Mengenang Sejarah Dukuh Kemuning Dan Menguak Peninggalan Kepurbakalaannya

29 Sep 2015    View : 9805    By : Kopi Soda


Suatu ketika kita teringat sebuah lagu yang dinyanyikan Pak Gombloh berjudul “Lestari Alamku” dengan lirik “Lestari alamku, lestari desaku, di mana Tuhan-ku menitipkan aku ... dst”. Sebuah lagu yang sering diputar tiap sore di salah satu stasiun swasta pada awal tahun 2000-an. Lagu ini tentu mengingatkan kita akan suasana nostalgia akan alam pedesaan yang sederhana, alami, asri, dan damai—terlebih lagi bagi seseorang yang memang lahir dan dibesarkan di desa.

Seperti yang kita ketahui desa mulai zaman primitif telah menjadi bagian pola pemukiman yang penting bagi masyarakat sebagai pusat kegiatan sehari-hari. Toponimi (arti asal-usul kata) dari desa memiliki beberapa sebutan, seperti “dusun” dan “desi” (berasal dari kata swa-desi) yang memiliki padanan kata seperti halnya perkataan kata “negara”, “negeri”, “negari”, “nagari”, “negory” (berasal dari perkataan nagarom), secara harfiah kata-kata tersebut asalnya dari bahasa Sanskrit (Sansekerta), yang artinya tanah air, tanah asal, tanah kelahiran.

 

Terminologi Desa

Arti desa dengan cangkupan luas adalah suatu kesatuan hukum, di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri (Kartohadikoesoemo, 1984: 15-16). Desa pun dapat diberikan batasan pengertian dengan dasar pemikiran dan karakteristik, yaitu: aspek morfologi, aspek jumlah penduduk, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya serta aspek hukum, yang akan dijabarkan sebgai berikut:

  • Dari aspek morfologi, desa adalah pemanfaatan lahan atau tanah oleh penduduk atau masyarakat yang bersifat agraris, serta bangunan rumah tinggal yang terpencar (jarang).        
  • Dari aspek jumlah penduduk, maka desa didiami oleh sejumlah kecil penduduk dengan kepadatan yang rendah.                    
  • Dari aspek ekonomi, desa ialah wilayah yang penduduk atau masyarakatnya bermata pencaharian pokok di bidang pertanian, bercocok tanam atau agraria, atau nelayan.
  • Dari segi sosial budaya, desa itu tampak dari hubungan sosial antara penduduknya yang bersifat khas, yakni hubungan kekeluargaan, bersifat pribadi, tidak banyak pilihan dan kurang tampak adanya perkotaan, atau dengan kata lain bersifat homogen, serta bergotong royong.                                
  • Dari aspek hukum, desa merupakan kesatuan wilayah hukum tersendiri. (Asy’ari, 1993: 93-94).

Dalam struktur hirarki pembagian wilayah administratif pemerintahan sekarang, desa memiliki bagian yang lebih kecil yang berkedudukan di bawah desa biasanya disebut dengan “dusun, dukuh, atau kampung” atau sebutan yang lain lagi yang seperti gampong, hukum tua, wanua, dan lain sebagainya.

Dalam hal ini sama halnya dengan desa dalam skala besar, dukuh juga memiliki ciri khas, fungsi, keistimewaan, dan sejarah-nya sendiri sebagai bagian wilayah dalam desa. Tentunya jika hal ini dieksplorasi dan disosialisasi akan menjadi suatu yang menarik serta memiliki nilai plus guna untuk pengembangan wisata alam di desa beserta wisata sejarah baik melalui kegiatan bersih desa dan festival budaya desa.            

Dukuh KemuningGambar 01: suasana rindang dan sejuk di sekitar Situs Kemuning karena banyaknya vegetasi tanaman besar dan semak belukar yang rimbun

Baca juga: Patirthan Candi Kidal Yang Tersembunyi

Situs Dukuh Kemuning

Dalam kesempatan ini kita akan mengunjungi sebuah dukuh di wilayah Malang Selatan provinsi Jawa Timur, yang memiliki keistimewaan dan keutamaan di masa lampau, Artebianz. Terutama sejak zaman Kerajaan Tumapel (Singhasari) yang jarang diketahui khalayak umum dan tentunya menarik untuk dibahas.

Adalah Dukuh Kemuning, sebuah dukuh yang unik serta memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Tentu menarik membahas bagaimana peranan dukuh ini di masa lampau yang akan kita bahas berikut ini.

Dukuh Kemuning secara administrasi terletak di Desa Kranggan, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur dahulu wilayah ini masuk wilayah Desa Sengguruh, Kecamatan Kepanjen (dukuh ini berjarak sekitar 18 km dari Kota Kepanjen).

