang namanya tak kuingat makin erat. Dia makin merangsek maju dan melesakkan kepalanya di dadaku.

“Noel....” ujarnya sambil membenamkan kepalanya di pelukanku, sementara tangannya bergerak liar menyentuh tiap jengkal lekuk tubuhku.

Aku tak peduli dunia menganggap pekerjaanku ini salah. Aku tak mau ambil pusing memikirkan kata-kata mereka. Seperti aku tak memedulikan perempuan di hadapanku ini. Terserah dia ingin memperlakukanku seperti apa. Terserah dia memperlakukanku seperti apa. Selama dia punya uang dan memberikan lembaran-lembaran itu padaku.

Baca juga: Love Theft the Series

 

Aku menatap telur-telur di dalam air yang mendidih, mengamati bagaimana mereka bergerak mengikuti dorongan panas api kompor. Sesekali mereka saling beradu dan menimbulkan suara samar yang mengisi senyap rumah.

Sejak terakhir kali kami beradu mulut, aku semakin jarang bertemu dengan Noel. Selain karena waktu beraktivitas kami berbeda, tanpa sadar kedua kakiku segera melangkah mundur—menghindari Noel setiap kali kami nyaris bertatap muka. Selain itu, aku masih teringat pada kata-katanya….

“Yang kulakukan nggak jauh beda dengan apa yang dulu kita lakukan untuk Noir: memelihara kehidupan yang terlanjur hidup.”

Aku begitu mencintainya. Tak sedetik pun aku pernah melupakannya. Aku bahkan tak ingat kapan aku pernah melewatkan hariku tanpa memikirkannya. Namun ia menyamakanku dengan Noir, anjing peliharaan kami yang ditemukan oleh Ibu di dekat tempat sampah sebuah taman sewaktu Noel dan aku berumur enam tahun.

Tidak baik membiarkan sesama makhluk hidup menderita, apalagi dia terlanjur hidup. Ibu berkata pada kami saat itu. Aku benar-benar tak menyangka Noel akan menganggapku tak jauh berbeda dari Noir, anjing buduk yang kemudian dihadiahkan Ibu pada kami.

Padahal yang kuinginkan adalah agar ia menginginkanku.

Padahal yang kuinginkan hanyalah agar ia selalu berada di sisiku.

Ia yang begitu dekat denganku, tapi juga yang tak terjangkau olehku.

Aku melempar panci berisi air mendidih dan tiga buah telur, yang kini cangkangnya retak serta lepas, ke dalam bak cucian piring.

“Apa ini? Noah si anak baik marah-marah?” Noel muncul sambil membawa sebuah mi instan di dalam gelas sterofoam.

Dilemparnya senyuman sinis padaku. “Jenuh dengan kehidupan kampus yang bersih dan lurus?

“Apa kamu ingin bergabung denganku? Aku yakin, akan ada banyak pelanggan yang menyukai kita.” Noel bertanya, sementara senyum sinis masih melekat di bibir kemerahannya.

Kemudian, tanpa menunggu jawabanku, ia kembali menuju ruang tengah sembari membawa mangkuknya yang menebarkan aroma khas mi instan kesukaannya. Sementara itu, pandanganku terus tertuju pada punggungnya yang lebar dan menggoda, sekaligus tampak tak tersentuh olehku.

Dan, entah apa yang merasukiku, tiba-tiba aku berlari ke arah Noel. Kulebarkan tangan-tanganku untuk meraih sosoknya. Untuk dapat mendekap indahnya. Untuk kunikmati harum parfumnya, yang walaupun bercampur dengan sengatan parfum para jalang, tapi aku bisa merasakan dan menciumnya dengan jelas. dan mendekap sosok Noel dari belakang.

“Kamu tahu, kalau kamu melakukan itu lagi, aku akan pergi.”

“….”

“Noah.”

“Kalau aku melepasmu sekarang, kamu pasti akan pergi ke pelukan perempuan-perempuan jalang itu.”

“Lalu? Apa aku harus memelukmu? Apa aku harus memuaskanmu?” Noel melangkah keluar dari dapur.

Nada bicara dalam suara Noel mengingatkanku pada percakapan kami di atas jembatan, yang mengisyaratkan bahwa ia takkan pernah mendengarkanku. Bagaimanapun aku memerintah atau memohon padanya, Noel tidak akan pernah mengubah keputusannya. Ia bahkan bisa saja mengolok-olokku dengan membawa perempuan-perempuan jalang yang membayarnya demi memuaskan mereka ke rumah ini.

Nggak bisa dibiarkan! Aku menatap Noel hingga akhirnya sudut mataku sebuah benda yang berada tak jauh dari jangkauan tanganku.

“Apa nggak boleh? Aku ingin kamu untukku....” Tanganku bergerak ke arah salah satu sisi dinding, tempat berbagai peralatan masak tergantung. “Hanya untukku. Kalau bukan aku, nggak seorang pun boleh memiliki kamu.”

“Jangan konyo—”

BUGH!!!

