Stigma dan Tradisi: Perempuan, Terlahir Sebagai Penghuni Neraka

02 Sep 2014    View : 3186    By : Niratisaya


Adalah berawal dari sebuah seminar yang sempat saya ikuti sewaktu masih duduk di bangku kuliah, saya tergelitik untuk menulis artikel ini untuk Anda, Artebianz. Khususnya kaum perempuan.

Biasanya saya nyaris selalu tertidur setiap kali mengikuti seminar di dalam kelas ber-AC, terutama ketika sudah lewat jam makan siang. Namun hari itu berbeda. Pada hari itu, meski AC berada tepat di atas kepala saya dan terasa begitu menusuk kulit. Namun berhubung pembicara saat itu adalah salah seorang yang memegang jabatan penting dan terkenal loman dalam memberi nilai, saya bertekad memfokuskan seluruh perhatian yang saya punya pada setiap kata yang diucapkan oleh lelaki berbahasa santun tersebut.

Mulanya saya gagal memusatkan perhatian saya, hingga pada satu titik, entah bagaimana, diskusi di dalam seminar yang awalnya membicarakan teori mimesis terhubung pada topik yang berbau agama—yang kemudian berkembang menjadi isu yang menyinggung para perempuan di dalam forum.

Baca juga: Stigma dan Tradisi: Laki-laki, Perempuan... Mana yang Lebih Baik?

 

 

Penghuni Neraka, Status Tak Terelakkan Bagi Perempuan

Menggunakan salah satu ayat dalam kitab suci sebagai landasan, Pembicara dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa sebagian besar penghuni neraka adalah perempuan. Dan hal ini disebabkan oleh dua hal:

  1. Lidah perempuan yang kurang bisa terkontrol dalam berucap (baiklah, saya menganggukkan kepala, memaklumi alasan ini karena memang banyak fakta yang merujuk pada kebenaran. Maksud saya, sebagian besar perempuan memang terkenal gemar bercakap-cakap), dan
  2. Ibadah perempuan sering kali tidak sempurna.

Mendengar itu, saya kontan mengerutkan dahi, Artebianz. Namun saya memilih untuk menunggu Pembicara tersebut meneruskan kalimatnya. Topik di dalam seminar pun kembali beralih, dari mimesis ke religi yang kemudian terhubung pada tata cara seorang perempuan buang air kecil. Bahwa cara buang air kecil para perempuan tidak seperti pria, yang "terfokus dan tidak memancar kemana-mana".


Sontak hati kecil saya tersinggung. Bukan hanya karena saya anggota kaum yang tengah dimarginalkan oleh si Pembicara, tapi juga karena pada satu keanehan. Dari mana beliau tahu bahwa ketika kencing, air seni perempuan sering memancar ke mana-mana? Pembicara notabene seorang lelaki. Pendapat tersebut sangat seksis sekali menurut saya, untuk menilai bahwa banyak penghuni neraka adalah perempuan karena alasan kedua.

Tunggu punya tunggu dan usut punya usut, rupanya latar belakang Pembicara pendidikan pada forum hari itu adalah hukum fiqih, selain sastra Indonesia.

Saya senang sekali karena Pembicara berkenan hadir dan membagi ilmunya pada kami, tapi rasanya akan lebih bijak jika beliau membiarkan guru fiqih perempuan untuk memberi tahu dan mengkritisi para hadirin dengan jenis kelamin yang sama. Selain tidak akan menyinggung harga diri, hal tersebut juga akan menghindarkan suasana yang spontan merendahkan martabat para perempuan di dalam forum. Termasuk saya. Sebab, salah seorang hadirin pria, dengan usil segera bertanya kebenaran tentang perempuan dan cara buang air kecil mereka. Pertanyaan tersebut mungkin terkesan remeh, tapi apa yang terimplikasi di sana dan imbas dari pertanyaan tersebut tidak seremeh bagaimana pertanyaan tersebut dilontarkan.

Sebaliknya, akan ada dampak terhadap psikologi para wanita di dalam forum. Hal ini terbukti dengan curhat salah seorang peserta forum yang mulai mempertanyakan caranya membersihkan diri dan bagaimana nasib ibadahnya selama ini.

Seandainya saja Pembicara berhenti pada alasan pertama dan berkenan menjabarkan, bahwa lidah perempuan yang tidak terkendali ini kemudian membawa para perempuan pada banyak kekacauan, terutama mereka yang tidak terdidik, karena mari kita terima fakta bahwa perempuan lebih mengutamakan perasaan dan mudah tersulut emosinya.

Seorang makhluk yang sensitif, yang jika emosi akan segera melakukan banyak hal impulsif, tanpa berpikir panjang maupun menggunakan kepala dingin. Dan sikap inilah yang banyak mencelakakan perempuan.

Jika saja, Pembicara mau dan mampu menjabarkan poin pertama seperti, dengan menekankan pentingnya pendidikan tanpa menyinggung ranah sensitif, saya yakin tidak akan ada harga diri yang tersinggung saat itu. Atau seseorang yang meragukan kehidupan beragamanya selama ini.

