Danilla dan Kalapuna
09 Feb 2017 View : 9303 By : Niratisaya
Entah sejak kapan, musik Indonesia mulai berhenti berkembang. Sehingga ketika saya berbicara tentang musik, kebanyakan referensi yang saya punya hanya dari Barat dan Korea Selatan. Kalaupun ada musisi dari Indonesia, khususnya yang sekarang ini, saya bisa menghitungnya dengan jari-jari di satu tangan. Saya lebih sering mengandalkan musik-musik di tahun 90-an dan awal 2000-an.
Salah satu penyanyi Indonesia yang masuk dalam hitungan saya adalah Danilla Riyadi. Seorang penyanyi dengan suara soulfull khas yang sering membawakan musik jazz dan bossanova. Dua genre yang jarang sekali dipilih penyanyi. Semua bermula dari satu albumnya, Telisik, yang dirilis pada tahun 2014. The way she sings and brings her music are so out of chart.
Setelah bertapa selama 3 tahun, Danilla akhirnya kembali dengan musik dan gayanya yang khas lewat single barunya: Kalapuna. Dan berikut hasil kupingan saya
Analisis Kalapuna - Musik dan Media Gundah dalam Percintaan
Kalapuna dari Segi Lirik
Satu hal yang saya suka dari Danilla selain suaranya adalah lirik lagu-lagu yang ditulisnya. Danilla selalu memilih diksi bak puisi. Memberikan kesan lembut, elegan, juga istimewa. "Kalapuna" pun nggak jauh berbeda dari lagu-lagu Danilla dalam album Telisik.
"Kalapuna" ditulis Danilla sebagai reaksinya terhadap fenomena kegundahan dalam menjalani hubungan percintaan. Lirik lagu ini bisa jadi lahir dari pengalaman pribadi Danilla, orang-orang sekitar, atau gabungan keduanya. Walhasil, yang tercipta adalah sebuah barisan kalimat indah yang bordering antara rasa rindu, cinta, sekaligus hampa.
Verse 1
Resah kala kau jaga
Murka jika kudengar
Letih tanpamu
arungi lautan rindu
Verse 2
Remang tiada tara
Namun sungguh terasa
Harum belaimu
seakan terus menunggu
Baik verse 1 maupun verse 2 diawali dengan dua kalimat yang memberi kesan negatif. "Resah" dan "remang". Mempertegas bahwa lagu ini bukan sepenuhnya tentang dua orang kekasih yang terpisah dan tengah saling merindu. Melainkan mengenai salah satu dari pasangan itu yang lelah dengan rindunya dan perasaan yang nggak menentu.
Rasa lelah ini diulang lagi dengan perbandingan antara baris 2 dan baris tiga di dua verse tersebut. Si kekasih yang tertinggal ini sendirian, terombang-ambing di "lautan rindu". Sementara itu, dia tetap mendambakan "belai" kekasihnya. Dia bahkan sampai membayangkan bahwa seandainya dia mampu mengarungi rindunya yang bak lautan luasnya, dia bakal bertemu dengan kekasihnya. Merasakan pelukannya.
Namun, kembali ke baris pertama di verse 2, yang ditemukannya hanyalah "remang tiada tara".
Artebianz bisa membayangkan, seperti apa rasanya?
Baca juga: Libreria Eatery, Spot Tepat untuk Memberi Makan Perut dan Otak
Lelah dan nggak mau lagi terus berada di keremangan dan merasakan kegundahan hubungannya, si kekasih yang ditinggal sendiri ini akhirnya mengambil keputusan yang tergambar di bagian berikut:
Chorus 1
Lepas jua jasadmu
Biar buyar asaku
Ya, dia melepas kekasihnya. Atau bisa juga melepas "jasadmu" (kekasihnya) yang ada dalam imajinasinya. Sehingga dia nggak lagi dihantui bayang-bayang bahwa di ujung rasa rindunya, si kekasih sedang menunggunya. Sehingga setiap harapannya untuk kembali merasakan belaian si kekasih "buyar".