Ucapan Noel terpotong begitu aku menghantam kepalanya dengan penggorengan. “Kamu harusnya nggak menginginkan siapa pun kecuali aku!”

BUGH!!!

“Urgh….”

“Aku!”

BUGH!!!!!

“Katakan kalau kamu menginginkan aku! KATAKAN, NOEL!!!”

“G-g-gila….”

BUGH!!!

“Ghh.... ughhh.... ggghh....”

 

Puas melihat pemandangan di depanku, aku pun mengembangkan senyumku. Kunikmati merahnya genangan di hadapanku dengan sekujur tangan dibaluri cairan sewarna.

Di sana, di depanku, Noel terlihat tidur dengan damai. Tak terlihat tatapan tajam yang seakan siap menyilet-nyilet siapa pun yang menantangnya. Tak lagi terlihat barisan kerut kecewa di alis, dahi, atau mulutnya. Seulas sedih pun tak tampak di ekspresi wajahnya. Mungkin dia tak menyangka apa yang akan menimpa padanya, tapi kurasa ia menikmati damainya saat ini.

Aku mengangkat tubuh Noel, menggendongnya di punggung seperti yang pernah dilakukannya saat kami kanak-kanak. Beberapa kali aku nyaris terpeleset karena darah Noel. Dengan bantuan perabotan di sekitar akhirnya aku berhasil meletakkan Noel di sofa ruang tengah. Kemudian, aku duduk di sebelahnya.

Kusandarkan kepalaku di bahu Noel yang telah tak lagi bertenaga dan kembali kuamati mimik wajahnya. Meski aku tiba-tiba menghantam kepalanya berkali-kali, tapi ekspresi Noel tetap kalem seperti biasa. Tak satu pun detail di sana yang memperlihatkan kegelisahan, kegundahan, atau keterkejutan.

“Nggak adil. Dia menikmati damainya seperti itu, sedang aku masih ada di sini. Dengan semua penderitaan yang menungguku tanpa kehadirannya.”

Aku menggeram. “Tidak... dia sama sekali tidak berhak menikmatinya!!”

Aku masuk ke dapur dan sekali lagi kuraih penggorengan yang tergeletak di lantai, sebelum berdiri di hadapan Noel yang membungkukkan badan.

“Kamu tahu. Kamu tahu aku lelah dan benci pada sikapmu juga pekerjaanmu! Kamu tahu itu, tapi kamu sama sekali nggak mau ambil peduli!” Aku berteriak di depan tubuh Noel yang jatuh miring. “Kenapa kamu nggak peduli sama aku sedikit saja Noel?!”

Dengan penuh emosi, kulempar penggorengan itu ke jendela, yang tentu saja memecahkan kaca jendela dan membuat penggorengan yang tak lagi berbentuk itu jatuh ke dalam kolam ikan. Aku sekali lagi berlari menuju dapur dan membuka lemari es. Secepat kilat, kuraih sebotol minuman keras favoritnya. Kasar, aku buka tutupnya dan kubiarkan jatuh di lantai, sementara aku berderap kembali ke hadapan Noel.

“Daripada aku, kamu suka ini kan? Kau suka kan?!" kata sambil merangsek maju lalu mencengkeram mulut Noel. “Kamu selalu menyimpannya di freezer. Berhati-hai meletakkannya di antara barang-barang yang lain. Benda mati ini!

“Tapi aku?! Aku yang selalu mencuci bajumu, membersihkan rumah ini untukmu, dan berusaha menyiapkan makanan-makanan yang nggak pernah sedikit pun mau kamu sentuh! Kenapa kamu menyamakanku dengan Noir?!” Aku mengangkat botol vodka kesayangan Noel dan menyorongkan isinya ke dalam mulut saudara kembarku itu, memaksanya meminum cairan bening itu. “Nggak bisakah kamu menghargai aku seperti kamu menyayangi minuman berengsek ini?! Apa kamu nggak bisa punya keinginan saja untuk menghargai aku—menjagaku seperti minuman berengsek ini?! Apa kamu nggak bisa, Noel?!!”

Sembari berteriak, aku melempar botol vodka yang isinya kini sudah berpindah dan membasahi wajah dan tubuh Noel ke lantai. Terdengar suara botol yang beradu dengan lantai, tapi tak botol itu tetap utuh. Aku hanya menatap bagaimana botol minuman kesayangan Noel menggelinding di atas lantai, lantas berakhir terantuk kaki meja.

Aku mengalihkan pandanganku kembali pada Noel. Tubuhnya yang membungkuk, membuat sosoknya yang biasa tegap dan keras kepala tampak menyedihkan. Aku pun mengulurkan tangan dan meraih wajah Noel yang tertunduk.

“Hei… Noel,” kataku seraya mengangkat wajah Noel hingga aku beradu pandang dengan dirinya yang memejamkan mata.

“Katakan padaku kalau kamu pernah punya keinginan untuk menjagaku. Bohong pun nggak apa. Aku hanya ingin mendengar kalau kamu menyayangi aku juga, walau nggak sebesar kasih sayangku padamu.

