Senior (Run Phee) - Cerita Hantu yang Manis Sekaligus Sadis

05 Apr 2017    View : 42548    By : Niratisaya


“Ada beberapa tingkat keheningan. Dari keheningan yang bisa membuatmu mendengar suara gemerisik daun, suara kepakan sayap serangga sebelum fajar tiba, bunyi detik jam, bunyi detak jantung, dan … suara pikiranmu sendiri …. Terakhir, keheningan yang bisa membuatmu mendengar suara arwah yang berbicara kepadamu.”

Runpee
Source: meamau.blogspot.com

 

Senior alias Run Phee adalah salah satu dari beberapa rekomendasi yang saya dapatkan saat mencari tontonan horror yang nabrak-nabrak romantis. Meski nggak mengenal satu pun aktor dalam film buatan Negeri Gajah Putih ini, saya memutuskan untuk menontonnya. Terima kasih kepada trailer Senior yang sukses memancing rasa penasaran saya.

 

 

 

A Glimpse of Senior (Run Phee)

Di tengah malam, sekelompok gadis berkumpul di dalam kegelapan sambil berbagi cerita misteri mengenai sejarah sekolah mereka yang konon panjang dan kelam. Terutama sejak peristiwa pembunuhan pemilik Istana Pawadee, bangunan tempat sekolah mereka, SMA Katolik Santa Maria, ditemukan mengapung tanpa nyawa di kolam.

Walau pembunuh pemilik Istana Panawadee, Nyonya Panawadee Rasami (Kara Polasit), sudah ditangkap dan dihukum mati—tapi tetap ada misteri dalam kematian Nyonya Panawadee. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru semakin banyak misteri yang tersembunyi di bangunan Istana Panawadee.

Di antara para siswi yang tinggal di asrama dan berbagi cerita misteri, di sudut ruangan seorang siswi yang membelakangi teman-temannya dan terlihat tidak tertarik dengan sekitarnya. Dia bahkan tampak menarik diri dari teman-temannya.

Gadis itu adalah Adhiti (Jannine Parawie Weigel) yang lebih dikenal dengan panggilan “Mon”. Mereka yang menyukai Adhiti, seperti Dokter No (Raweeroj Lertphiphopmetha), menganggap panggilan Adhiti sebagai sebuah nama yang imut. Kependekan dari Doraemon, sementara sebenarnya nama panggilan Adhiti adalah kependekan dari Demon.

Mon aka AdhitiSource: thaifilmjournal.blogspot.com

Nama panggilan “Mon” rupanya didapat Adhiti karena sikapnya yang aneh dan kerap berbicara sendiri. Teman-temannya pun sering mengolok-oloknya sebagai gadis gila. Namun, Adhiti tidak berbuat demikian karena ingin menarik perhatian sekitarnya. Meski ditinggal mati oleh kedua orangtuanya, Adhiti tidak sebatang kara—dia juga tidak pernah kesepian. Ada bibinya yang tinggal bersamanya (sayang, di time frame cerita sang bibi dikisahkan masuk rumah sakit, sehingga Adhiti pun terpaksa tinggal di asrama sekolah). Dan, para hantu yang selalu mengganggunya.

Ya, hantu-hantu inilah yang membuat Adhiti sering berbicara sendiri. Mereka selalu muncul tiba-tiba dan meminta tolong kepada Adhiti. Yang menjengkelkan bagi Adhiti adalah keterbatasan kemampuan yang diperolehnya pascakecelakaan bersama kedua orangtuanya. Adhiti hanya bisa mencium bau hantu.

Ant :  Hei, Mon, orang bilang hantu menggonggong karena melihat hantu. Apa itu benar?
Adhiti :  Apa kau tahu, Ant? Penglihatan anjing sangat buruk, tapi indra penciuman mereka sangat tajam. Jadi, mereka menggonggong bukan karena melihat hantu, melainkan karena mereka mencium [bau] hantu.