Di sisi lain, menimbang pendeknya chorus 1, saya menduga bahwa keputusan yang diambil ini impulsif. Spontan dan tanpa pikir panjang. Hasilnya, si kekasih yang ditinggal sendiri ini kembali dalam remang-remang hubungannya dan merasa gundah—sekali lagi—mengenai percintaannya dengan si kekasih.
Verse 3
Renungan yang mengalun
Penuh sudah segala ruang
Apakah aku terlalu keras menikam?
Nggak seperti di bagian sebelumnya, di paruh kedua "Kalapuna" (kalau saya boleh menyebutnya demikian), hanya ada satu verse, tapi lebih panjang ketimbang dua verse sebelumnya. Seolah mengisyaratkan kalau si kekasih yang ditinggal ini tenggelam dalam pikirannya dan sekali lagi meragu atas keputusan yang sebelumnya dia ambil.
Dia bahkan bertanya-tanya apa tindakan/keputusannya itu terlalu ekstrem, sehingga "keras menikam" kekasihnya. Tapi apa pun hasil renungannya. Di ujung hubungan si kekasih yang ditinggal dan pasangannya, hanya ada perpisahan dan "kepunahan masa" hubungan keduanya.
Chorus 2
Lepas jua jasadmu
Biar buyar asaku
Sukar sudah tegakku
Punah sudah masaku
It's poetic, right, Artebianz? Compared to most of currently trending music in Indonesia. Nggak ada baris tentang cari selingkuhan atau pacaran di belakang. "Kalapuna" dengan segala kegundahan percintaan yang ingin diwakilinya meninggalkan kesan 'cantik' dan elegan.
Selain itu, secara bahasa pun "Kalapuna" tergolong mudah dicerna oleh generasi sekarang, menurut saya.
Baca juga: Cafe-Cafe Asyik di Malang
Kalapuna dari Segi Komposisi Lagu
Berbeda dengan lagu-lagu Danilla di album pertamanya yang didominasi instrumen akustik, "Kalapuna" mengandalkan synthesizer sebagai instrumen utama. Instrumen yang akhir-akhir ini populer digunakan oleh kebanyakan musisi dan pencipta lagu kondang masa kini.
Namun, alih-alih menghasilkan musik yang enteng, synthesizer melingkupi "Kalapuna" dengan keindahan yang cukup menghantui. Seolah mewakili rasa gundah dalam lagu ini, yang tenang tapi menghanyutkan. Tanpa menjatuhkannya ke level lagu kacangan.
Source: Instagram @penelisik
Baca juga: Sepetak Keindahan Bali di Tegal Wangi
Kalapuna secara Keseluruhan
Meski mengusung genre musik jazz, menurut saya "Kalapuna" bukanlah lagu yang memberatkan atau membosankan. Semua berkat liriknya yang menggunakan diksi yang bisa ditemui dengan mudah dan didengar siapa pun kapan saja.
Di sisi lain, "Kalapuna" menampilkan kematangan Danilla dalam bermusik. Meski pada beberapa elemen tertentu, kesan menghantui lagu ini nyaris mirip dengan lagunya "Junko Furuta", tapi saya lebih bisa menangkap keresahan dan perasaan yang mendalam dari Danilla sebagai perekam rasa di lagu ini.
Jadi, saat mendengar "Kalapuna", kerasakan volume dan bass speakermu, Artebianz. Lalu, setel treble sesuai dengan selera dan pejamkan mata. Nikmati alunan musik ala Danilla dengan telinga, kemudian santap dengan hatimu.
Enjoy it
Baca juga: Trekking Sambil Menelusuri Sejarah di Malang
Niratisaya a.k.a Kuntari P. Januwarsi (KP Januwarsi) adalah Co-Founder Artebia yang juga seorang penulis, editor, dan penerjemah.
Profil Selengkapnya >>