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda menurut Staatbald Gubernur Jenderal tanggal 01 Maret 1874 Nomor 72 yang berlaku mulai 01 april 1874, menyatakan bahwa Karesidenan Pasuruan memiliki 03 bagian wilayah (Afdeling), yaitu Afdeling Pasuruan, Afdeling Bangil, dan Afdeling Malang. Desa Kranggan (termasuk Dukuh Kemuning di dalamnya) masuk Distrik (Kawedanan) Kepanjen Afdeling Malang.

Untuk menuju ke dukuh ini pengunjung dapat melewati area Malang bagian selatan yaitu:

Alun-alun Kota MalangKepuhKebon AgungGenenganPakisajiPertigaan Jalan Baru (Terus arah Kepanjen belok kiri arah Karangkates). Pilih belok kanan arah KarangkatesNgasemKrangganKemuning.

Sementara itu, untuk menuju punden desa tempat Situs Kemuning, Artebianz bisa  bertanya warga desa karena semua warga mengetahuinya.

Dokumen pribadi penulisGambar 02: Papan Masuk Menuju ke Situs Kemuning

Di Dukuh Kemuning terdapat peninggalan kepurbakalaan yang sangat penting berupa prasasti yang semakin aus (disebut Prasasti Kranggan), reruntuhan candi berbata merah, juga sebuah yoni dan lingganya yang sudah hilang beberapa tahun yang lalu, serta adanya arca Lembu Nandini yang tersembunyi di bawah akar pohon beringin (Suwardono, 2013:169-170).

Pada bulan Oktober tahun 1916, saat seorang ahli sejarah dan budayawan dari Negeri Belanda bernama Frederik David Kan Bosch (F.D.K Bosch) berjalan-jalan di daerah Dukuh Kemuning, ia menemukan Situs Kemuning—yang terdiri dari prasasti, fragmen batu merah, lingga dan yoni, serta arca Lembu Nandini).

Bosch berusaha membaca prasasti Kranggan di situs Kemuning tersebut, namun sayang sekali prasasti batu itu sudah usang sehingga sulit untuk dibaca dan isinya tidak dapat diketahui dengan jelas (Poesponegoro & Notosutanto, 2010:436). Akan tetapi, untunglah tahunnya dapat dibaca yaitu 1178 Saka (1256 M), hal ini ditulis F.D.K Bosch di OV (Oudheidkundige Verslag van de Oudheidekundige Dienst in Nederlandsch Indie).

Jika dicermati lebih lanjut tahun tersebut bertepatan dengan pemerintahan Raja Wisnuwardhana dari Kerajaan Singasari. Namun, prasasti dikeluarkan oleh Raja Muda (Yuwaraja/Kumararaja) Kertanegara, anaknya. Selain itu, seperti yang kita ketahui sebelumnya, bahwa di situs ini terdapat temuan lingga dan yoni serta sisa-sisa dari bangunan suci. Mengingat terdapat sebuah lingga dan yoni, diduga bangunan suci yang berhubungan dengan tempat tersebut adalah bangunan suci agama Hindu.

Baca juga: Gedung De Javasche Bank Surabaya - Saksi Sejarah Panjang Perbankan Indonesia



Pada tahun 1986 dilakukan inventarisasi oleh Kantor Suaka Sejarah dan Purbakala Jawa Timur terhadap situs di Dukuh Kemuning, Desa Kranggan, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang, antara lain sebuah prasasti (tg. 137 cm, lb. Atas 76 cm, lb. bawah 65 cm, dan tb. 24,5 cm) dan lingga (tg. 44cm, lb. 13 cm, Ø. 15 cm. Yoni: tg. 36 cm, pj. 50 cm, lb. 50 cm). Kondisi yang dilaporkan tidak jauh berbeda dengan apa yang diinventariskan oleh  F.D.K Bosch dalam ‘OV’ tahun 1916.

Kemuning_Prasasti KrangganGambar 03: Gambar Prasasti Kranggan 

Pada tahun 2008, dilakukan penginventarisasian lagi terhadap Situs Kemuning atas laporan warga desa yang ingin mengrtahui lebih jauh tentang sejarah desanya. Dicatat tentang adanya prasasti, lingga-yoni, arca lembu yang terbelit akar pohon, serta banyaknya bata merah tebal dengan ukuran variasi antara 08 x 18 x 21 cm untuk bata dinding dan 11 x 21 x 32 cm untuk bata pondasi.

Dari temuan dan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa daerah Kranggan secara fakta historis sudah dihuni oleh manusia pada masa Kerajaan Singhasari, bahkan tentunya sebelum itu sudah terdapat masyarakat yang sudah tinggal menetap.  Bukti adanya situs dan bangunan suci dan prasastinya di Dukuh Kemuning, Desa Kranggan, menunjukkan bahwa Desa Kranggan merupakan salah satu desa terpilih saat itu. Tidak mungkin pihak pemerintahan kerajaan mendirikan bangunan suci di tempat tersebut tanpa adanya alasan yang penting.