Ant and MonSource: sayaiday.com

Salah satu hantu yang keras kepala dan aromanya kerap mengganggu Adhiti adalah hantu yang sempat bersekolah di bekas Istana Panawadee, ketika bangunan itu digunakan untuk sekolah khusus murid laki-laki. Adhiti sering memanggilnya Run Phee (Phongsakorn “Bom” Tosuwan).

Run Phee mengikuti Adhiti, bahkan ke rumah sakit tempat bibi Adhiti dirawat inap, karena dia begitu penasaran dengan misteri pemilik Istana Panawadee—yang berkaitan erat dengan kematiannya. Run Phee merasa dia akan terus terjebak di dunia manusia dan tidak akan tenang sampai misteri kematian Nyonya Panawadee terungkap.

Adhiti :  Kenapa orang mati meminta bantuan yang masih hidup? Bukannya hantu mengetahui segalanya?
Run Phee :  Hantu bukan sosok yang mahatahu. Mereka hanya memiliki ingatan semasa hidup. Tapi hantu juga bisa kehilangan ingatan mereka. Atau tidak ingat bagaimana mereka mati.

Meski sudah mendengar cerita Run Phee mengenai peristiwa yang terjadi di bangunan bekas Istana Panawadee 50 tahun yang lalu, Adhiti tetap tidak mau menolong Run Phee. Dia berulang kali menyuarakan keengganannya. Namun, sewaktu Run Phee tidak mengganggunya sambil meminta tolong –atau seperti itulah yang dikira Adhiti, gadis itu diam-diam mencari informasi mengenai kematian Nyonya Panawadee dan misteri Istana Panawadee.

Namun, Run Phee memergoki Adhiti dan mengejek gadis itu yang ternyata sudah mencari informasi mengenai Istana Panawadee. Seperti biasa, Adhiti secara spontan membalas ejekan Run Phee tanpa peduli tempat dan waktu. Sialnya, saat itu Adhiti sedang berada di kelas dan sedang menerima pelajaran bahasa Perancis dari Suster Audrey (Nabeya Kulanet).

Run Phee :  Pertama kali aku meminta tolong kau terus menolak. Kau bilang “tidak mau, tidak mau” berulang kali.
Adhiti :  Gila!
Suster Audrey :  (berpaling dari papan tulis)
Siapa yang baru saja bicara?!

Sang guru tentu saja marah dan mengira Adhiti menghinanya. Suster Audrey menghukum Adhiti. Waktu hukuman itu segera dimanfaatkan oleh Run Phee untuk mengobrol lebih jauh dengan Adhiti mengenai pembunuhan Nyonya Panawadee.

Run Phee dan MonSource: thaifilmjournal.blogspot.com

Ant yang khawatir terhadap Adhiti mengunjungi teman sekelasnya itu. Namun, dia malah melihat Adhiti sedang berbicara dengan seorang pemuda. Satu malam, Ant (yang sekali lagi mencoba melewati harinya di antara kekerasan yang dilakukan teman-teman lainnya bersama Adhiti) bertanya siapa pemuda tampan yang berbicara dengan Adhiti saat menjalani hukuman?

Adhiti sontak terkejut. Dia ingat benar pesan Run Phee bahwa hanya orang-orang yang menjelang kematian mereka sajalah yang bisa melihatnya. Di sisi lain, ketika membantu Run Phee mengungkap misteri di sekolahnya, Adhiti berada di batas kemampuannya dan sering mimisan.

Apa benar dugaan Run Phee bahwa pembunuh Nyonya Panawadee yang sebenarnya masih berkeliaran?

Apa benar Run Phee mati di tangan pembunuh yang sebenarnya?

Dan … apa akan ada murid lain yang kehilangan nyawanya?

Apakah Adhiti akan menjadi salah satu korbannya?

Seiring kedekatan yang terjalin antara Adhiti dan Run Phee, misteri pembunuhan Nyonya Panawadee mulai terungkap—berikut kematian yang semakin mendekat.

Baca juga: Attack on Titan

 

 

Senior (Run Phee), My Delightful Scary Journey

Thailand selalu terkenal dengan film-film mereka yang ajaib, unik, dan cukup mencengangkan. Khususnya genre horror, comedy, dan romance. Ada Shutter, Nangnak, Pee Mak, Crazy Little Thing Called Love … semuanya memiliki kesan sehingga nggak mudah dilupakan. Termasuk Senior (Run Phee).