“Aku sangat mencintaimu... kamu pasti tahu itu. Kamu pasti sudah tahu sejak malam aku menciummu. Aku sudah berulangkali memastikannya perasaanku padamu; menetapkan hati ini untukmu. Dan aku yakin, kalau aku memang mencintaimu, sangat. Sekarang, nanti, dan selamanya.”

Aku meraih kepala Noel dan memeluknya dengan erat. Kemudian, aku menarik tubuhku dan perlahan aku menundukkan kepalaku. Mencium bibirnya yang basah oleh vodka. Menyesap sisa-sisa cairan minuman beralkohol itu dari di bibirnya.

“Apa kamu nggak bisa mencintaiku?”

Tubuh Noel yang berat akhirnya miring dan terjatuh ke lantai. Ia tergeletak dengan ceceran darah di sekujur badannya.
“Noel, bangun... buka matamu....” Bak kembali ke masa kecil kami, aku merengek sambil berlutut memeluk Noel yang berlumuran darah. “Noel... jangan tinggalkan aku!

“Baik, baik... kamu boleh tinggalkan aku, tapi kembalilah.... Noel, buka matamu... aku akan melakukan semuanya, asal kamu mau kembali padaku.

“Aku... aku tidak akan mengeluh lagi soal kepergianmu dengan perempuan-perempuan jalang itu. Soal kamu yang sering pulang terlambat. Noel!!!”

Namun, betapa pun aku memohon dan berteriak memanggil namanya, Noel tetap memejamkan mata dan rebah dalam pelukanku. Saat itu, aku sadar: Noel akhirnya lari dariku!

Aku pun meraup genangan darah Noel dari lantai dengan kedua tanganku, mencoba mengumpulkan ceceran darah Noel yang memenuhi lantai dan mengembalikannya ke dalam kepalanya yang tak henti-hentinya mengucurkan darah.

“Noel, bangun. Jangan pergi! Jangan tutup matamu! Noel, tatap aku, buka matamu....” Terus dan terus aku kumpulkan ceceran darah Noel sambil memanggil namanya, agar ia tak mengikuti bujuk rayu Malaikat Kematian dan pergi meninggalkanku. “Aku  nggak bisa hidup tanpa kamu.

“NOEEELLL!!!”

Aku meneriakkan namanya. Berharap  Noel akan terbangun mendengarnya dan menuntut Malaikat Kematian untuk melepaskan tangannya dari Noel. Tapi Noel tetap bergeming.

Meski tangis ini telah membuat gaduh, ia tetap diam. Dengan tega ia meninggalkan aku, tahu aku tak memiliki keberanian untuk menyusulnya, ia memilih untuk diam dan tak menjawab tangisku.

Pada akhirnya, aku hanya bisa tertunduk di lantai, menangisinya dengan darahnya yang sudah tercampur dengan air mataku.

Baca juga: Suara-Suara di Kepala Kita

 

Dia menangis dengan kencang hingga memekakkan telingaku. Membuatku ingin menamparnya dengan kuat-kuat, sekuat tangisannya itu.

Berengsek!!!

Kurang ajar!!!

Bisa-bisanya dia menghabisiku dengan penggorengan sialan itu. Dan masih memintaku untuk kembali padanya!!

Andai aku bisa hidup kembali, aku tidak akan kembali padanya. Meskipun berkali-kali dia akan menghajarku dengan penggorengan sialan itu.

Biar dia rasakan kesendirian yang akan menghabisinya pelan-pelan. Biar dia rasakan derita yang lebih hebat dalam kesepiannya.

Matilah dalam penderitaan, Noah!

Nikmatilah sakit yang sudah kurasakan dengan perlahan-lahan!

Rasakanlah iri atas damai yang sekarang siap aku jelang. Yang kau damba dari setiap jengkal sosok ‘anak baik’ yang selama ini kamu bangun. Kamu boleh memiliki semuanya—kehidupan normal dan masyarakat yang memandangmu hormat. Tapi selamanya kamu takkan punyai kematian ini. Selamanya kau akan terjebak dengan semua tetek-bengek kehidupanmu yang akan menjejalimu dengan rasa kesepian.

Selamat menikmati hidup Noah, saudaraku tersayang.

Baca juga: Suicide Squad

 

Aku hanya ingin memilikimu.

Hanya ingin kamu milikiku.

Apa kau tak tahu itu?

 

=TAMAT=

Surabaya, Januari 2015


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Cerpen Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Traveling: Mimpi, Destinasi, Tujuan, Makna


Bicara Tentang Orizuka - Menulis Adalah Passion, Bukan Occupation


Sabtu Bersama Bapak


Suicide Squad - A Sweet Treat... Or A Sweet Threat?




My Pancake Restoran Surabaya  Town Square


Milk Kingdom - Humble Place to Cast Away Your Boredom


Leiden, Kota Sarat Sejarah Dalam Balutan Puisi Indah


Literasi Februari: GRI Regional Surabaya, Gol A Gong, dan Tias Tatanka


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Ketiga)


Kabut Rindu


Aku dan Kau