Untung saja, Pembicara kemudian menyadari kesalahannya dan mulai membicarakan hal lain—yang walau masih berkaitan dengan topik buang air kecil, tapi tidak lagi menyinggung perempuan dan alat kelaminnya.

Sebagai catatan, Artebianz, bukannya saya fanatik pada aliran feminis, tapi hal-hal kecil seperti demikian akan semakin meng-opresi kedudukan wanita yang sejak lahir oleh masyarakat dan budaya dinomorduakan. Tanpa melihat peran penting seorang wanita, baik di belakang layar atau di atas panggung dunia; sebagai penjaga keseimbangan di dalam rumah.

Baca juga: Embroideries: Menyusup Dalam Kehidupan Para Wanita Timur Tengah

 

 

Peran Seorang Perempuan dan Pentingnya Pendidikan

Anda tentu ingat sebuah iklan yang menyebutkan jika seorang wanita (yang terdidik) dapat menjadi seorang pendidik, akuntan, ahli gizi dan psikiater untuk keluarganya. Semuanya dilakukannya dengan ikhlas dan tanpa sedikit pun menuntut upah, kecuali balasan kasih dan perhatian untuk menentramkan jiwanya yang sering gelisah.

Diambil dari deanroughton.com

Tentu tidak semua wanita melaksanakan perannya dengan baik, sama seperti tidak semua wanita dapat memasak dan pria dapat membangun rumah. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh lingkungannya yang gagal menanamkan pengertian betapa penting perannya dalam tumbuh kembang manusia dan generasi berikutnya. Ini bisa jadi disebabkan oleh stigma kuno bahwa pendidikan tidaklah diperlukan untuk perempuan karena toh wanita ditakdirkan bekerja di belakang layar (masih ingat istilah macak-masak-manak/berhias diri-memasak-melahirkan?).

Anggapan tersebut salah besar, karena jika ditillik dengan baik, pendidikan adalah hal vital dalam kehidupan manusia, terutama wanita. Sebab bukankah ada salah satu kalimat bijak yang mengatakan "surga ada di bawah telapak kaki ibu"? Dan bukankah akan lebih indah lagi surga itu, jikalau dia dihijaukan dan diperindah dengan nyanyian alam? Dalam hal ini saya membicarakan tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan, para (calon) ibu yang akan melahirkan generasi penerus.

Artebianz, sosok ibu sebagai surga akan lebih lengkap lagi jika dia, di waktu dini (saat seorang perempuan masih berstatus sebagai seorang anak dan saudara perempuan) diberi pengertian dan asupan ilmu serta pendidikan demi peran pentingnya di hari nanti. Ketika peran seorang perempuan tidak hanya sebagai seorang anak dan saudara perempuan, tapi juga sebagai ibu, istri dan peran lain yang akan disandangnya nanti.

Baca juga: Cinderella dan Wanita Masa Kini: Sebuah Dekonstruksi Dongeng

 

 

Catatan:

Di artikel ini saya dengan sengaja menggunakan istilah perempuan dan wanita.

Menurut Keraf (1996:55) kata perempuan memiliki konotasi yang lebih positif ketimbang wanita. Kata "perempuan" berasal dari "pu" kemudian "mpu" lalu "empu" yang berarti tuan, orang yang dihormati, ahli dalam suatu bidang, dan pemilik.
Sementara kata "wanita" dihipotesiskan bersumber dari kosakata bahasa Sansekerta, yaitu "vanita" yang berarti "yang diinginkan (oleh kaum pria)".

Dalam bahasa Inggris terdapat pula kata vanity yang berarti 1) keangkuhan; 2) kesia-siaan yang berasal dari bahasa Latin, vanitas.

Secara linguistik komparatif keduanya adalah kata-kata yang berkerabat jauh, tetapi memiliki hubungan asosiatif, misalnya vanity bag/case berarti sebuah tas atau kotak kecil untuk menyimpan bedak, cermin, dan perhiasan yang dianggap khas perempuan (Budiman, 1999:93-94).

Dikutip dari Aplikasi Kritik Sastra Feminis, Perempuan Dalam Karya-Karya Kuntowijoyo karya Adib Sofia, S.S., M.Hum

 




Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Meragajiwa Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Om Telolet Om, Memanfaatkan Isu Viral Untuk Kemaslahatan Umum


Petualangan bersama Einstein: Safari


Dieng: Sebentuk Nirwana di Indonesia - Edisi Kompleks Candi Arjuna


Cheese In The Trap - Jebakan Si Keju Untuk Sang Tikus


Lalu Abdul Fatah - Profesi, Delusi, dan Identitas Diri


Baegopa Malang - Ada Harga Ada Rasa


La Ricchi - Gelato Kaya Rasa di Surabaya


Kabut Rindu


Blinded by Love - Karena Cinta Sungguh Membutakan


Festival Foto Surabaya - Menggugah Kepedulian Melalui Lensa


Dua Windu Lalu, Lewat Hening Malam


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Lima)