Danilla dan Kalapuna

09 Feb 2017    View : 8874    By : Niratisaya


Entah sejak kapan, musik Indonesia mulai berhenti berkembang. Sehingga ketika saya berbicara tentang musik, kebanyakan referensi yang saya punya hanya dari Barat dan Korea Selatan. Kalaupun ada musisi dari Indonesia, khususnya yang sekarang ini, saya bisa menghitungnya dengan jari-jari di satu tangan. Saya lebih sering mengandalkan musik-musik di tahun 90-an dan awal 2000-an.

Salah satu penyanyi Indonesia yang masuk dalam hitungan saya adalah Danilla Riyadi. Seorang penyanyi dengan suara soulfull khas yang sering membawakan musik jazz dan bossanova. Dua genre yang jarang sekali dipilih penyanyi. Semua bermula dari satu albumnya, Telisik, yang dirilis pada tahun 2014. The way she sings and brings her music are so out of chart.

Setelah bertapa selama 3 tahun, Danilla akhirnya kembali dengan musik dan gayanya yang khas lewat single barunya: Kalapuna. Dan berikut hasil kupingan sayaSmile

 

 

 

Analisis Kalapuna - Musik dan Media Gundah dalam Percintaan

Kalapuna dari Segi Lirik

Satu hal yang saya suka dari Danilla selain suaranya adalah lirik lagu-lagu yang ditulisnya. Danilla selalu memilih diksi bak puisi. Memberikan kesan lembut, elegan, juga istimewa. "Kalapuna" pun nggak jauh berbeda dari lagu-lagu Danilla dalam album Telisik.

"Kalapuna" ditulis Danilla sebagai reaksinya terhadap fenomena kegundahan dalam menjalani hubungan percintaan. Lirik lagu ini bisa jadi lahir dari pengalaman pribadi Danilla, orang-orang sekitar, atau gabungan keduanya. Walhasil, yang tercipta adalah sebuah barisan kalimat indah yang bordering antara rasa rindu, cinta, sekaligus hampa.

Verse 1

Resah kala kau jaga
Murka jika kudengar
Letih tanpamu
arungi lautan rindu

Verse 2

Remang tiada tara
Namun sungguh terasa
Harum belaimu
seakan terus menunggu

Baik verse 1 maupun verse 2 diawali dengan dua kalimat yang memberi kesan negatif. "Resah" dan "remang". Mempertegas bahwa lagu ini bukan sepenuhnya tentang dua orang kekasih yang terpisah dan tengah saling merindu. Melainkan mengenai salah satu dari pasangan itu yang lelah dengan rindunya dan perasaan yang nggak menentu.

Rasa lelah ini diulang lagi dengan perbandingan antara baris 2 dan baris tiga di dua verse tersebut. Si kekasih yang tertinggal ini sendirian, terombang-ambing di "lautan rindu". Sementara itu, dia tetap mendambakan "belai" kekasihnya. Dia bahkan sampai membayangkan bahwa seandainya dia mampu mengarungi rindunya yang bak lautan luasnya, dia bakal bertemu dengan kekasihnya. Merasakan pelukannya.

Namun, kembali ke baris pertama di verse 2, yang ditemukannya hanyalah "remang tiada tara".

Artebianz bisa membayangkan, seperti apa rasanya?

Baca juga: Libreria Eatery, Spot Tepat untuk Memberi Makan Perut dan Otak

 

Lelah dan nggak mau lagi terus berada di keremangan dan merasakan kegundahan hubungannya, si kekasih yang ditinggal sendiri ini akhirnya mengambil keputusan yang tergambar di bagian berikut:

Chorus 1

Lepas jua jasadmu
Biar buyar asaku

Ya, dia melepas kekasihnya. Atau bisa juga melepas "jasadmu" (kekasihnya) yang ada dalam imajinasinya. Sehingga dia nggak lagi dihantui bayang-bayang bahwa di ujung rasa rindunya, si kekasih sedang menunggunya. Sehingga setiap harapannya untuk kembali merasakan belaian si kekasih "buyar".

Di sisi lain, menimbang pendeknya chorus 1, saya menduga bahwa keputusan yang diambil ini impulsif. Spontan dan tanpa pikir panjang. Hasilnya, si kekasih yang ditinggal sendiri ini kembali dalam remang-remang hubungannya dan merasa gundah—sekali lagi—mengenai percintaannya dengan si kekasih.