Kemuning_PengunjungGambar 04: Pengunjung Tampak Serius Mengamati Prasasti Kranggan

Sayang sekali isi prasasti tersebut sudah tidak dapat dibaca, tetapi isinya tentunya berkaitan dengan dharma sima swatantra (daerah bebas pajak). Mungkin dapat diduga bahwa dharma sima swatantra itu dikabarkan pula dalam Prasasti Mulamalurung yang 1 tahun lebih awal dikeluarkan oleh Raja Wisnuwardhana.

Adapun isi Prasasti Mulamalurung lempeng IV.b tahun 1177 Saka (1255 M) yang berkaitan dengan hal itu sebagai berikut:
1.    ............................................................
2.    ........................Prahajya
3.    n. Saŋ wineh=anusaka dharma sīma swatantra. ngkāneŋ bhūmi wetan=iŋ kawi. Maka saŋ jñākŕtāsana1. saŋ=apañji samaka. a
4.    patih=ira narapati kŕtānagara.........dst.
(=Yang menandai (memulai) bangunan suci tanah perdikan di suatu tempat di “bumi sebelah timur Kawi,” oleh yang melaksanakan perintah, yaitu sang apanji Samaka, patih dari raja Kertanegara..........dst.)

Dikuatkan pula hal ini dalam Kitab Nagarakertagama yang ditulis Pu Prapanca pada tahun 1365 M, dengan menyebutkan tempat-tempat desa perdikan (desa yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah pusat, pada zaman kerajaan) di seluruh wilayah Majapahit.

Kemuning_YoniGambar 05: Yoni yang disemen berbentuk segi empat, pecahan hiasan candi di atas yoni & tebaran fragmen batu bata merah besar menandakan pernah berdiri bekas candi hindu beraliran sekte Siwa Siddhanta di area ini

Baca juga: Wisata Religi: Makam Maulana Sayyid Ismail Janti, Jogoroto, Jombang

 

Pada pupuh 76 bait 03 (Muljana, 2006: 391) disebut tempat-tempat suci di sekitar Singasari sampai lereng timur Gunung Kawi. Di antaranya yang lokasinya berderetan adalah Panghawan, Damalung, Tepasjita, Wanasrama, Jenar, Samudrawela, Pamulang, Baryang, Amertawardani, Wetiwetih, Kawinayan, Patemon, serta Kanuruhan.

Panghawan dapat diidentifikasi yaitu derah Mangliawan-Pakis, Damalung berada di tepi barat laut Singosari, Tepasjita berada di timur laut Kesamben-Blitar. Wanasrama diduga Mendalanwangi (karena Mendalan artinya Wanasrama), Samuderawela dan Pamulang tidak dapat dilacak keberadaannya. Kawiyanan adalah lereng Kawi sebelah utara, Patemon adalah desa Temu di Karangploso, Kanuruhan adalah daerah Dinoyo, dan kemudian Jenar.

Apakah tidak mungkin bahwa “Jenar” yang dalam bahasa Jawa Kuna berarti “Kuning” (Mardiwasito, 1981: 251) itu sekarang adalah ‘dukuh Kemuning’? Yang memang terdapat sisa-sisa bangunan suci pada zaman kerajaan Singasari? (Suwardono, 2012:01-02).

Arca Lembu NandiniGambar 06: Arca Lembu Nandini Replika Wahana Dewa Siwa yang Terlilit Akar Pohon Beringin Sehingga Hanya Tampak Batu Bulat

Baca juga: Leiden, Kota Sarat Sejarah Dalam Balutan Puisi Indah

 

Menurut Mbah Salam (61) Juru Pelihara (Jupel) Situs Kemuning, tempat Prasasti Kranggan yang sekarang berdiri di atas gundukan tanah sepanjang 02 meter x 03 meter dengan ketinggian setengah meter yang mirip dengan makam itu disebut beliau dengan “Petilasan Mbah Suko”, sedangkan sebelah tempat tersebut terdapat pohon yang tidak terlalu besar yang dipagari pagar berwarna hijau dan batu bata pendek berukuran 01 x 01 meter yang disebut “Petilasan Mbah Mintorogo”.

Tinggalan purbakala di situs ini hanya terdapat beberapa fragmen bata merah yang dijadikan pagar pembatas lalu disemen. Sedangkan tempat yoni yang disemen di atas gundukan permukaan tanah dengan lebar 1,5x1,5 meter dan tinggi setengah meter disebut “Sopi Angin”.