Sekilas, awal cerita Senior tidak jauh berbeda dengan kebanyakan film atau cerita horor lainnya: setting menggunakan waktu malam, terdengar suara halilintar, dan satu per satu sudut Istana Panawadee diperlihatkan saat seorang murid perempuan menyelinap masuk ke dalam asramanya. Sementara itu, seorang narator menceritakan tentang sejarah istana tua yang penuh misteri.

Namun, cerita menjadi lebih menarik ketika tokoh utama kita muncul dengan keanehannya plus sikapnya yang dingin-berjarak. Pada awal perkenalan tokoh dan cerita, sosok Adhiti mirip kebanyakan tokoh-tokoh dalam cerita fiksi (film maupun novel). Sampai akhirnya dia bertemu dengan Run Phee, yang bergentayangan karena kepo berat terhadap misteri kematian Nyonya Panawadee yang dia selidiki.

Mon aka Adhiti

Nah, pertemuan Adhiti dengan Run Phee yang seorang hantu inilah yang membuat cerita Senior (Run Phee) besutan Wisit Sasanatieng menjadi lebih seru. Pasalnya, Sasanatieng bukan sekadar menyediakan seorang hantu yang berkeliaran dan menakuti orang. Sutradara yang terkenal menggunakan wajah baru sebagai pemeran utama dan setiap filmnya ini membuat satu set peraturan baru mengenai dunia perhantuan. Ones that fresh yet still make sense. Dan, yang terpenting dari semuanya adalah Sasanatieng yang juga menulis skenario Senior (Run Phee) secara konsisten menjaga setiap peraturan ceritanya.

Salah satunya adalah adegan Run Phee yang bisa muncul di siang hari, membuntuti Adhiti saat dihukum mengenakan papan yang menyuruh teman-temannya menjaga jarak karena gadis itu belum minum obat. Adhiti bertanya bagaimana Run Phee bisa keluar di siang hari? Apa dia tidak khawatir kalau ada yang melihatnya? Run Phee menjawab, “Hanya orang yang akan mati yang bisa melihatku.”

Satu peraturan mengenai dunia hantu ala Sasanatieng itu kemudian menimbulkan konflik ketika Adhiti tahu sahabatnya, Ant, melihat dirinya berbicara dengan Run Phee. Ant mungkin mengira ekspresi keruh di wajah Adhiti sebagai rasa khawatir karena dia memergokinya memiliki pacar. Namun, penonton tahu betul apa yang dikhawatirkan Adhiti.

Run Phee dan Mon

Kemudian, Sasanatieng membuat penonton deg-degan saat melihat Adhiti mulai mimisan setiap kali membantu Run Phee.

Kelihaian Sasanatieng menggunakan elemen dalam cerita dan menggalinya untuk mengembangkan plot adalah satu hal yang saya sukai. Dia berhasil membuat saya penasaran setengah mati mengenai nasib Adhiti. Terutama ketika dia berhasil mengungkap misteri yang menyelubungi Istana Panawadee dan pemiliknya.

Aturan lain dalam Senior (Run Phee) yang sedikit berbeda dari kebanyakan cerita hantu yang umum beredar adalah hantu di film ini tidak bisa seenak udelnya menembus tiap tembok dan masuk ke dalam ruangan, mengganggu orang-orang. Para hantu dalam Senior (Run Phee) terikat kepada ingatan mereka semasa hidup.

Run Phee yang hidup sebelum Istana Panawadee mengalami renovasi untuk menjadi sekolah asrama khusus murid perempuan. Akibatnya, Run Phee tidak bisa masuk-keluar dari setiap ruangan dengan mudah. Bahkan waktu Adhiti nyaris kehilangan nyawa dan Run Phee hanya berjarak beberapa meter dari gadis itu.

Hal lain yang saya suka dari Senior (Run Phee) adalah kehalusan computer graphic film ini. Meski mengangkat film remaja, kru Senior (Run Phee) tidak main-main saat menggarap para hantu.