Verse 3

Renungan yang mengalun
Penuh sudah segala ruang
Apakah aku terlalu keras menikam?


Nggak seperti di bagian sebelumnya, di paruh kedua "Kalapuna" (kalau saya boleh menyebutnya demikian), hanya ada satu verse, tapi lebih panjang ketimbang dua verse sebelumnya. Seolah mengisyaratkan kalau si kekasih yang ditinggal ini tenggelam dalam pikirannya dan sekali lagi meragu atas keputusan yang sebelumnya dia ambil.

Dia bahkan bertanya-tanya apa tindakan/keputusannya itu terlalu ekstrem, sehingga "keras menikam" kekasihnya. Tapi apa pun hasil renungannya. Di ujung hubungan si kekasih yang ditinggal dan pasangannya, hanya ada perpisahan dan "kepunahan masa" hubungan keduanya.

Chorus 2

Lepas jua jasadmu
Biar buyar asaku
Sukar sudah tegakku
Punah sudah masaku

 It's poetic, right, Artebianz? Compared to most of currently trending music in Indonesia. Nggak ada baris tentang cari selingkuhan atau pacaran di belakang. "Kalapuna" dengan segala kegundahan percintaan yang ingin diwakilinya meninggalkan kesan 'cantik' dan elegan.

Selain itu, secara bahasa pun "Kalapuna" tergolong mudah dicerna oleh generasi sekarang, menurut saya.

Baca juga: Cafe-Cafe Asyik di Malang

 

Kalapuna dari Segi Komposisi Lagu

Berbeda dengan lagu-lagu Danilla di album pertamanya yang didominasi instrumen akustik, "Kalapuna" mengandalkan synthesizer sebagai instrumen utama. Instrumen yang akhir-akhir ini populer digunakan oleh kebanyakan musisi dan pencipta lagu kondang masa kini.

Namun, alih-alih menghasilkan musik yang enteng, synthesizer melingkupi "Kalapuna" dengan keindahan yang cukup menghantui. Seolah mewakili rasa gundah dalam lagu ini, yang tenang tapi menghanyutkan. Tanpa menjatuhkannya ke level lagu kacangan.

DanillaSource: Instagram @penelisik

Baca juga: Sepetak Keindahan Bali di Tegal Wangi

 

 

Kalapuna secara Keseluruhan

Meski mengusung genre musik jazz, menurut saya "Kalapuna" bukanlah lagu yang memberatkan atau membosankan. Semua berkat liriknya yang menggunakan diksi yang bisa ditemui dengan mudah dan didengar siapa pun kapan saja.

Di sisi lain, "Kalapuna" menampilkan kematangan Danilla dalam bermusik. Meski pada beberapa elemen tertentu, kesan menghantui lagu ini nyaris mirip dengan lagunya "Junko Furuta", tapi saya lebih bisa menangkap keresahan dan perasaan yang mendalam dari Danilla sebagai perekam rasa di lagu ini.

Jadi, saat mendengar "Kalapuna", kerasakan volume dan bass speakermu, Artebianz. Lalu, setel treble sesuai dengan selera dan pejamkan mata. Nikmati alunan musik ala Danilla dengan telinga, kemudian santap dengan hatimu.

Enjoy itSmile

Baca juga: Trekking Sambil Menelusuri Sejarah di Malang

 


Tag :


Niratisaya

Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.

Profil Selengkapnya >>

Review Musik Lainnya

Tulis Komentar
comments powered by Disqus





KATEGORI :




ARTIKEL PILIHAN :




Malaikat Tak Bersayap


Nicoline Patricia Malina: Fotografer Cantik Muda Berbakat


Mari Lari - Sebuah Cerita tentang Tekad Hati Lewat Langkah Kaki


Begin Again - Selalu Ada Jalan untuk Bangkit dan Menjalani Hidup


Menuju Senja - Payung Teduh


Nasi Goreng dan Mi Goreng Pak Is


Taman Bungkul - Oase dan Kebanggaan Warga Surabaya


Teluk Hijau Banyuwangi


The Backstage Surabaya (Bagian 2) : Mindset Seorang Founder StartUp


Sebuah Wajah, Sebuah Rasa (Bagian Tujuh)


Interaksi di Galaksi


Rajukan Sendu