Sayang, lingga yang seharusnya berada di atasnya hilang dicuri orang beberapa saat yang lalu, dan di atas yoni tersebut sekarang dipasang sebuah fragmen pecahan hiasan candi. Kemudian, di sisi barat situs terdapat area berisi pohon beringin besar yang melilit sebuah arca Lembu Nandini, masyarakat sekitar menyebut arca tersebut “Patung Lembu Suro”.

Namun amat disayangkan, arca tersebut terlilit hampir seluruhnya oleh akar pohon beringin sehingga yang tampak hanya sebongkah batu besar dari celah-celah akar. Masyarakat sekitar percaya bahwa penunggu arca tersebut akan marah jika ada penduduk memelihara sapi dari luar Jawa, hal ini pernah terjadi ketika penduduk memelihara sapi non-Jawa yang akhirnya banyak yang mati.

Sementara itu, di sisi lain situs Kemuning tersebut terdapat sebuah makam yang diijadikan punden desa yang disebut “Makam Tunjungsari” dipercaya bahwa di makam ini disemayamkan tokoh utusan dari Mataram zaman Sultan Agung untuk tinggal dan menetap di sana (Radar Malang, 2014:38).

Lebih lanjut menurut Mbah Salam pada waktu terjadinya peristiwa Gestok (G30S PKI) terjadi pengerusakan besar-besaran pada area situs dan prasasti oleh sejumlah oknum tak bertanggung jawab, hal itu dapat dilihat di bagian bawah prasasti terdapat bagian yang disemen (Wawancara:13-09-2015). Sungguh amat sangat disayangkan.

Dukuh Kemuning terletak sangat dekat dengan Gunung Kawi, jika ingin berwisata ke Gunung Kawi maka ada baiknya Artebianz lebih dulu menyempatkan diri mampir untuk mengunjungi tempat ini agar wisata terasa lengkap, menyenangkan dan menambah wawasan.

Sebagai penutup, setelah mengetahui sejarah dan peninggalan kepurbakalaan baik di dukuh Kemuning itu sendiri maupun di tempat lain, hendaknya kita semakin mencintai, menjaga, dan merawat peninggalan sejarah tersebut. Agar kita dapat mewariskan budaya dan sejarah kita kepada generasi penerus, supaya mereka tidak kehilangan jejak sejarah desa dan tokoh-tokoh leluhurnya.

Demikianlah uraian singkat ini jika terdapat kekurangan kami mohon maaf sebesar-besarnya.

Kami ucapkan selamat “blusukan situs sejarah” dan salam.

Baca juga: Candi Minak Jinggo - Candi Kecil nan Istimewa di Trowulan



Sumber Referensi:

  1. Anonim, (2014). Desa Spesial Era Singhasari Tercatat di Kemuning. Malang: Radar Malang.
  2. Asy’ari, Sapari Imam, (1993). Sosiologi Kota Dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional.
  3. Kartohadikoesoemo, Soetardjo, (1984). Desa. Jakarta: Balai Pustaka.
  4. Mardiwasito, L. (1981). Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende: Penerbit Nusa Indah.
  5. Muljana, Slamet (2006). Tafsir Sejarah Negara Kretagama. Yogyakarta: LKiS.
  6. Pusponegoro,  Marwati Djoened, (2010). Sejarah Nasional Indonesia Jilid II,  Edisi Pemutahiran. Jakarta: Balai Pustaka.
  7. Suwardono, (2012). Sejarah Desa Kranggan Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang. Malang: Paper.
  8. Suwardono, (2013). Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha. Yogyakarta: Ombak.


Informan:

Nama: Mbah Salam Djojo Aminoto
Pekerjaan: Juru Pelihara (Jupel) Situs Kemuning
Umur: 61 Tahun
Alamat: Rekesan Utara Punden (Situs Kemuning)

 


Tag :


Kopi Soda

Devan Firmansyah a.k.a Kopi Soda adalah seorang calon ahli sejarah dan guru sejarah, antropologi, dan sosiologi.

Profil Selengkapnya >>

Wisata Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Stigma dan Tradisi: Perempuan, Terlahir Sebagai Penghuni Neraka


Prisca Primasari - Menulis Adalah Memberi Kado Pada Diri Sendiri


Just So Stories Sekadar Cerita


Me Before You - Jojo Moyes and a Bowl of Warm Love Story


Danilla dan Kalapuna


Dari Surga Belanja Menjadi Surga Makanan, Kedai Tunjungan City


Latarombo Riverside Cafe - Menikmati Vietnam Drip dengan Suasana Asyik


Taman Nasional Baluran - Afrika-nya Indonesia


WTF Market - Moire: A One-Stop Entertainment Market


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Pertama)


Kabut Rindu


Satu Kali Seminggu