AntNyaris sehalus CG Croc di film Suicide Squad ya, Artebianz.

Perkara akting Jannine dan Bom yang notabene belum pernah berakting sebelumnya, saya cukup menyukai mereka. Khususnya fokus pandangan Jannine yang sama sekali tidak membalas tatapan Bom, walau mereka hanya berjarak beberapa senti saja.

Jannine seakan menjadi orang buta saat berakting dengan Run Phee dan para hantu lainnya. Salah satu detail dan konsistensi dari cerita serta karakter yang saya suka.

Yang menjadi favorit kedua saya dari Senior (Run Phee) tentu saja elemen kejutan yang diselipkan dan disembunyikan oleh Sasanatieng di tiap kelokan film romance-horror dewasa muda besutannya ini. Saya bisa mengatakan Senior (Run Phee) adalah satu dari sedikit film remaja yang ceritanya digarap apik.

Baca juga: Penelusuran dan Napak Tilas Kehidupan Ken Angrok

 

 

Senior (Run Phee), My Wrinkle and Crinkle

Menonton Senior (Run Phee) satu kali mungkin akan menimbulkan kesan(Run Phee) tidak luput dari kekurangan. Namun, seperti film-film lainnya, saya menemukan beberapa detail yang membuat saya mengernyit bingung.

Pada menit 19:19, Adhiti bercerita kepada Ant bahwa dia hanya bisa mencium bau hantu. Namun, anehnya, Adhiti bisa menebak identitas pelaku pembunuh Nyonya Panawadee ketika menemukan petunjuk di buku milik seseorang yang tinggal di Istana Panawadee 30 tahun yang lalu. Adhiti membaui buku tersebut dan segera mengenalinya.

Mon aka Adhiti

Masalahnya, pemilik buku itu masih hidup.

Seandainya penonton tidak jeli memikirkan perkara ini, mereka bisa terjebak dalam kebingungan. Pada kenyataannya, bau yang dimaksud oleh Adhiti bukanlah wangi ala bunga tabur untuk kuburan atau anyir yang mengganggu hidung. Sebaliknya, aroma yang dihidu gadis itu semacam bau khas yang dimiliki setiap manusia semasa hidup, yang kemudian menjadi aroma khas setelah orang tersebut meninggalkan dunia.

Hal kedua yang mengganggu saya adalah jumlah guru yang dimiliki SMA Katolik Santa Maria ini. Dari menit awal hingga akhir, guru yang ditampilkan hanya seorang. Kalaupun ada pengajar lain, itu pun seorang kepala biarawati yang seolah eksis hanya untuk memberi ceramah, hukuman, dan berdoa.

The Nuns

Sepele sih, tapi semua itu membuat saya paham kenapa guru/biarawati tersebut begitu sensitif dan suka berteriak-teriak.

Baca juga: Misteri Tetua di Desa Jogoroto, Jombang

 

 

Senior (Run Phee) All in All….

Meski menggunakan bintang baru di dunia akting, Senior (Run Phee) tidak lantas menjadi tontonan yang monoton dan membosankan. Dengan kepiawaian Sasanatieng dalam menulis skenario dan mengarahkan, Senior (Run Phee) menjadi film yang menghibur dan lucu.

My final verdict for this movie is....

Rating


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Review Film Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Malaikat Tak Bersayap


Voici - Duo Multi Talenta Dari Surabaya


Cinderella Teeth - Kisah Cinderella dan Para Peri Gigi Modern


Crazy Little Thing Called Love: Dari Itik Si Buruk Rupa Menjelma Menjadi Snow White yang Sesungguhnya


Membaluri Luka dengan Cinta dalam Lagu I'm Not The Only One


Bubur Turki Kayseri: Bubur Ayam Versi Spicey


Lembah Rolak


Gapura Wringin Lawang, Mojokerto: Gerbang dari Masa Kini ke Masa Lalu


Literasi Oktober: Goodreads Surabaya, Faisal Oddang, dan Puya ke Puya


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Tujuh)


Tiga Puluh Tahunan (Part 1)


Menjelang Telah Tiba Datang